Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eros dan Thanotos dalam Kasus-kasus Bunuh Diri

14 November 2019   10:18 Diperbarui: 14 November 2019   10:23 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal pastinya yang membuat seseorang memutuskan apakah hidupnya perlu diteruskan ataukah diakhiri. Albert Camus, salahsatu pemegang nobel sastra bahkan seringkali menyinggung hal ini dalam beberapa tulisannya yang berpandangan eksistensialist.

Secara psikologis orang-orang dengan basic self esteem yang rendah akan sangat rentan terhadap keinginan-keinginan mengakhiri hidup. Meskipun dalam perjalanannya masalah basic self esteem ini bisa terkemas rapih dalam diri individu seperti yang terjadi pada nama-nama besar atau orang-orang hebat.

Kasus-kasus bunuh diri ini sudah ada dari setiap jaman. Orang-orang biasa (masyarakat umum-rakyat jelata) atau orang-orang luar-biasa (orang-orang terkenal) punya peluang yang sama kesana. Tidak ada urusan perbedaan kelas sosial atau kasta dalam peluang ini. Sebutlah beberapa nama besar yang juga memutuskan mengakhiri hidupnya.

Sederetan nama-nama besar yang mengakhiri hidupnya itu seperti Robins William, Kurt Cobain, keduanya adalah artis top internasional. Kemudian Ernest Hemingway dan Virginia Woolf, keduanya ini adalah sastrawan dunia yang banyak menelurkan karya-karya indah. Sementara Alan Turing dan George Eastman, masing-masing adalah seorang ilmuwan dunia dengan bidang-bidang sains temuan mereka. Betapa kecerdasan dan status sosial sebagai orang-orang tenar tidak juga mampu menghindarkan mereka dari godaan mati bunuh diri.

Hasrat hidup dan hasrat mati manusia sering saling berkelindan.

Hasrat hidup juga bersisihan dengan kerinduan akan kematian. Eros hasrat hidup, dan thanatos hasrat mati ini akan terus silih-berganti mengisi perjalanan hidup setiap orang dari sirkulasi equilibrium dan disequilibrium atau kondisi keseimbangan dan ketidak-seimbangan psikologi setiap saat oleh setiap individu sepanjang hidupnya.

Pada dasarnya manusia begitu gentar terhadap hidup, itulah mengapa setiap bayi selalu menangis saat dilahirkan. (Bahkan kita akan merasa heran jika ada bayi yg lahir tidak menangis, pasti diidentikkan dengan adanya ketidak-beresan).

Kelahiran adalah kecemasan, kegelisahan, ketakutan, dan kesedihan pertama yg dirasakan manusia. Ia tercerabut dari rasa kebersamaan yang nyaman, yakni rahim dan detak jantung ibu.

Selanjutnya, karena nilai-nilai sosial yang ada membuat manusia menyangkal kerinduan-kerinduannya akan kematian. Kesinambungan dialektika antara diri personal dan diri sosiallah yang merawat individu bertahan dari penyangkalan tersebut.

Maka ketika ada individu yang sudah tidak dapat lagi menyangkal kerinduan-kerinduannya akan hasrat mati/thanatos ini, artinya sudah terputus dialektika antara diri personal dan diri sosialnya. Diri di dalam dan diri di luar sudah tidak terjembatani lagi.

Jadi, persoalan bunuhdiri ini sebenarnya bukanlah persoalan yang jauh dari setiap kita justru sangat dekat. Hanya saja tidak selalu mudah terkoneksi dengan realisasi karena tidak bertemu dengan hal-hal pencetusnya.

Jika semakin marak adanya bom bunuhdiri yang ditengarai sebagai wujud jihad saya melihatnya lebih mendasar lagi sebagai pengerucutan perjalanan panjang suatu keputusan personal. Dengan kata lain meledakkan diri dengan bom bunuhdiri hanyalah alat atau cara agar tercapai tujuan dalam mengakhiri hidup.

Jadi di sini meledakkan diri dengan bom adalah trend dari cara jitu bagi yang memang dasarnya sudah tidak ingin meneruskan hidupnya lagi.

Seseorang yang berniat ingin mengakhiri hidupnya sebenarnya bukanlah orang bodoh karena keputusan itu memerlukan keberanian yang tidak main-main. Ia pasti telah melalui perjalanan panjang sebuah konflik batin yang maha rumit. Seseorang yang memutuskan bahwa hidupnya tidak berharga tentunya telah banyak menimbang faktor-faktor penilai lain yang berkaitan dengan cara pandangnya terhadap kehidupan itu sendiri.

Artinya, kasus-kasus bom bunuh diri ini adalah suatu keputusan yang tidak asal-asalan melainkan sebuah perjalanan dari rencana-rencana besar yang sangat terstruktur dan matang.

Seseorang tersebut memulainya dengan keputusan bahwa hidupnya tidak berharga (dari menimbang dan menakar)jadi harus diakhiri. Kemudian ia memikirkan cara tepat mencakup efisiensi dan efektifitas seperti mengurangi kemungkinan gagalnya upaya bunuhdiri serta berkaitan dengan rasa sakit. Hingga tibalah ia dengan pilihan eksekusi diri yang dirasa paling sempurna dari kriteria-kriteria tersebut, yakni mati meledakkan diri dengan bom bunuhdiri.

Jadi sebetulnya orang-orang yang mati bunuhdiri dengan bom itu bisa kita anggap adalah bukan orang-orang bodoh disamping juga karena pengetahuan, teknologi, atau kemajuan turut mendukung di masa sekarang. Karena jika dia bukan orang pintar ia akan memilih cara-cara bunuhdiri manual/sederhana yang masih ada seperti gantung diri atau mengiris pergelangan tangan yang akurasi menuju matinya masih memungkinkan kegagalan serta prosesnya jelas-jelas berkonsekuensi dengan rasa sakit yang memakan waktu panjang.Seorang calon pengebom bunuh diri akan melalui proses yang memerlukan kecerdasan yakni dimulai dengan masuk ke dalam bagian dari kelompok-kelompok rahasia yang bukan sembarangan. Mempelajari kinerja bom dan lain-sebagainya yang berkaitan.

Akhirnya kesimpulan saya, keputusan mengakhiri hidup itu bermula dari masalah psikologi bahkan cara pandang individu tentang agama itupun dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya cetusan-cetusan kondisi mental sebelum bermuara pada indoktrinasi seperti pendapat yang berhamburan di ruang-ruang publik sekarang ini tentang jihad atau ingin bertemu 72 bidadari dan lain-lain.

Begitulah. Fenomena bom bunuh diri ini saya lebih melihatnya dari perspektif psikologinya. Karena bagi saya semua lebih banyak bermula dari sana.

Tentang sisi kelam jiwa manusia. Tentang eros dan thanatos. Tentang equilibrium dan disequilibrium.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun