Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marini Ibu Guru

20 November 2019   06:06 Diperbarui: 20 November 2019   07:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Pixabay)

Bas, bahkan pernah dipenjara 4 tahun oleh kesalahan yang tak pernah dia perbuat, saat usianya baru genap 17 tahun. Ia dituduh mencuri uang di brangkas kantor kepala desa, oleh anak sang kepala desa.

Di kampung halamannya dulu itulah airmata Bas sudah banyak tumpah.

***

Hari-hari berganti. Waktu berjalan. Sudah lama sekali tak pernah terdengar lagi Marini kumat. Perempuan polos yang masih cantik meski tak waras itu tak nampak lagi batang hidungnya oleh masyarakat desa. Perempuan tak waras itu memang tetap berpenampilan bersih karena setiap subuh selalu dipaksa mandi oleh maknya yang tak habis-habis memberi kasih-sayang, meski sudah sempoyongan. Dibedaki dengan bedak bayi yang cemong sana cemong sini. Dipakaikan baju gamis dan jilbab pasang lepas. Selalu membawa tas butut berisi sebuah buku tulis lusuh dan pensil yang hanya itu-itu saja sejak dulu.

Mak juga lama tak pernah kelihatan duduk selonjor di teras ngoceh tentang hilangnya bapaknya, juga suami yang dirindukannya. Kemana mereka pergi? Begitu, pikir para tetangga.

Bas bilang mereka di jemput saudara untuk dirawat. Bas bilang mereka naik keretaapi menuju kota itu dan ini pokoknya kota lain yang cukup jauh. Bas bilang mak sudah tidak pikun lagi dan Marini sudah mulai sembuh tidak kumat-kumatan lagi. Bas bilang sebentar lagi akan menyusul mereka meninggalkan rumah tua angker yang selama ini mereka diami. Di kota di rumah sodaranya itu. Tak jelas kota apa namanya.

Kemudian, beberapa hari Bas juga tidak terlihat. Barangkali sudah berangkat ke kota ikut sodara menyusul kakak dan emaknya. Tetangga tak perduli tapi sejujurnya bertanya-tanya dalam hati.

Seminggu. Seminggu lebih. Dua minggu, tahu-tahu rumah itu sudah diberi garis kuning polisi. Bau busuk menyengat yang kerap tercium membuat pak kebun penjaga sekolah mendobrak rumah orang-orang tak waras itu. Mayat Bas lah yang telah membusuk dan pertama kali ditemukan. Ia mati bunuhdiri menenggak racun tikus, tergeletak di depan televisi tua yang sudah rusak. Di halaman belakang rumah mereka ditemukan dua mayat yang lebih lama matinya sebelum Bas, tertanam asal-asalan di tanah.

"Marini adalah ibu guru. Dan emak adalah penulis sejarah utuh." Secarik kertas, tulisan tangan Bas, disamping jasadnya yang membusuk.

Bas, mengakhiri penderitaan kakak dan emaknya dengan meracuni makanan mereka dengan racun tikus. Lalu menguburkan mereka ala kadarnya, sebelum kemudian merancang sendiri kematiannya beberapa hari kemudian.

Di mana Tuhan sebenarnya atas hidup mereka? Mungkin bagi Bas, ia tak membutuhkan Tuhan untuk menuliskan sejarah hidup keluarganya.

***

Banyuwangi, 30 September 2015, Nadya Nadine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun