Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seolah-olah tidak pernah berakhir. Setiap kali ada kasus baru, tak lama akan ada kasus yang menjerat pihak lainnya. Bahkan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pernah menyampaikan seperti yang dikutip dari detik.com, "Jika dibaca dari data penanganan perkara KPK, sampai hari ini sekitar 61,17 persen orang pelaku diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik, yaitu 69 orang anggota DPR, 149 orang anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut."[1]Â
 Bahkan ada beberapa pejabat partai yang juga terlibat korupsi, seperti Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS 2009-2014) kasus korupsi impor daging, Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat 2009-2014) korupsi proyek hambalang, Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP 2007-2014) kasus korupsi pengelolaan dana haji. Selain itu juga masih heboh dengan kasus drama dari Setya Novanto (Ketua Umum Partai Golkar 2016-2017) terkait korupsi proyek e-KTP  dan Muhammad Romahurmuziy (Ketua Umum PPP 2014-2019) terkait jual beli jabatan di Kementerian Agama pada tahun 2019 ini.
Data tersebut tentu sangat mengecewakan. Para wakil rakyat dari kalangan eksekutif dan legislative yang berasal dari dimensi politik, harusnya mampu menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai representasi suara rakyat secara bertanggung jawab. Justru korupsi yang terjadi mayoritas dilakukan oleh pihak yang idealnya memiliki pengetahuan politik dan kesadaran berpolitik yang baik.
 Partai politik seringkali dianalogikan sebagai kendaraan politik. Secara sederhana, sebuah motor bisa digunakan oleh pemiliknya jika motor tersebut tidak rusak. Agar tidak rusak, maka ada banyak cara yang harus dilakukan seperti rajin melakukan service secara rutin, membersihkan motor dari debu, dan juga mengisi bahan bakar yang sesuai. Begitu juga dengan partai politik. Prof Ramlan Surbakti dalam bukunya, Memahami Ilmu Politik memaparkan ada beberapa fungsi dari partai politik yakni sosialisasi politik, rekrutmen partai, partisipasi politik, pemadu kepentingan, pengendalian konflik, dan control politik.[2] Agar bisa menjalankan semua fungsi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan partai politik. Lantas dari mana sumber pembiayaan dari partai politik di Indonesia? Dan bagaimana pengelolaan dana partai politik tersebut? Dan, bagaimana skema pembiayaan partai politik yang tepat?Â
 Sumber Dana Partai PolitikÂ
 Pengakuan Negara terhadap keberadaan partai politik telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3. Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 yang diatur dalam UU 2/2011 tentang Partai Politik, terdapat tiga sumber keuangan partai pollitik yakni (1) iuran anggota; (2) sumbangan perseorangan dan badan usaha; serta (3) bantuan keuangan negara.[3]
 Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2018 tentang Bantuan Keuangan Parpol, setiap parpol yang memiliki wakil di DPR menerima Rp 1.000 per suara sah yang diperoleh saat Pemilu Legislatif 2014.Dengan perhitungan kasar dari total suara yang didapatkan pada pemilu 2014, maka 10 partai dengan suara terbesar akan menerima dana dari Negara dengan rincian : PDI-P sebesar Rp 23,6 miliar ; Partai Golkar Rp 18,4 miliar ;Partai Gerindra Rp 14,7 miliar ; Partai Demokrat Rp 12,7miliar ; PKB Rp 11,2 miliar; PAN Rp 9,8 miliar ; PKS Rp 8,48 miliar; Partai Nasdem Rp 8,4 miliar; PPP Rp 8,1 miliar; dan Partai Hanura Rp 6,5 miliar. [4]
Bukan hanya Indonesia yang memberikan bantuan dana kepada partai politik. Pada tahun 2012, Meksiko memberikan dana sebesar 387 juta dolar AS dan setahun kemudian jumlahnya turun menjadi 144 juta dolar AS. Pada tahun 2014, Jerman memberikan dana untuk parpol sebesar 157 juta Euro. Sedangkan Turki pada tahun 2011 juga membagi dana negara sebesar 163 juta dolar AS. Namun, berdasarkan laporan Transparency International (TI) tahun 2016, Meksiko mengantongi poin 30 (poin 100 paling bersih dari korupsi). Padahal rata-rata indeks yang mencapai 43 poin.[5] Ternyata pemberian dana Negara yang cukup besar tidak mampu menjamin bahwa tingkat korupsi dalam negara tersebut juga akan berkurang. Â
 Alokasi Dana Partai Politik di IndonesiaÂ
 Tak banyak partai politik yang bersedia untuk menunjukkan laporan keuangannya. Ketika saya mencoba mencari di internet lewat website resmi partai, hanya Partai Gerindra yang memiliki laporan keuangan dan audit yang berisi rincian sumber penerimaan serta pengeluaran. Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera hanya mengapload hasil laporan pemeriksaan dari Badan Pemeriksaan Keuangan RI, PKB pada tahun 2017 dan PKS untuk anggaran tahun 2014. Selain ketiga partai tersebut saya tak menemukan ada partai yang sangat transparan untuk menunjukkan sumber pendanaan serta pengalokasian dana tersebut.
 Meskipun hanya partai Gerindra, namun kita bisa mendapatkan sedikit gambaran seberapa besar biaya yang dibutuhkan sebuah partai politik agar bisa berjalan. Berdasarkan laporan keuangan dan audit Partai Gerindra di tahun 2014, sebanyak 26 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menyumbangkan sebesar 7.000.000-7.900.000 setiap bulan. Jika dijumlahkan, pada tahun 2013, Partai Gerindra mendapatkan 2,4M dan tahun 2014 sebesar 1,78M dari anggota partainya yang menduduki kursi legislative di DPR RI. Sedangkan iuran anggota dari 72 anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pada tahun 2014 sebesar 1,69M. [6]  Sedangkan total pengeluaran Partai Gerindra pada tahun 2014 mencapai 173 milyar. [7]Â