Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marini Ibu Guru

20 November 2019   06:06 Diperbarui: 20 November 2019   07:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Setiap pagi ia mengikuti diam-diam dan perlahan anak-anak berseragam merah-putih menuju sekolah. Membawa sebuah buku tulis lusuh dan pensil jaman bahula yang sering tercecer dari tas butut model jadul yang di cangklongnya. Wajahnya segar dengan pulasan bedak bayi yang cemang-cemong di sana-sini. Berbusana santun kadangkala mengenakan jilbab pasang sederhana, yang tak jarang miring-miring dari letak semestinya.

Jika hari senin ia pun mengikuti upacara bendera. Berdiri tegak dengan sikap hormat menghadap sang saka merah putih. Meski hanya di luar pagar sekolah dasar terdekat rumahnya itu, karena pak kebun penjaga selalu menghalaunya. Maka, pada jam istirahatlah ia tak mau kehilangan kesempatan, ia masuk menyusup ke dalam sekolah. Mengendap-endap. Bersembunyi di sela-sela pohon ketapang dan flamboyan yang pada musim tertentu menggugurkan daun-daunnya yang kering kecoklatan dan kelopak-kelopak merah jingga yang disukainya.

Pada jam belajar setelah istirahat, ia akan mengendap-endap lagi mendekati kelas-kelas. Dengan takjub ia menikmati kelas belajar berlangsung. Menatap tak berkedip pada pengajar di depan kelas dengan rasa kagum. Tersenyum polos dan kadang wajah tanpa dosa itu tertawa, meski tak jelas karena apa. Namun, beberapa kali ia tak bisa menahan diri, tiba-tiba berteriak-teriak histeris dan membaur ke dalam kelas. Dimana kemudian semua murid akan mengguman,

"Ah Marini si ibu guru yang tak jadi, kumat lagi". Disusul kemudian pak kebun penjaga sekolah akan menariknya keluar kelas dengan paksa, dan mengantarkan ke rumahnya sambil ngomel-ngomel kesal.

"Dasar wong ra waras. Keluargane ora jelas. Kumat-kumaten nggarai geger ngerepoti wong sak ndayak."

Di rumahnya, ia akan dikurung oleh adik lelakinya di kamar lembab rumah tua milik mereka. Berteriak-teriak dengan tangisan yang menyayat hati memekakkan telinga. Dan pada sore harinya baru diberi makan setelah lemas tak berdaya. Setelah ibunya yang pikun menangis memohon-mohon pada anak lelakinya untuk tidak memperlakukan kakak perempuannya seperti itu.

Perempuan tua itu pikun. Tetapi tak pernah lupa dua hal : suaminya hilang di suatu malam, lalu di temukan di jurang saksi sejarah pembantaian yang kisahnya kelunturan. Jurang itu di kenal dengan nama jurang tangis, di daerah timur Jawa. Hal kedua yang tak bisa dilupakannya adalah, anak perempuannya yang diperkosa orang-orang tak dikenal saat masih belum genap 9 tahun.

"Marini sangat ingin menjadi guru sejak kecil. Ia bercita-cita hanya satu itu saja tiada yang lainnya. Tetapi masa kanaknya koyak beberapa tahun setelah bapakny hilang" Ibu pikun itu entah sudah ribuan kali bercerita itu pada Bas anak lelakinya.

"Kita sudah pindah rumah jauh dari kampung kelahiran, agar Marini dan kamu jadi orang. Tetapi Marini sudah hampir 50 tahun dan kau sudah 45 tahun tak pernah ada kantor yang menerima kalian kerja. Karena hilangnya bapak adalah kutukan yang menghukum kita seumur hidup" orang pikun itu tak jarang hilang kepikunannya dan mengenang dengan baik semua kisah yang berserak di laci ingatannya.

"Aku sudah tahu mak, berhentilah memberitahuku lagi, sudah ribuan kali mak katakan itu. Bapak dan kakek dituduh anggota kelompok terlarang, maka Marini dan aku tak akan bisa mewujudkan cita-cita. Anak cucu orang yang dituduh anggota kelompok terlarang dihukum tanpa turut melakukan salah. Tak mengerti apa-apa tapi dihukum seumur hidupnya. Berhentilah mak mengingatkanku, aku sudah tahu, aku sudah amat sangat tahu!" lelaki itu Bas, bahkan tak lagi bisa menitikkan airmata.

Ia merasa airmatanya telah habis. Masa kecilnya sering dihujati dikucilkan, hingga dipukuli teman-temannya di kampung halaman. Mak juga sering mengajak anak-anaknya kelaparan karena sinisnya kehidupan. Sebelum mereka berpindah-pindah tempat tinggal. Tetapi, di manapun mereka lari, data sejarah keluarga membuntuti. Ketika itu jauh sebelum masa reformasi.

Bas, bahkan pernah dipenjara 4 tahun oleh kesalahan yang tak pernah dia perbuat, saat usianya baru genap 17 tahun. Ia dituduh mencuri uang di brangkas kantor kepala desa, oleh anak sang kepala desa.

Di kampung halamannya dulu itulah airmata Bas sudah banyak tumpah.

***

Hari-hari berganti. Waktu berjalan. Sudah lama sekali tak pernah terdengar lagi Marini kumat. Perempuan polos yang masih cantik meski tak waras itu tak nampak lagi batang hidungnya oleh masyarakat desa. Perempuan tak waras itu memang tetap berpenampilan bersih karena setiap subuh selalu dipaksa mandi oleh maknya yang tak habis-habis memberi kasih-sayang, meski sudah sempoyongan. Dibedaki dengan bedak bayi yang cemong sana cemong sini. Dipakaikan baju gamis dan jilbab pasang lepas. Selalu membawa tas butut berisi sebuah buku tulis lusuh dan pensil yang hanya itu-itu saja sejak dulu.

Mak juga lama tak pernah kelihatan duduk selonjor di teras ngoceh tentang hilangnya bapaknya, juga suami yang dirindukannya. Kemana mereka pergi? Begitu, pikir para tetangga.

Bas bilang mereka di jemput saudara untuk dirawat. Bas bilang mereka naik keretaapi menuju kota itu dan ini pokoknya kota lain yang cukup jauh. Bas bilang mak sudah tidak pikun lagi dan Marini sudah mulai sembuh tidak kumat-kumatan lagi. Bas bilang sebentar lagi akan menyusul mereka meninggalkan rumah tua angker yang selama ini mereka diami. Di kota di rumah sodaranya itu. Tak jelas kota apa namanya.

Kemudian, beberapa hari Bas juga tidak terlihat. Barangkali sudah berangkat ke kota ikut sodara menyusul kakak dan emaknya. Tetangga tak perduli tapi sejujurnya bertanya-tanya dalam hati.

Seminggu. Seminggu lebih. Dua minggu, tahu-tahu rumah itu sudah diberi garis kuning polisi. Bau busuk menyengat yang kerap tercium membuat pak kebun penjaga sekolah mendobrak rumah orang-orang tak waras itu. Mayat Bas lah yang telah membusuk dan pertama kali ditemukan. Ia mati bunuhdiri menenggak racun tikus, tergeletak di depan televisi tua yang sudah rusak. Di halaman belakang rumah mereka ditemukan dua mayat yang lebih lama matinya sebelum Bas, tertanam asal-asalan di tanah.

"Marini adalah ibu guru. Dan emak adalah penulis sejarah utuh." Secarik kertas, tulisan tangan Bas, disamping jasadnya yang membusuk.

Bas, mengakhiri penderitaan kakak dan emaknya dengan meracuni makanan mereka dengan racun tikus. Lalu menguburkan mereka ala kadarnya, sebelum kemudian merancang sendiri kematiannya beberapa hari kemudian.

Di mana Tuhan sebenarnya atas hidup mereka? Mungkin bagi Bas, ia tak membutuhkan Tuhan untuk menuliskan sejarah hidup keluarganya.

***

Banyuwangi, 30 September 2015, Nadya Nadine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun