Mohon tunggu...
Nadya Paramitha
Nadya Paramitha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

I am a 4th semester student of the journalism (publishing) study program at the Jakarta State Polytechnic who has interests in the fields of communication, writing, editing, and design.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semangat Untuk Hidup di Kota Perantauan

20 Juni 2023   17:30 Diperbarui: 20 Juni 2023   18:55 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memulai hidup sendirian dikota orang tidaklah mudah, apalagi tanpa adanya orang tua yang mendampingi hidup kita sehari-hari. Ini adalah sepenggal cerita dari kehidupan yang saya alami, yang juga dirasakan oleh anak kost lainnya sebuah kehidupan yang menurut orang begitu membosankan. Tapi bagiku pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karena dibalik segala kebosanan yang menimpaku juga terdapat hal-hal menyenangkan yang datang dan mungkin tidak dapat kurasakan apabila tidak menjadi anak kost.

Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup dengan kesepian, terlebih kedua orang tuaku bercerai sejak aku berusia tiga tahun. Dari kejadian yang menimpa keluargaku tersebut, aku dan ibuku akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama nenek. Aku lebih banyak menghabiskan waktu berdua bersama nenekku, karena ibuku biasanya pulang larut malam bahkan bertugas ke kota lain karena sibuk bekerja.

Kedua orang tuaku memang sibuk bekerja, tetapi tidak menutup kemungkinan aku kekurangan kasih sayang dari mereka berdua. Ayahku tetap menyempatkan untuk bertemu denganku setiap satu bulan sekali, namun pertemuanku dengan ayahku tidak begitu lama. Pada tahun 2012 tepatnya saat aku masih menginjak usia sembilan tahun, ayahku menghembuskan nafas terakhirnya karena mengidap penyakit kanker hati (liver) stadium akhir.

Cahaya matahari yang bersinar dipagi hari memaksaku untuk membuka mata ini. Aku pun terbangun dari tempat tidur, dan melihat cahaya tersebut dari jendela kamar kamarku. Lagi-lagi aku harus hidup berjauhan dari ibu dan nenekku, aku harus bergegas ketempat tinggalku dan hidup sendiri disebuah rumah kost yang berada di Kota Depok. Mau tidak mau, aku harus menjalani hidupku sendiri disebuah tempat kecil untuk menjalani hidup selanjutnya.

Berat rasanya harus berpisah dengan Ibu dan nenekku, meskipun sejak kecil aku sudah terbiasa hidup dengan kesepian. Ibu mengantarku dan aku berpamitan dengan nenekku, hari pertamaku di kost memang belum terasa begitu sepi dan membosankan. Aku  merasa hidupku menjadi lebih mandiri karena tinggal sendiri, menjadi lebih rajin mengerjakan pekerjaan rumah yang sebelumnya jarang sekali ku lakukan.

Pergi jauh dari rumah meninggalkan ibu dan keluargaku memang rasanya berat sekali untuk melangkahkan kaki, tapi mau bagaimana lagi demi mewujudkan masa depan yang entah tidak tahu kapan datangnya. Aku harus memberanikan diri untuk melangkah maju, apalagi aku seorang anak tunggal perempuan yang harus berani mengambil keputusan karena aku satu-satunya harapan ibuku.

Hari itu adalah hari pertama dimana aku menjalani perkuliahan secara luring (luar jaringan) dan menginjakkan kaki pertamakali di Politeknik Negeri Jakarta, suatu perguruan tinggi tempatku menimba ilmu lebih dalam lagi. Kini ku berkeliaran menjadi perantauan di kota orang demi mengejar mimpi dan cita-cita. Memulai kehidupan sebagai anak kost yang serba sendiri, tanpa bantuan siapapun, tanpa bantuan orang tua dan keluarga.

Terkadang ada saat dimana aku merasa butuh sebentuk perhatian dari orang tuaku untuk menyelesaikan masalah, tapi mereka tak ada, karena mereka sedang berada jauh disana dan tidak bisa membantu apa-apa. Saat aku merasa rindu untuk pulang ke rumah, tapi aku tak bisa melakukannya, karena disinilah tempat yang karus kutempati sebelum aku bisa mewujudkan mimpi dan cita-cita.

Di kamar kost yang berukuran kecil ini seringkali aku merasa termenung, merasa kesepian tidak ada tempat untuk mengeluh dan bercerita semua harus kupendam dan kurasakan sendirian. Kesepian ini bukanlah pernyataan bahwa aku harus hidup terus berada dikeramaian, hidup sebagai orang yang terbiasa sepi membuatku terkadang harus mempunyai waktu yang bisa ku habiskan sendirian tanpa adanya orang lain bahkan temanku sendiri.

Tetapi, tinggal sendiri bisa membimbingku menemukan rasa tanggung jawab terhadap diriku, untuk menciptakan kehidupan yg lebih berarti. Membangun sikap disiplin waktu dan uang, agar kehidupan ku menjadi benar-benar teratur dan tersusun rapi. Semua itu akan membawaku menjadi pribadi yang baru. Disaat-saat itulah ku mulai bisa merasakan kesenangan hidup sebagai anak kost.

Saat malam terasa sangat sepi, ku hanya bisa melamunkan diri di dalam kamar kost, atau berkumpul bersama teman senasibku. Biasanya kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas bersama dan bercerita seputar kehidupan. Ada kalanya begitu rasa bosan menghampiri kita berdua keluar mencari udara segar menjadi cara jitu untuk menghapus segala beban fikiran yang sedang kita rasakan sambil menikmati keindahan kota.

Tinggal di tempat kost banyak hal yang menyedihkan, terutama harus bisa hidup disiplin membagi waktu kapan harus belajar, memasak, mencuci baju, dan masih banyak lagi. Semua itu aku lakukan sendiri sehingga tidak ada waktu bagiku untuk bermain-main. Tinggal di kost memang penuh penderitaan makan apa adanya, tidur seadanya, ditambah lagi jika uang dari orang tua cuman pas-pasan, aku harus bisa membagi uang tersebut utuk buku, makan dan sebagainya.

Hampir satu tahun waktu berjalan, aku semakin terbiasa dengan kehidupanku sebagai anak kost yang hidup diperantauan yang terkadang selalu merasa sepi dan rindu suasana rumah. Bulan Ramadhan pun datang, aku tidak bisa pulang kerumah karena jadwal perkuliahanku yang sangat padat, dan masih banyak tugas-tugas perkuliahanku yang tak kunjung selesai. Hal ini menjadi penyebab mengapa aku tidak kunjung pulang kerumah.

Ibuku selalu menghubungiku dan memintaku untuk pulang kerumah, ia menginginkanku agar aku bisa berada dirumah pada hari pertama puasa. Namun, tetap saja aku mengatakan padanya bahwa aku benar-benar tidak bisa. Di kala aku jauh dari rumah dan orangtua, tentu rasa rindu selalu saja menghampiriku. Takdirku sebagai orang yang harus meninggalkan kota kelahiranku demi impian-impianku. Di perantauan, aku seringkali merasakan rindu yang sangat dalam.

Walaupun aku bisa sedikit mengobatinya dengan menelepon orang tuaku, tetapi rindu ini belum terobati jika aku belum berada di rumah. Begitulah rasanya menjadi anak rantau. Seringkali ibuku menelpon menanyakan kapan pulang. Aku sudah tidak asing lagi dengan pertanyaan kapan pulang. Begitulah pertanyaan saat aku tidak berada di rumah. Bukannya aku tidak ingin untuk pulang ke rumah, akan tetapi aku hanya mempunyai kesempatan untuk pulang saat libur akhir semester.

Hari pertama puasa pun tiba, aku benar-benar merasakan kesepian yang sangat dalam. Biasanya setiap waktu sahur, ibuku menyajikanku makanan untuk aku santap. Kini, aku harus menyiapkan segalanya dengan kesendirianku. Dengan hanya menyantap satu gelas mie instan yang hanya itu bisa kulakukan di hari itu, menyedihkan rasanya terlebih aku telat untuk terbangun dari tempat tidurku aku menyantap makanan sahurku secara tergesa-gesa.

Sore hari itu, aku menatap jendela kamar kost-ku dengan rasa kesedihan. Aku rindu rumah, ada banyak beban yang ingin kulepaskan. Rumah merupakan tempat yang tepat untuk menenangkanku dari berbagai masalah yang kualami. Rumah selalu punya cara untuk meneduhkan dari berbagai keletihanku sebagai anak rantau, karena di dalamnya ada rasa cinta yang tidak pernah terbataskan dari sosok ibu.

Namun, segala pengalaman yang ada dihidupku menjadi seorang anak perantauan tidak juga membosankan dan juga menyedihkan. Ada kalanya aku bisa tetap merasakan kebahagiaan hingga kasih sayang yang diberikan oleh sang kekasihku bernama Baiz, ia merupakan sosok laki-laki yang sangat pengertian dan baik hati. Aku menganggapnya sebagai pengganti sosok dari ayahku yang sudah lama meninggalkanku.

Berdua bersamanya, mengajarkanku apa artinya kenyamanan dan kesempurnaan cinta. Banyak hal-hal yang telah kita lewati bersama, kita saling melengkapi satu sama lain. Baiz selalu ada disaat aku membutuhkannya, disaat aku membutuhkan seseorang untuk bercerita, dan selalu mengajakku untuk mengelilingi indahnya kota. Hal ini, dia lakukan agar aku selalu tidak merasa kesepian di kota perantauan ini.

Pergi merantau bukanlah perkara yang mudah, jauh dari orang tua adalah hal yang paling sulit dijalani dimana suasana sangat berbeda sekali. Sejujurnya kesedihan terberat yang ada di hatiku adalah jauh dari ibu, apalagi hanya ibu yang aku punya. Sejauh apapun jarak memisahkan, percayalah dilubuk hatiku, aku akan membahagiakanmu ibu.

 Mungkin, jika aku tetap hidup di kota kelahiranku selamanya, sedikit pengalaman yang akan aku dapatkan. Aku juga tidak akan merasakan rasanya hidup jauh dari orangtua. Menjalani Hidup dengan penuh kemandirian, dan harus melewati suka duka dengan diri sendiri agar menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi segala masalah yang akan kulalui. Demi mencapai segala harapan dan cita-cita di akhir nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun