Pernikahan kami, baru saja menginjak diangka sepuluh tahun. Aku sangat bahagia menjadi istrimu. Engkau begitu lembut, sabar, penuh kasih sayang. Imam Soleh, idaman para istri. Dua putri cantik menemani kebahagiaan kita. Buah cinta yang begitu kita sayangi. Mereka anak-anak yang cerdas, cantik serta soleha. Engkau selalu menanamkan iman sebagai muslim pada mereka. Tak heran, mereka menjadi anak-anak yang begitu membanggakan.
Hari itu, di mana, engkau tiba-tiba ambruk. Selama ini engkau tak pernah mengeluh. Aku yang selalu mengeluh. Lelah. Sebagai wanita karir, aku juga membuka usaha kuliner. Tanpa ada seorang asisten rumah tangga. Namun, engkau begitu sabar, membantu setiap pekerjaan rumah tangga. Padahal, engkau juga lelah sepulang bekerja.
"Tenang ma, papa bantu," itu yang selalu engkau ucapkan.
"Mama istirahat saja, biar rumahnya berantakan. Besok baru kita bereskan," katamu menenangkan ku.
Esok harinya, aku kembali dengan rutinitas seperti biasanya. Rumah masih tetap berantakan. Engkaulah yang merapikan. Sedari selesai solat subuh. Engkau telah bergegas, membantu urusan rumah tangga. Kita memang tak pernah memiliki asisten rumah tangga.
"Tak perlu," katamu.
"Biar papa bantu mama, lebih romantis," katamu.
Privasi kita terganggu, engkau tak bisa memeluk mama tiba-tiba. Itu kesukaanmu. Iya. Kamu sangat romantis. Tak pernah ada kata bosan. Mencium, memeluk, setiap saat. Bukan hanya padaku, namun pada anak-anak juga. Karena itulah, engkau tak mau ada orang lain, di rumah kita.
Aku tak dapat menahan, air mata yang jatuh di pipi. Walau aku sadar. Menangis sekencang apapun. Engkau tak akan kembali dalam pelukan kami. Sejak engkau ambruk hari itu.Â
Ternyata baru aku tersadar. Engkau telah menyembunyikan kesakitanmu. Engkau tak mau, aku larut dalam sedih. Namun, tak tahukah engkau. Kepergianmu yang terlalu cepat, tak dapat aku terima. Walau aku harus ikhlas melepasmu. Kesendirian ini begitu sakit. Sangat menyiksa. Aku tak dapat hidup tanpamu, kekasihku.
Anak-anak juga hilang canda tawa. Wajah mereka muram. Tak ada senyum. Mereka juga rindu padamu. Diam-diam, aku saksikan, mereka menangis memeluk fotomu.