Mohon tunggu...
Nadya OktariaPutri
Nadya OktariaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi ilmu hukum fakultas hukum Universitas Andalas

Saat saya mendaftarkan diri sebagai kompasier kompasiana saya masih menempuh pendidikan tahun ketiga fakultas hukum, Universitas Andalas.Dari dahulu saya sangat suka menulis terutama tulisan berbau artikel dan opini.Ada kebahagian tersendiri bagi saya ketika menulis.Apalagi,tulisan saya dibaca oleh orang banyak.sungguh luar biasa rasanya.Saya ingin tulisan saya ini bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sekarang.saya ingin menjadikan hidup saya lebih bermakna dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perempuan Menjadi Seorang Hakim, Pantaskah?

15 November 2022   09:10 Diperbarui: 15 November 2022   09:15 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari,ketentuan yuridis yang telah dijelaskan diatas,dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan dari hukum Indonesia bahwasanya perempuan tidak pantas menjadi seorang hakim.bahkan,ditegaskan bahwasanya Indonesia telah menjunjung tinggi persamaan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan di segala bidang baik ekonomi,sosial,budaya dan hukum sekalipun.Selama perempuan masih memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang hakim maka kesempatan terbuka lebar.

Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan dan syarat menjadi seorang hakim dapat dilihat pada Pasal 14 Ayat 1 Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum bahwasanya terdapat syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi hakim yaitu "Berkewarganegaraan Indonesia,bertakwa kepada Tuhan yang maha esa,Setia kepada Pancasila dan UUD NKRI 1945,sarjana hukum dan lulus pendidikan hakim,mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban,berusia paling rendah 25 tahun dan paling tua 40 tahun serta tidak pernah di pidana"

Dari Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada kualifikasi gender dalam menjadi hakim.Siapapun berhak menjadi hakim selama memenuhi syarat yang telah ditetapkan Undang-undang.

Selain bukti yuridis,bidang psikologi secara tidak langsung mengamini perempuan pantas menjadi hakim.Hal ini terbukti dari hasil psikologi bahwasanya perempuan cenderung pada perasaan dari pada logika.Dalam persidangan ini sangat dibutuhkan dalam menegakan keadilan,karena perempuan cenderung tanpa belas kasih kepada orang yang salah.jadi,ketika dihadapkan dengan para tersangka maupun terdakwa maka perempuan akan cenderung memberikan hukuman yang setimpal dan adil.

Jadi,dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwasanya kendala terbesar saat ini mengenai pantas tidaknya perempuan menjadi hakim adalah stigma masyarakat itu sendiri.keyakinan patriarki yang masih dipegang teguh berdampak pada minimnya kepercayadirian perempuan di Indonesia melangkah menjadi hakim yang bijaksana.Dikarenakan,,tanpa kita sadari stigma masyarakat bisa menjadi support system terbesar dalam mendorong para perempuan Indonesia untuk percaya diri menjadi seorang hakim.

Oleh karena itu,penulis menyampaikan kepada perempuan Indonesia yang saat ini sedang berjuang menjadi seorang hakim di masa depan untuk jangan ragu.Indonesia telah membuka peluang sebesar-besarnya untuk kita perempuan Indonesia menduduki kursi kehakiman.Jangan pedulikan stigma negatif dari orang-orang.Terus melangkah maju dan buktikan perempuan Indonesia PANTAS berprofesi sebagai hakim demi hukum Indonesia lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun