Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Natal, Romeo

17 Desember 2019   17:46 Diperbarui: 17 Desember 2019   18:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay/ karya Vorobyovska)


      Sebab tubuh manusia adalah kendaraan Tuhan sesekalinya. Ia akan bekerja dan hidup saat manusia begitu erat memeluk jiwa semesta. Hijrah sebentar menuju ruh menjungkir-balikkan perumusan waktu. Melahirkan energi yang begitu besar namun lembut dan ringan kinerjanya. Luar-biasa. Barangkali karena aku menerima luka-luka itu bertahta, tidak lagi menolaknya. Sudah kutenggelamkan melewati samudera dan bentangan langit serta udara yang memenuhinya.


      "Tuh kan, melamun lagi sampai lupa lonceng sudah berbunyi. Tak ingat waktu. Ayo kiyuke" Romeo menarik lenganku. Membuyarkan gerumpul keajaiban itu kembali melebur dalam kenyataan. Wah, saatnya istirahat makan siang. Tetapi tubuhku masih prima dan aku tak merasakan haus dan lapar. Mata ini begitu membentangkan pandangan tentang dunia yang begitu cemerlang. Hanya cerah dan rasa bahagia yang membuat tubuhku bagai terbang melayang tak menyentuh tanah. Sebab telah kulumat legit derita cinta yang menularkan pada derita lainnya.


      "Wah, tahun baru pertamamu di negeri sakura ini kamu sudah langsung bisa mengirim uang banyak ke Indonesia. Selamat ya cantik" Romeo menyeru dalam makan siang kami. Di kojo (pabrik) kaiza (perusahaan) parcel ini hanya kami berdua yang orang asing, asingnya Indonesia. Selebihnya adalah Nihon jin (orang Japan). Barangkali ada juga Korea jin (orang Korea), Cukoku jin (orang China), atau Vietnam jin (orang Vietnam), tetapi aku baru dua bulan di negeri ini, dan antara semua bangsa yang kusebutkan itu tadi aku belum bisa membedakan satu sama lainnya apalagi semua berbahasa Japan. Hanya saja, feelingku kali ini berkata tidak ada orang-orang asing serumpunnya itu tadi. Kami di sini hanya dari dua golongan, pribumi para Nihon jin dan kami berdua Indonesia jin, meski kutahu Romeo adalah nisei (keturunan ke 2 orang Japan dimana ibunya Japan bapaknya Indonesia).


    "Iya Romi, besar sekali ya gajiku bekerja yang sebenarnya seperti bermain-main saja. Menghitung dan membedakan jenis-jenis kue, menghafal letak-letaknya, lalu membungkus dan menghiasinya untuk semakin indah. Mana ada jenis pekerjaan bergembira seperti ini sebelumnya di tanah-air kita?! Gajinya fantastis. Hampir duaratus ribu rupiah setiap satu jamnya. Lewat jam lima sore sudah dihitung lembur dan beda lagi gajinya karena mengalami up. Jadi lebih duaratus ribu rupiah perjam jangyo (lembur) nya. Ckckck, praktis sejuta rupiah lebih gajiku per harinya di sini wowww!" mataku pasti berbinar. Bayangkan, tiga atau empat hari kerja disini sama dengan gaji sebulan lulusan sarjana di tanah air, bisa kudapatkan dengan hanya kerja bak main-main di sini. Senyumku pasti makin menawan. Dengan pipiku pasti makin merona merah oleh dingin akhir tahun yang sebelumnya menimbulkan sakit penderitaan. Derita sakit pada kagetnya tubuhku. Walau derita yang lainnya itu perlahan mereda.


      "Iya, pada musim-musim tertentu seperti di momen natal dan tahun baru begini, banyak perusahaan makanan di Jepang ini membuka lowongan kerja musiman karena kebutuhannya akan tenaga kerja meningkat seiring target-terget produksi yang lebih besar lebih banyak dari sebelumnya. Permintaan pasar tentunya. Menjelang natal dan tahun baru begini menjadi ladang rejeki untuk para gaijin (pekerja asing/imigran) seperti kita. Saat-saat bagus mengumpulkan yen. Kamu beruntung, begitu tiba di Jepang langsung kerja jenis mudah dengan gaji besar, sekalipun bahasa Jepangmu jauh dari lancar" Romeo mengacak rambutku sekilas. Kami terkekeh setelah menandaskan o bento (bekal makanan) kami dan menyeruput perlahan ocha (teh hijau khas Japan) hangat.


      "Aku ingin melihat salju Romi" celetukku tiba-tiba. Sambil mataku kembali menerawang ke entah.


      "Do'aku kau menemukan pasangan jiwamu di sini, dalam balutan salju dan melewatkan setiap natal dan tahun baru bersamanya, seterusnya" begitu saja meluncur kalimat itu dari mulut lelaki yang sudah kuanggap sahabat bahkan kakakku sendiri ini.


      "Amin" spontan aku menjawabnya. Meski merasa aneh juga kenapa bukan dia saja yang menjadi jodohku karena toh jelas aku jelas dapat merasakan perasaan cintanya yang begitu besar padaku.


"Demi Tuhan Romi kenapa kamu sombong sekali karena tidak pernah tertarik padaku. Eh tapi semoga do'amu dicatat malaikat yang lewat Romi" reflek aku menangkupkan kedua tangan mengamini kalimatnya yang mengalir dalam rasa alami barusan di pendengaran.


      "Tetapi yang barusan lewat itu memang malaikat. Malaikat yang menaungi tempat kita bekerja ini, bidadariku" bisiknya ketika melihat boss melintas dan lonceng tanda kiyuke habis.

                                        ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun