Manusia adalah khalifah di muka bumi. Allah menempatkan amanah besar sebab manusia memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan mahluk selainnya. Kualitas dari seorang manusia, dianggap mampu menjaga keseimbangan alam semesta. Allah telah menegaskan, "Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Â (Qs. At-Tiin:4)
Begitu pula dalam bisnis, manusia seharusnya menjalankan hukum-hukum sebagaimana mestinya sehingga tidak merusak sistem ekonomi didalamnya. Namun, masih sering kita temui fenomena-fenomena bisnis yang buruk dan menimbulkan permasalahan.Contohnya, pengusaha yang bertindak semena-mena terhadap karyawannya.Â
Sikap kapitalisme tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengedepankan moralitas. Maka, untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diperlukan suatu alat, agar manusia dapat menjalankan perilaku yang baik dalam berbisnis.
Secara etimologi, "etika" berasal dari bahasa yunani. Kata "etika" merupakan gabungan dari dua kata yakni "ethos" yang berarti sifat, watak kebiasaan, sedangkan "ethikos" memiliki arti susila, kelakuan, dan perbuatan yang baik (Lorens, 2000: 217). Sedangkan menurut Keraf (2002), "etika" merupakan perintah dan larangan terhadap baik-buruknya perilaku manusia. Jika perilaku tersebut baik, maka harus ditaati. Sedangkan perilaku buruk, harus dihindari.
Sedangkan bisnis berasal dari kata dalam bahasa Inggris yakni "businees". Kata tersebut merujuk pada segala aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, guna menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari(Manullang,2013). Â Pengertian ini selaras dengan Hughes dan Kapoor bahwa bisnis adalah usaha individu yang terorganisir untuk menghasilkan dan menjual barang maupun jasa untuk mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sehingga yang dimaksud etika dalam berbisnis adalah usaha menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan cara yang baik.
Dewasa ini, banyak kita jumpai berbagai masalah dalam bisnis. Salah satunya pada aspek SDM (Sumber Daya Manusia). Pada tahun 2017, ratusan pekerja dari perusahaan ice cream Aice melakukan pemogokan kerja karena mendapatkan ketidakadilan.Â
Semua buruh mendapatkan gaji pokok sebesar Rp 3,5 juta, namun masih terdapat pemotongan jika tidak masuk kerja, meskipun dengan alasan sakit. Hal ini tidak sesuai dengan  UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[1] Belum lagi pada aspek produk, sering kita jumpai produsen yang menjual barang-barang yang justru merugikan masyarakat. Publik pernah digemparkan dengan adanya vaksin palsu pada tahun 2016.Â
Bahkan cukup banyak rumah sakit yang menggunakannya. Produsen vaksin palsu ini diduga telah beroperasi sejak tahun 2003.[2] Temuan tersebut tentu mengkhawatirkan masyarakat luas karena vaksin palsu telah disebarluaskan ke wilayah Indonesia dan akan membahayakan penggunanya.Â
Â
Selain itu, terdapat perdebatan antara bisnis syariah dan konvensional. Masyarakat terpecah-pecah dalam beberapa pendapat. Ada yang memegang teguh prinsip bahwa bisnis yang dilakukan harus berbentuk syariah, seperti : asuransi syariah dan gadai syariah. Prinsip yang ditegaskan adalah mudharab (bagi hasil). Sedangkan, pendapat lain juga tetap membolehkan bisnis konvensional, seperti : firma dan perseroan terbatas.
Â
Dalam bisnis, produsen maupun konsumen, seharusnya menjalankan kedudukan masing-masing. Produsen harus mampu membuat produk, barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Produk tersebut tidak boleh membahayakan konsumen. Sesuai tujuan bisnis, produsen juga harus mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Â
Idealnya, konsumen juga mendapatkan produk yang dibutuhkan atau diinginkan. Jika berlebihan, justru akan mengarah pada gaya hidup konsumtif yang akan merugikan dirinya sendiri. Produk yang dibeli konsumen juga tidak boleh membahayakan dirinya.
Â
Oleh karena itu, dengan etika dalam berbisnis, pengusaha akan menjalankan kedudukan sesuai porsinya. Bisnis yang dijalankan tidak merugikan pihak-pihak terkait, seperti konsumen dan pekerja. Hal ini akan selaras dengan kualitas rezeki yang diterima produsen. Keuntungan yang didapatkan dengan cara yang baik akan mendatangkan keselamatan lahir dan batin bagi produsen. Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim." (Qs. Al -- Baqarah : 254)
Â
Sedangkan bagi konsumen, tentu akan terhindar dari kecurangan. Harga yang didapatkan konsumen akan sesuai dengan kemampuan membelinya dan produk yang ia terima juga akan membawa manfaat. Perilaku konsumsi yang tidak berlebihan juga akan mendatangkan keuntungan bagi konsumen, karena konsumen akan membeli secara rasional. Sehingga, perilaku tersebut tidak mengarah pada konsumerisme. Dengan menerapkan etika dalam bisnis, manusia dapat hidup makmur di dunia dan mendapatkan keselamatan di akhirat. Â
Â
Daftar Pustaka
Â
- Bagus, Lorens. (2000). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
- Â
- Manullang. (2013). Pengantar Bisnis. Jakarta: Indeks
- Â
- Redaksi. (2017, November 4). Derita Buruh di balik Harga Murah Es Krim Aice. Kumparan.com. Diakses dari https://kumparan.com/@kumparannews/derita-buruh-di-balik-harga-murah-es-krim-aice
- Redaksi. (2016, Juli 14). Menkes Ungkap 14 Rumah Sakit 'yang pakai vaksin palsu'. BBC.com. Diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160714_indonesia_rs_vaksinpalsu
- Â Sonny, Keraf (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H