Sebagai suatu sistem kehidupan universal dan komprehensif, Islam hadir dan dipercaya oleh pemeluknya sebagai ajaran yang mengatur tentang segala bentuk aktivitas manusia, termasuk masalah ekonomi.Â
Salah satu bentuk aktivitas yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah persoalan kepemilikan (al-milkiyyah). Islam senantiasa memberikan ruang dan kesempatan kepada manusia untuk mengakses segala sumber kekayaan yang dianugerahkan-Nya di bumi ini, guna memenuhi semua tuntutan kehidupan, memerangi kemiskinan, dan merealisasikan kesejahteraan dalam semua sisi kehidupan manusia. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Kepemilikan terhadap harta yang di dalam Islam diatur dan diarahkan untuk kemaslahatan. Hal ini terkait dengan konsep hak milik dalam Islam yang memberikan batasan-batasan bagi pemilik harta baik dari cara perolehnya maupun cara pembelanjaannya.Â
Karena itulah dalam Islam perlindungan terhadap harta menjadi salah satu tujuan disyariatkan dalam hukum Islam yang utama selain perlindungan terhadap agama Islam, jiwa, akal dan kehormatan. Harusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya hanyalah Allah yang menciptakan segalanya, semua prakarsa dan usaha yang hakiki hanya milik Allah semata.Â
Pemberdayaan manusia atas segala fasilitas kehidupan, bukan berarti hal iitu dapat menafikan kepemilikan Allah yang hakiki atas aset-aset tersebut. Dan juga tidak bisa dipahami behwa kepemilikan atas harta benda berpindah dari Allah menjadi milik manusia.[1] Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Pengertian Kepemilikan
Kata "kepemilikan" dalam bahasa Indonesia terambil dari kata "milik". Ia merupakan kata serapan dari kata "al-milk" dalam bahasa Arab. Secara etimologi  kata  "al-milk"  terambil  dari  akar  kata " - - - " yang artinya memiliki. Dalam  bahasa  Arab  kata" " berarti memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas.Â
Maksudnya kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu harta (barang atau jasa) yang membolehkannya untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara', sehingga orang lain tidak diperkenankan mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan.Â
Misalnya, Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkan dan orang lain tidak boleh menghalangi dan merintanginya dalam menikmati sepeda motor yang dimilikinya tersebut, kecuali setelah mendapat izin dari pemiliknya.Â
Sedangkan pengertian "kepemilikan" menurut istilah berbagai ungkapan yang dikemukakan oleh para ahli, namun secara esensial seluruh definisi itu pada prinsipnya.[2] Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syari'ah.Â
Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syari'ah. Menurut hukum dasar, yang namanya harta, sah dimiliki, kecuali harta-harta yang telah disiapkan untuk kepentingan umum, misalnya wakaf dan fasilitas umum.[3]
Konsep Kepemilikan Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadits sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri, untuk konsumsi dan untuk produksi, namun tidak memberikan hak itu secara absolut (mutlak).[4] Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur'an yang ada relevansinya dengan teori kepemilikan.
 "kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu."(Q.S Al-Imran : 189)[5]
Dalam ayat tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa Allah-lah pemilik mutlak segala sesuatunya, dan manusia hanya menjadi khalifah Allah di bumi.
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S Al-Baqarah:29)[6] Â
ayat di atas menekankan bahwa apa yang telah Allah ciptakan dapat dimiliki secara kolektif oleh seluruh umat manusia. Secara hukum hak milik individu adalah hak untuk memiliki, menikmati dan memindah tangankan kekayaan yang diakui dan dipelihara dalam Islam, tetapi mereka mempunyai kewajiban moral untuk menyedekahkan hartanya, karena kekayaan itu juga merupakan hak masyarakat bahkan hewan.
Dari Abu Umamah, yaitu lyas bin Tsa'labah al-Haritsi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang mengambil haknya seseorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan neraka untuknya dan mengharamkan syurga atasnya." Kemudian ada seorang lelaki yang bertanya: "Apakah demikian itu berlaku pula, sekalipun sesuatu benda yang remeh ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Sekalipun bendanya itu berupa setangkai kayu penggosok gigi." (Riwayat Muslim)
Dalam hadits di atas memberikan pengertian bahwa kita sebagai seorang muslim tidak boleh saling merampas hak milik sesama, sekecil apapun itu. Kita sebagai umat muslim harusnya saling menolong dalam menjalankan setiap perintah yang Allah berikan kepada umat-Nya.Â
Kita sebagai manusia harus sadar bahwa hak yang dimiliki hanyalah bersifat sementara, dan merupakan titipan dari Allah yang sewaktu-waktu jika Dia berkehendak maka Dia akan mengambilnya dari kita. Sekecil apapun hak yang kita rampas dari sesama maka Allah akan sangat membenci itu, seperti yang telah tertulis dalam hadits di atas.
Islam memiliki pandangan yang khas tentang hak milik, sebab ia dielaborasi dari Al Qur'an dan Hadist. Dalam pandangan Islam pemilik mutlak seluruh alam semesta adalah Allah sedangkan manusia adalah pemilik relatif.Â
Kepemilikan manusia terikat dengan aturan Allah, ia hanya bertugas untuk melaksanakan perintah Allah atas pengelolaan alam semesta. Kesadaran bahwa kepemilikan manusia atas sumber daya ekonomi akan dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat akan mendorong manusia untuk berhati-hati dalam mengelola hak milik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam memberikan kedudukan yang proporsional antara hak milik individu, hak milik kolektif dan hak milik negara. Meskipun hak milik  ini sangat dilindungi, tetapi ketiganya bukan hak milik yang bersifat mutlak. Hak milik dapat berubah dan diubah sesuai dengan tingkat kepentingan dan urgensinya, tentunya melalui cara-cara yang dibenarkan.
Konsepsi tentang hak milik memiliki implikasi yang mendasar bagi keseluruhan sistem ekonomi. Konsep ini akan menjadi dasar tentang apa, bagaimana dan mengapa mengelola, serta untuk siapa seluruh sumber daya ekonomi di muka bumi ini. Maka dari itu dalam pandangan islam, terdapat prinsip-prinsip dasar hak milik secara garis besar yaitu:[7]
Pemilik mutlak (the absolute owner) alam semesta ini adalah Allah Swt.
Manusia diberikan hak milik terbatas (limited ownership) oleh Allah Swt atas sumber daya ekonomi , dimana batasan kepemilikan dan cara pemanfaatannya telah ditentukanNya.
Pada dasarnya Allah menciptakan alam semesta bukan untuk diriNya sendiri, melainkan untuk kepentingan sarana hidup (wasilah al hayah) bagi mahluk alam semesta dan isinya.
Manusia harus mempertanggungjawabkan penggunaan hak milik terbatas ini kepada Allah Swt kelak di yaumul qiyamah (hari kiamat).
Kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Manusia hanya bisa memiliki kemanfaatan atas fasilitas yang ada, seperti mempunyai tanah untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, sebagai lahan pertanian, ataupun sebagai ladang bisnis.Â
Kepemilikan yang ada hanya sebatas mengambil manfaat dan tidak bisa menghilangkan kepemilikan Allah yang hakiki, atau mengurangi hak-hak Allah atas segala fasilitas kehidupan yang telah diturunkan di atas bumi.
[1] Abdul Sami' Al-Mishri, Pilar-pilar Ekonomi Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 26.
[2] Ali Akbar, "Konsep Kepemilikan dalam Islam", Jurnal Ushuluddin, Vol.XVIII No.2 Juli 2012, Riau:UIN Sultan Syarif Kasim, hlm. 125.
[3] Ibid, hlm. 101.
[4] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA, 2004), hlm. 100.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Media Fitrah Rabbani, 2011), hlm. 75.
[6] Ibid, hlm. 5.
[7] Ibid, hlm.96.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H