Tak bisa terus bersembunyi
Kesedihannya Ia tutupi
Tangis terpecah karena perih
Namun yang tersayat adalah hati
Sudah 5 tahun Ayah keluar kota tepatnya ke Jakarta. Ibu masih memiliki harapan supaya Ayah kembali. "Sudah, Bu. Ayah pasti datang. Kita hanya perlu sabar aja," kataku. Ibu hanya terdiam. Melihat matahari terbenam dari teras rumah.
Aku menatap Ibu. Ku percaya, Ibu sedang menahan tangisannya. Muka Ibu yang terlihat pucat karena sudah lama Ibu bekerja keras untuk membuat keluarga ini tetap bertahan "Hmm.. Sudah yuk. Kita masuk. Nenek nanti mencari kita," kata Ibu dengan suara lembutnya. Aku mengangguk setuju.
Ayah sudah lama tak berada di rumah. Terakhir kali ku melihat Ayah pada saat aku berumur 9 tahun. Sekarang, Aku sudah berumur 14 tahun. Ayah berjanji akan kembali. Ku ingat dengan jelas perkataannya. "Kamu tunggu Ayah di depan sini ya. Ayah janji akan kembali, Ash."
"Nah, ini dia anaknya. Ash gimana kemarin sekolahnya?" tanya Nenek. Ku menatap ke piringku yang kosong. Melihat ke meja makan yang hanya terdapat tempe, ikan, dan sayur -- mayur. Ku menjadi tidak mood makan.
"Ash?"
"Ya, Nek?"
"Gimana sekolahmu? Baik -- baik saja?"
Ku mengangguk. Ibu melihat kepadaku. Dia tahu bahwa aku memiliki masalah di sekolah. Tidak punya teman salah satu alasannya. "Hmmm.. makan ayo. Ntar dingin loh," kata Ibu yang langsung mengambil sendok makan dan menyendokkan nasi ke piringku.
Kita makan sambil diam. Selesai makan, ku langsung ke kamar dan membuka laptop. Laptop pemberian Ayah sebelum dia pergi sudah ku pakai berapa tahun. Sudah tua memang.
Banyak juga tugas yang harus ku kerjakan minggu ini. Biologi, PKn, Matematiika. Deadlinenya hari Kamis. Aduh. Ku menggaruk kepalaku. Banyak sekali tugas untuk minggu ini.Â
Lalu ku mendengar suara teriakan. "ASH! Sini bantuin Ibu!" terdengar suara dari Ibu yang ku rasa berada di ruang tamu. Ku mematikan telepon dan menghampiri Ibu.
"Ash.. Kita harus berbicara.. ini sangat penting," kata Ibu dengan suara yang kecil. Tampaknya Ibu habis menangis karena ku masih bisa melihat mata Ibu yang sedikit merah. "Ash.. Ibu harus mencari Ayah. Sudah lama ia tidak pulang -- pulang.. Ash.. janji kamu akan menjadi anak yang baik?" Ku terdiam. Tidak ada kata -- kata yang keluar dari mulutku. Hanya sebuah anggukan setuju.
APA YANG KAMU PIKIRIN ASH?! KAU SUDAH DITINGGAL AYAH. SEKARANG IBU! KAMU MAU APA ASH?! NENEK SUDAH TUA. KAMU GIMANA MAU ATUR WAKTU?! Ku menatap Ibu. Pikiran yang kosong. Tatapan yang kosong.
"Ibu akan berangkat 2 hari lagi. Kamu jagain Nenek ya.. Ibu akan balik kok. Ibu janji."
Janji. Ku meragukannya. Ayah saja sudah berjanji berkali -- kali tetapi selalu ingkar janji.
10 hari kemudian..Â
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. Ku pamit ke Nenek untuk berangkat ke sekolah. Sekolahku jauh dari rumah jadinya kalau berangkat harus pagi -- pagi.
"EH SI BOCIL LAGI NEH! HAHAHA!" terdengar suara hinaan yang berasal dari teman sekelasku. Setiap hari ku mendengarkan hal -- hal yang sama. Jawaban yang aku berikan hanya senyuman karena Ayah bilang "Jangan biarkan mereka melihat kesedihanmu. Berikan saja mereka senyuman. Mereka suatu saat nanti akan diam kok." Kalimat tersebut.. terus diulang -- ulang di benakku. Tapi, kapan mereka akan berhenti? Sudah 2 tahun mereka mengejekku.
Ku duduk selalu di paling belakang dan sendirian karena ku terlalu malas untuk bersosialisasi. Seseorang dapat aku bilang teman hanya Dika, cowok yang selalu menemaniku saat istirahat. Tapi, belakangan ini kita sudah jarang bertemu. Dia kelas IPS, ku kelas IPA.
Selama pelajaran ku terus berpikir. Dimanakah Ibu? Ku memikirkan janji Ayah dan Ibu sekali lagi. Kalimat yang berbeda. Arti yang sama. Mereka akan kembali. Tapi, ku meragukannya.
"ASH! FOKUS! JANGAN BENGONG AJA! KERJAIN HALAMAN 49! Kebiasaan melamun terus," teriak Pak Guru. Untung saja dia tidak melempar penghapus. Kalau sudah, matilah aku dipanggil guru BK.
"Oh iya, Pak. Maaf," balasku.
"NEK! ASH PULANG!!" kataku sambil melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak sepatu. Ku cari nenek di kamarnya. Tidak ada. "Nek??" Ku cari di dapur. Tidak ada. "Nenek dimana?" tanya ku sekali lagi. Ku cari ke ruang keluarga. Tidak ada.
"Nenek disini, Ash," kata Nenek dari belakang. Ku berlari ke halaman rumah. Melihat Nenek sedang menonton matahari terbenam. Warna oranye yang bercampuran dengan merah terlihat indah. Kita merasakan damai setiap kali melihat matahari terbenam. Ya. Comfort.
"Ash.. Kamu sudah tau Ibumu ada dimana?" tanya Nenek. Ku menggeleng. "Dia mengalami kecelakaan."
Mendengar itu ku ingin berteriak, marah, dan menangis. "Kok... Ne... Nenek... bisa ta... tahu?" kalimat tersebut keluar dari mulutku dengan putus -- putus. Nenek menghela nafas.
"Siang tadi di TV ada berita kalau pesawat tujuan Jakarta mengalami kecelakaan di Jakartanya. Pesawat yang Ibu tumpangi bannya tergelincir," kata Nenek.
Ku terdiam. Banyak pikiran yang menghantui. Ku mencoba untuk berhenti memikirkannya. Ku berdiri dan berusaha menahan tangisan tapi, tak bisa. Sekarang ku dapat merasakannya. Bagaimana rasanya untuk kehilangan orang yang disayangi.
Janji. Apa itu? Ku tak tahu. Janji adalah suatu perkataan yang harus dipertimbangkan. Hati -- hati dengannya. Bisa menyakitkan.
30 hari kemudian
Kata menusuk bagai parang
Terbahak-bahak layaknya orang senang
Namun didalam Ia tak kan pernah tenang
Minggu UTS. Tidak bisa belajar karena terlalu banyak gangguan. Sudah 1 bulan sejak Ibu meninggal. Ayah masih belom pulang. Ku sudah meragukan apa itu janji.
Nilai sekolah menurun. Teman? Ku tak punya. Adanya sebagai bahan olokan. Sudah lah mau diapakan lagi. Lalu, teman sebangkuku berkata, "Ash, kamu dipanggil guru BK."
"Ya, napa Bu?" kataku sambil mengetok pintu. "Oh, Ash. Silahkan duduk," kata Bu Ina, guru BK untuk angkatan SMP, "Jadi, selama ini ibu lihat kamu ini kalo di sekolah tampaknya selalu menyendiri. Beberapa saat ini nilai mu juga menurun. Ibu boleh tanya, mengapa?"
Ku menghela nafas. "Saya tidak suka bersosialisasi... Itu saja sih. Masalah yang lain sih tak ada," Ku melihat ke arah jendela. Hari yang bagus untuk mengakhirinya. Ku tak tahu. Pikiran tersebut tiba tiba datang. Ku tak dapat fokus ke pada Bu Ina. Tapi dia terlihat seperti mengisi suatu data yang terdapat namaku.
"Ash, kalo kamu ada masalah atau apa, Kamu bisa berbicara kepada saya kapan saja. Terima kasih karena sudah mau datang kesini." Kami bersalaman dan aku pamit untuk kembali.
"MPUS LO DIPANGGIL GURU BK. HAHAHA. MAU D.O YA LO?!" Ku melihat mereka. Terlihat senyuman yang terpajang di wajah mereka. Tawa mereka yang terbahak. Mereka tampaknya senang sekali untuk mengataiku. "Ga, kok. Dipanggil doang. Ga ada masalah. Hehe," balasku sambil menahan tangisan. 'Ash, tetep positif,' tuturku dalam hati. Memasang senyuman paksaan.
21 hari kemudian
Nenek pergi ke rumah Bibi untuk liburan selama 2 minggu. Ku ditinggal sendiri di rumah. Nilai UTS dapat dibilang memuaskan. Setidaknya ada kenaikkan dari nilai ulangan hariannya. Ku melihat luka di lenganku. Merabanya. Kurang dalam. Ku mengambil jaket dan mengenakannya sambil berkaca dan berpikir, "Setidaknya ku dapat menyembunyikannya untuk sementara."
Berjalan ke sekolah sendirian. Menjauhkan diri dari Dika dan yang lain. Ash, hari ini. Lakukan. Pikiran tersebut terus diulang -- ulang.
Janji yang kau terus dengar semuanya palsu. Tak ada orang yang dapat menepati janji. Ingat perkataan mereka yang berjanji bahwa semua hal akan membaik suatu saat? Hal itu tidak benar. Jangan percaya terlalu mudah.Â
Rasanya ingin menarik rambutku dan berteriak sekencangnya. Jantungku berdebar. Tubuhku gemeteran. Bersalah. Tak berguna. Kau tak punya siapa -- siapa lagi. Selama pembelajaran ku tak dapat fokus. Perkataan tersebut diulang -- ulang.
"Untuk Ash, Kamu diharapkan untuk ke BK," kata Pak Guru. Ku berdiri dan mengangguk ke Pak Guru. "Paling, masalah duit. Belom bayar uang sekolah dia. Hahaha," terdengar tawanya. Ku menarik lengan jaketku sampai benar-benar menutup telapak tanganku.
"Ya, Bu?" ku berkata dan duduk berhadapan dengan Bu Ina. "Ash, Ibu khawatir sama kamu. Hari hari ini kamu sudah mulai terlihat pucat dan lesu. Kamu ada masalah apa ya?" Ku melihat ke lantai dan menarik nafas. "Bu, jadi.. Bu Ina pasti pernah dengar bahwa saya selalu ditertawakan, dijadikan bahan olokan, dihina, banyak yang bilang kalau saya ini tak berharga," ku menarik nafas lagi dan melanjutkan, "... Bu Ina sudah tahu bahwa Ibu saya meninggal. Saya masih tidak tahu keberadaan Ayah saya. Saya tak punya siapa.
Selesai pembicaraan aku dengan Bu Ina, katanya aku harus bertemu dengannya setiap minggu dan menceritakan hal -- hal yang terjadi pada hidupku. "Semua hal pasti akan membaik, Ash. Saya pasti percaya," kata Bu Ina. Ingin rasanya ku melawannya tapi apa boleh buat. Jika ku melawannya hal akan semakin rumit. Semua hal pastinya berakhir dengan baik. Pasti. Tetapi kita belum tahu baiknya seperti apa.
Ku berjalan ke kelas dan melihat teman sekelasku. Provokator yang pastinya adalah Dika. Ku percaya. Sudah ku lihat gerak geriknya. Dia berpura -- pura baik di depan. Dibelakang menusuk, menghina. Dika sudah jarang berbicara denganku. Jangan percaya terlalu mudah. Ku tertawa sendiri.
Hari terakhir.
 23 Agustus. Matahari terbenam. Indah sekali. Sayang hari ini adalah hari terakhirku melihat matahari terbenam. Kurang dalam. Ku tersenyum. Kurasakan lega setelah ku melihat lukanya.
...
Janji. Apa itu?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H