Mohon tunggu...
Nadya JihanSoraya
Nadya JihanSoraya Mohon Tunggu... Freelancer - sedang ber kuliah di universitas muhammadiyah malang

mahasiswa angkatan 2017

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sensor Mandiri untuk Keluarga

18 Juni 2021   20:33 Diperbarui: 21 Juni 2021   21:55 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan tentang penyiaran di berbagai negara memang berbeda-beda termasuk Indonesia. Tiap negara memiliki ketentuanya masing-masing dan memiliki standartnya masing-masing. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aturan ketat mengenai film dan tontonan-tontonan lainnya. 

Peraturan yang ditetapkan di Indonesia tidak semata-mata ditetapkan namun juga menyesuaikan keadaan sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan keadaan sosial dan budaya di Indonesia dikarenakan agar masyarakat Indonesia bisa menerima ketentuan-ketentuan yang berlaku yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Sensor mandiri menjadi suatu hal yang penting yang patut dilakukan pada setiap keluarga. Sensor mandiri membuat anak-anak memiliki tontonan yang tidak sembarangan dan keluarga bisa mengontrol tontonan anak-anak maupun yang sudah remaja. Sensor mandiri memanglah bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan namun suatu hal yang patut disadari di era perkembangan teknologi yang pesat saat ini. 

Perkembangan teknologi membuat penggunanya semakin mudah dalam mengakses suatu konten. Konten-kontan yang tidak bermanfaat dalam artian tidak ada unsur-unsur pendidikan akan membuat penggunanya juga membawa pengaruh buruk tanpa disadari. Maka dari itu sensor mandiri pada suatu konten harus dimulai dari keluarga. Tontonan yang sehat membuat anggota keluarga juga memiliki pengaruh positif.

Adanya sensor mandiri bisa membantu menciptkan masyarakat yang melek akan media dan konten-konten yang semakin muda diakses oleh siapa pun dan kapan pun. Sensor mandiri membantu suatu negara menjadi warga negara yang kritis akan tayangan-tayangan yang beredar. Lembaga Sensor Film Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya mengedukasi masyarakat untuk melakukan sensor mandiri pada keluarga terdekat. Sensor mandiri menjadi double protection pada keluarga dan menjadi suatu hal yang positif. Tidak hanya dimulai dari keluarga namun lingkungan sekolah juga bisa menjadi wadah penting bagi anak-anak dalam menerima edukasi tentang sensor mandiri terhdapat konten-konten yang ditonton.

Sinetron menjadi salah satu konten tontonan yang harus dipilah. Jangan sampai anak-anak mengikuti orang tua yang menonton sinetron yang tidak sesuai dengan usianya. Anak-anak dibawah umur tentunya belum bisa membentuk sensor mandiri untuk dirinya sendiri. Maka di sinilah peran orang tua sangat penting pada tumbuh kembang anak. Indonesia merupakan negara yang secara aktif memberikan tayangan sinetron. Sinetron sendiri harus melewati pemeriksaan yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia. Belakangan ini salah satu sinetron dengan judul "Zahra" sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat karena melanggar beberapa kode etik yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Perlindungan aktris dibawah tahun memang harus dibawah pengawasan orang tua serta memperhatikan undang-undang yang berlaku. Perjanjian kontrak dan hubungan kerjasama yang dilakkan harus jelas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku agar tidak ada yang melanggar ketentuan-ketentuan dari pemerintah. Apabila tidak ada peraturan undang-undang tentang pekerja yang masih dibawah umur akan mengakibatkan banyaknya kasus kekerasan seksual yang akan memberikan dampak negatif bagi seluruh masyarakat Indonesia. Adanya artis-artis dibawah umur bukan berarti bahwa pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang negatif justru hal ini bisa mengembangkan skil-skil talent yang patut diapresiasi.

Masyarakat berpendapat bahwa sinetron zahra mengacu pada perkawinan dibawah umur, tayangan yang mengandung kekerasan seksual, dan merupakan peran yang seharusnya tidak diberikan kepada remaja yang masih dibawah umur. Sinetron Zahra menampilkan adegan-adegan yang memicu kekerasan seksual. Hal ini mengundang kecaman dari masyarakat itu sendiri. Akibat hal ini KPI memberikan hukuman pada sinetron zahra yang mengakibatkan sinetron tersebut berhenti tayang dan dilakukannya pergantian pemain. KPI juga membuat stasiun TV Indosiar agar mengganti tema dari sinetron tersebut. Tayangan sinetron Zahra ini melanggar peratura yang sudah di muat pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012.

Sinetron Zahra membuat masyarakat memprotes pihak KPI yang berwenang melakukan sensor untuk tayangan Televisi Indonesia. Masyarakat menuntut sinetron Zahra dan Indosiar dalam memberikan tayangan yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Hal-hal seperti inilah yang membuat sensor mandiri semakin dibutuhkan dalam keluarga. Maka sebelum masalah seperti ini hadir orang tua sudah menjadi tameng anaknya dalam memilih tontonan yang sesuai dengan usia nya.

Kasus sinetron Zahra ini mengacu pada beberapa undang-undang salah satunya adalah U No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan. Usia perkawinan yang ditetapkan di Indonesia adalah 19 tahun. Untuk yang melanggar ketentuan tersebut maka hukuman sampai tindak pidna akan diberlakukan.  Pasal 20 pada UU Perfilman tahun 2009 juga menyebutkan bahwa perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur harus memenuhi hak-hak anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 63 menyebutkan bahwa untuk anak yang ber umur 13-15 tahun bisa melakukan pekerjaan dengan syarat yang berlaku diantaranya adalah :

  • Adanya izin secara tertulis yang disetujui oleh orang tua atau wali
  • Adanya perjanjian kerja dari pengusaha dan orang tua atau wali
  • Durasi jam kerja hanya 3 jam dalam sehari
  • Dilakukan tidak pada malam hari dan tidak mengganggu kegiatan sekolah
  • Adanya standar keselamatan kerja
  • Upah yang diberikan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati
  • Hubungan kerja yang dilakukan jelas

Sedangkan pemeran Zahra pada sinetron Zahra masih berusia 14 tahun dan melakukan adegann-adegan yang tidak sepatutnya. Zahra diperankan oleh Lea Ciarachel kelahira tahun 2005 yang membuktikan bahwa ia masih berusia 15 tahun. Maka Lea masih termasuk dalam kategori aktris dibawah umur yang harus dilindungi sesuai undang-undang yang berlaku. Hal ini memerlukan peran dari orang tua dalam memiliha peran-peran yang akan dimainkan oleh anaknya demi menghindari hal-hal yang negatif.  Orang tua memiliki peran penting dalam emelakukan sensor mandi baik bagi pemerannya maupun penontonnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun