Setengah tahun sudah berlalu, namun pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Semua sektor kehidupan turut menderita. Salah satunya sektor pendidikan. Awal kali sekolah-sekolah ditutup, para siswa dan mahasiswa merasa senang hati, karena akhirnya merasakan 'liburan'.Â
Lalu tiba-tiba sistem mulai berganti secara online, para siswa, mahasiswa, serta pendidik mulai kelabakan. Saya sebagai mahasiswa revisian pun mendadak jadi tutor untuk adik sendiri.Â
Berbulan-bulan di rumah, ternyata juga membuat stress. Bukan hanya siswa dan mahasiswa, tapi juga para orang tua. Terutama dari kalangan menengah ke bawah. Ada yang terkena PHK, ada yang omzetnya turun sampai bangkrut, ada juga yang baik-baik saja. Tapi, berapa persen sih yang bertahan?
Orang tua masih sibuk bekerja agar bisa membayar SPP atau pun UKT. Mas Menteri memang telah menurunkan Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi untuk seluruh PTN.Â
Namun, peraturan tersebut hanya menyasar mahasiswa kampus negeri yang mengalami masalah finansial secara langsung karena pandemi. Banyak yang tidak terima, tapi bagaimana lagi? Ada banyak biaya operasional kampus yang harus dibayarkan meskipun pembelajaran berlangsung secara daring.
Kita semua mulai beradaptasi. Mulai menerima kenyataan bahwa kondisi ini akan berlangsung lebih lama. Belum ada jaminan vaksin yang siap diproduksi dan disebarluaskan dalam waktu dekat. Caf, mall, dan pasar mulai dibuka kembali. Â Roda ekonomi mulai berjalan lagi. Meskipun tetap bergerak lambat.
Namun, sekolah dan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya dibuka. Berdasarkan data data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebanyak 14 anak (usia 0-17 tahun) meninggal dari 584 anak positif COVID-19.Â
Selain itu, 129 anak meninggal dari 3.324 anak berstatus pasien dalam perawatan (PDP), ada 129 anak yang meninggal. Mereka meninggal sebelum dites swab atau hasil tesnya keluar.[1]Data tersebut menjadi salah satu alasan kegiatan belajar mengajar khususnya bagi anak-anak di bangku sekolah lebih baik dilakukan di rumah. Apalagi kesadaran masyarakat pada protokol kesehatan masih rendah. Â
Bagi mahasiswa, kemandirian dalam belajar tentu idealnya sudah terbangun. Mereka sudah punya inisiatif untuk memulai belajar sendiri dan lebih mahir dalam mencari referensi belajar. Mereka sudah bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun, belajar online bagi anak-anak SD tentu akan lebih sulit berjalan. Apalagi jika orang tuanya yang bekerja dan secara kemampuan ekonomi juga rendah.
 Pertama, belajar online ini mengharuskan ada fasilitas handphone dan sinyal internet bagus. Masalahnya, tidak semua keluarga memiliki handphone yang bisa digunakan oleh anak-anak mereka belajar. Dalam satu keluarga ada yang hanya memiliki satu handphone.Â
Bisa dibayangkan jika keluarga tersebut memiliki dua anak dan harus bergantian dengan orang tuanya. Belum lagi ada beberapa daerah yang memiliki keterbatasan akses internet.Â