Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan berpesan kepada anak muda, jangan takut menjalani hidup. Tidak perlu uang puluhan juta rupiah, tak perlu ayah-ibumu orang kaya, tak perlu rumahmu berlapis emas. Selama kamu memiliki semangat dan berani, itu lebih daripada cukup untuk menjalani hidup.
Sebelum menjadi Kepala LPPM Universitas Satya Negara Indonesia (2010-2011), Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trilogi (2019-2023), Alumni PPSA XXII (2019), bahkan Rektor Universitas MPU Tantular (2017-2019), dulunya beliau pernah menjadi seorang tambal ban di Cililitan, Jakarta dan juru antar beras di Pasar Induk beras Cipinang, Jakarta demi memperoleh uang agar sekadar bisa makan.
Datang dari Kampung Batulima, Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan, si sulung dari delapan bersaudara, buah hati dari Uluan Panjaitan dan Dina Manurung, pasangan petani. Semasa kecilnya, sehari-hari, beliau membantu kedua orang tuanya bekerja di sawah. Ini beliau lakukan hingga masa Sekolah Menengah Atas.
Bahkan seorang Mangasi Panjaitan tidak pernah mempercayai ia dapat diterima di salah satu Universitas Negeri Terbaik di Indonesia, Institut Pertanian Bogor tahun 1981.
Awal berkuliah, beliau hidup sehari-hari bermodalkan uang Rp 20.000,00 per bulan. Jangankan untuk membeli buku, untuk makan saja nominal uang tersebut tidak cukup untuk mengenyangkan perutnya. Namun hal itu tidak menghentikan beliau untuk belajar dengan sebaik-baiknya. Itu beliau lakukan bermodalkan pinjaman buku dari teman-teman yang satu tempat tinggal atau kost dengannya. Hal ini juga menjadi awal Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan menyadari pentingnya arti pertemanan dalam hidup.
Tidaklah mungkin bagi Kita berhasil tanpa bantuan orang lain, begitu menurut Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan.
Bisa dibilang pertemanan menjadi salah satu faktor terkuat yang mendukung keberhasilannya selama masa kuliah. "Tagor Marpaung ... berani mati bersama saya. Hebat sekali itu orang." Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan bercerita tentang salah satu teman terbaiknya.
Uang sebesar 20 ribu yang dikirimkan dari kedua orang tuanya setiap bulan, tidak lagi beliau terima setelah satu tahun secara rutin diterimanya. Hal itu berdasarkan permintaannya sendiri. Menurut Beliau, sebaiknya uang sebanyak itu, orang tuanya belikan beras untuk ketujuh orang adiknya. Beliau tidak rela uang sebesar 20 ribu yang bahkan tidak cukup untuk kesehariannya, ia terima ketika uang itu dapat digunakan untuk mengisi perut ketujuh adiknya.
Untuk mendapatkan uang, Beliau bekerja keras dengan menjadi asisten dosen dan menjadi pengajar pada bimbingan belajar di kota Bogor. Sejak saat itulah, Beliau menghidupi dirinya sendiri. Lagi-lagi, pertemanan menjadi malaikat penolong dalam hidup seorang Assoc. Prof. Mangasi Panjaitan. Untuk tempat tinggal, beliau menumpang dengan temannya, mengisi perut dari makanan yang dibelikan temannya, dan masih banyak lagi kebaikan teman-temannya yang tidak cukup kata untuk diceritakan.
Tahun 1983, beliau kembali ke Kota Bogor dari Kisaran, setelah libur kuliah. Pada saat itu, ia pulang ke Kota Bogor dengan hanya membawa sedikit sekali uang. Nominal uang yang memang hanya bisa diberikan kedua orang tuanya. Tidak masalah bagi Beliau berapapun uang yang ada di kantungnya. Sampai di Jakarta, uang yang dibawanya hanya tersisa Rp. 1000,00. Bukan jadi hal yang menakutkan baginya. Dengan sisa uang itu, Beliau masih harus menempuh perjalanan ke Kota Bogor. Setelah membayar ongkos bus Jakarta-Bogor sebesar Rp. 700,00, sesampai di Kota Bogor, beliau hanya mengantungi Rp. 300,00. Besaran uang itu pun hanya cukup dibelikan satu kali makan siang. Nominal uang tersebutlah yang menjadi modalnya untuk melanjutkan hidup di Kota Bogor. Hal ini sama sekali tidak mengkhawatirkan bagi Beliau.