Mohon tunggu...
Nadya Chaerani
Nadya Chaerani Mohon Tunggu... Mahasiswa - S-1 Teknik Biomedis

Senang menggali ilmu mengenai alam, kesenian, dan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Konflik di Palestina: Belum Tahu atau Tidak Ingin Tahu?

7 Juni 2024   22:46 Diperbarui: 14 Juni 2024   01:08 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(AP Photos, Jehad Alshrafi)

Pada 7 Oktober 2023, Hamas, kelompok milisi Palestina, melangsungkan serangan terhadap Israel dengan mengirimkan pasukan bersenjata ke daerah pemukiman penduduk sipil Israel di sekitar Jalur Gaza. Hal ini kemudian menuai kontroversi mengenai betapa kejamnya Hamas dalam menyerang Israel yang mengakibatkan sekitar 1,4 ribu warga Israel meninggal dunia (dilansir dari BBC News Indonesia pada 24 Oktober 2023). 

Oleh karena itu, Israel tidak menerima dan membalas serangan tersebut. Pasukan Israel memulai serangan udara dan operasi darat yang menewaskan 1,2 ribu orang dan menyandera lebih dari 200 orang—banyak di antaranya masih dalam tawanan. 

Sejak saat itu, operasi militer Israel menyebabkan kehancuran dan kematian massal  serta pengungsian yang meluas di Gaza, terutama di bagian utara. Berdasarkan IRC, diketahui terdapat lebih dari 36 ribu warga Palestina yang terbunuh dan 81 ribu luka-luka, dengan lebih dari setengahnya adalah wanita dan anak-anak. Namun pertanyaannya, apakah kalian tahu penyebab di balik peristiwa tersebut? Kejadian apa yang sebenarnya telah berlangsung selama ini?

Permulaan Konflik Palestina-Israel

Konflik antara Palestina dan Israel sebenarnya telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun, dimulai pada 2 November 1917. Setelah mengalahkan Kesultanan Ottoman dalam Perang Dunia Pertama, Inggris mengambil alih wilayah yang dikenal sebagai Palestina. Wilayah ini mayoritas dihuni oleh orang Arab dan minoritas Yahudi, serta beberapa kelompok etnis kecil lainnya.

Ketegangan antara etnis Arab dan Yahudi yang tinggal di wilayah tersebut meningkat. Menteri Luar Negeri Inggris pada saat itu menulis surat kepada komunitas Yahudi di Inggris untuk "mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina". Surat tersebut dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Oleh sebab itu, Eropa, khususnya Inggris, berjanji kepada Zionis untuk mendirikan sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah orang Arab Palestina asli. Mandat Inggris di Palestina dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga 1948. 

Pada tahun 1947, populasi Yahudi di Palestina telah meningkat menjadi 33%, meskipun mereka hanya menguasai 6% lahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi 181, yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi. Rencana tersebut ditolak oleh Palestina, lantaran mereka harus merelakan sekitar 56% wilayahnya kepada negara Yahudi. Padahal saat itu, warga Palestina menguasai 94% wilayah bersejarah dan mencakup 67% dari total populasi.

Istilah Al-Nakba bagi warga Palestina

Pada 1948, Inggris memutuskan untuk mundur karena tidak bisa menyelesaikan konflik antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina. Para pemimpin Yahudi kemudian mengumumkan berdirinya negara Israel, yang dimaksudkan sebagai tempat aman bagi komunitas Yahudi yang dianiaya dan sebagai rumah mereka. 

Pertempuran antara Yahudi dan milisi Arab semakin sengit selama beberapa bulan. Sehari setelah Israel memproklamasikan kemerdekaannya, 5 negara Arab menyerang wilayah tersebut. Ratusan warga Palestina melarikan diri atau dipaksa meninggalkan rumah mereka dalam peristiwa yang mereka sebut sebagai Al Nakba atau "bencana”.

Sekitar 750 ribu warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka, sedangkan 15 ribu lainnya tewas dalam pembantaian. Peristiwa ini memungkinkan Gerakan Zionis untuk menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina. Sisanya, yaitu 22%, terbagi menjadi Tepi Barat yang kini diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung. 

Setelah pertempuran berakhir dengan gencatan senjata pada tahun berikutnya, Israel menguasai sebagian besar wilayah tersebut. Yordania mengambil alih Tepi Barat, dan Mesir menguasai Gaza. Yerusalem terbagi antara Israel di bagian barat dan Yordania di bagian timur. Karena tidak ada perjanjian damai yang dibuat, ketegangan dan pertempuran terus terjadi selama beberapa dekade berikutnya.

Konflik di Jalur Gaza

Gaza adalah wilayah kecil yang terletak antara Israel dan Laut Mediterania, berbatasan dengan Mesir di selatan. Jalur Gaza sering dijuluki sebagai 'penjara terbuka terbesar di dunia'. Pada tahun 1967, Israel mengambil alih Gaza dan mempertahankannya hingga 2005. Selama masa itu, Israel mendirikan permukiman Yahudi di wilayah tersebut. Meski Israel menarik pasukan dan warganya pada tahun 2005, mereka tetap mengontrol wilayah udara, perbatasan, dan garis pantai Gaza. PBB masih menganggap Gaza sebagai wilayah yang diduduki oleh Israel.

Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara, dan laut di Gaza, dengan alasan Hamas terlibat dalam kegiatan terorisme. Pada tahun-tahun selanjutnya, Israel melakukan empat serangan militer besar di Gaza di antaranya pada 2008, 2012, 2014, dan 2021. Ribuan warga Palestina tewas, termasuk banyak anak-anak, rumah, sekolah, dan bangunan lainnya hancur.

Oleh karena itu, pembangunan kembali hampir tidak mungkin karena blokade menghalangi masuknya bahan konstruksi seperti baja dan semen ke Gaza. 

Situasi Terkini Konflik

Selama periode serangan tersebut, Israel sengaja menghalangi akses bantuan kemanusiaan, menyebabkan 2,3 juta warga Palestina di Gaza mengalami penderitaan, kelaparan, dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Serangan dan pengeboman tanpa henti terhadap warga sipil Palestina tidak bisa ditoleransi atau dianggap sebagai konsekuensi biasa dari perang. Serangan mematikan ini telah mencapai tingkat yang sangat parah. Serangan Israel ke Gaza masih berlanjut, dan jumlah korban tewas terus bertambah, kini melebihi 36 ribu jiwa.

Dilansir dari Al-Jazeera, dalam beberapa hari terakhir, militer Israel juga telah memperluas serangannya di Gaza, dengan target terbarunya adalah Rafah, Palestina bagian selatan. Rafah, yang berbatasan langsung dengan Mesir, adalah jalur masuk bantuan kemanusiaan internasional untuk warga Gaza. 

Diperkirakan sekitar 80 ribu warga Palestina yang berusaha meninggalkan Rafah untuk mencari suaka. Namun, dengan serangan militer Israel yang meningkat di wilayah tersebut, para pencari suaka kesulitan menyeberangi perbatasan. Otoritas Israel telah meminta warga Palestina untuk mengevakuasi diri dari Rafah karena serangan darat yang sedang berlangsung.

Dilansir dari Al-Jazeera, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, juga menyatakan bahwa warganya saat ini diungsikan ke Rafah. "Bagian utara Gaza telah hancur total, sehingga semua warga terpaksa pindah ke bagian selatan yang dikenal sebagai Rafah," ujar Zuhair dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta, pada Jumat (10/5/2024).

“Ini Bukan Lagi Perang, Melainkan Genosida”

Seorang pakar hak asasi manusia PBB, Francesca Albanese, menyatakan bahwa Israel mungkin telah melakukan "tindakan genosida" di Gaza, seperti yang disampaikan dalam laporannya kepada negara-negara anggota PBB di Jenewa. Namun, Israel menolak temuan ini, menyebutnya sebagai "distorsi keterlaluan" terhadap Konvensi Genosida. Tekanan internasional meningkat pada Israel untuk menghentikan perang atau meningkatkan perlindungan terhadap warga sipil.

Sebuah laporan dari University Network for Human Rights (UNHR),  menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan tindakan genosida di Gaza, seperti pembunuhan, kerusakan serius, dan menciptakan kondisi hidup yang bertujuan menghancurkan warga Palestina. Setelah meninjau fakta dari pemantau HAM, independen, jurnalis, dan PBB, laporan ini menyatakan bahwa tindakan Israel melanggar Konvensi Genosida.

Presiden AS Joe Biden mengumumkan proposal baru untuk gencatan senjata permanen pada akhir Mei. Namun, Israel terus berargumen bahwa tindakan mereka adalah untuk membela diri dari ancaman Hamas. Menurut Akram, seorang profesor yang berperan dalam penyusunan laporan, pembelaan diri bukan alasan untuk melakukan genosida. Pembelaan diri harus sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional, yang mengharuskan kekuatan bersenjata untuk memenuhi kriteria kebutuhan, proporsionalitas, dan pembedaan. Tindakan Israel dinilai tidak memenuhi hukum tersebut.

Mengapa PBB Tidak Beraksi?

PBB, sebagai organisasi internasional, bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian global. Namun, keputusan yang dibuatnya bergantung pada Dewan Keamanan, yang memiliki lima anggota tetap dengan hak veto. Artinya, negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, dan Inggris bisa menghentikan resolusi penting, seperti yang mengutuk tindakan Israel di Gaza. Meskipun ada bukti genosida dan pernyataan ahli, beberapa negara Barat masih mendukung Israel, yang bisa mempengaruhi sikap PBB dan menghambat upaya penyelesaian konflik yang mematikan. 

Konflik Israel-Palestina bersifst kompleks dengan beberapa faktor seperti etnis, agama, dan politik yang memperumit situasinya, sehingga PBB harus mempertimbangkan banyak aspek sebelum bertindak, yang sering memperlambat respons mereka. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kekuatan militer sendiri dan bergantung pada negara anggota untuk menyediakan pasukan perdamaian.

BDS Movement dan Langkah yang Bisa Kita Lakukan

Boycott, Divestment, dan Sanctions (BDS) movement merupakan gerakan yang mendorong tindakan hukuman terhadap negara Israel. Inisiatif inimenuntut akhir dari pendudukan Israel di Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, memberikan kesetaraan penuh kepada warga Palestina di Israel, serta mempromosikan hak para pengungsi Palestina. Menurut situs web resmi BDS Movement, gerakan ini bertujuan untuk "kebebasan, keadilan, dan kesetaraan," dipandu oleh "prinsip sederhana bahwa Palestina berhak mendapatkan hak yang sama dengan manusia lainnya."

Bagaimana melakukan boikot yang tepat sasaran?

Hal ini dapat diwujudkan dengan melaksanakannya secara massal, konsisten, dan spesifik.
BDS telah menyusun daftar perusahaan yang menjadi target boikot dan divestasi, yang terbagi menjadi empat kategori: 

1. Pemboikotan total
Beberapa di antaranya adalah HP, Chevron, Siemens, PUMA, Carrefour, AXA, SodaStream, Ahava, RE/MAX, dan produk-produk Israel di supermarket.

2. Perusahaan dalam kategori divestasi (pendukung okupasi Israel)
Hal ini termasuk bank, perusahaan senjata, investasi pada perusahaan atau lembaga internasional. Contohnya termasuk Elbit Systems, Intel, HD Hyundai, Volvo, Barclays, CAF, Chevron, HikVision, dan TKH Security.

3. Perusahaan dalam kategori tekanan (penerima manfaat dari Israel baik secara langsung maupun tidak langsung)
Masyarakat disarankan memberikan tekanan melalui kampanye dan media sosial, serta memilih alternatif jika tersedia. Perusahaan-perusahaan ini antara lain Google, Amazon, Airbnb, Booking.com, Disney, dan Teva Pharmaceutical Industries.

4. Pemboikotan organik
Perusahaan ini terlibat dengan Israel, tetapi tidak termasuk dalam panduan BDS. Di antaranya adalah McDonald's, Burger King, Pizza Hut, dan Papa John's.

Selain berpartisipasi dalam BDS, kamu juga bisa melakukan aksi lainnya, seperti: 

1. Meningkatkan kesadaran mengenai persoalan di Palestina. 

2. Memboikot produk Israel

3. Menyerukan ajakan BDS.

4. Menyuarakan dukungan melalui petisi dan kampanye untuk merealisasikan perdamaian.

5. Memberi dukungan finansial melalui organisasi kemanusiaan yang memberikan bantuan kepada warga Palestina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun