Malam telah begitu larut. Tetes embun telah tampak didedaunan. Saat semua telah lelap dalam mimpinya. Seorang anak lelaki remaja, baru pulang dari tempat kerjanya. Ia Aditya. Seorang remaja kelas sebelas, pada SMU favorit di kotanya. Ia pulang larut malam, mendekati dini hari, karena bekerja menjadi penjaga warnet. Orang tuanya tak mengijinkan ia bekerja. Tetapi karena ia ingin main game sepuasnya, ia melupakan bahwa dirinya adalah seorang pelajar. Orang tuanya masih sanggup membiayai sekolahnya. Tetapi keinginan Aditya yang besar, orang tuanya menyerah akan keinginannya. Orang tuanya hanya berpesan, jagalah kepercayaan mereka.
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Cahayanya menembus jendela kamar Aditya. Ia masih terlelap dalam mimpinya. Padahal, ia punya tanggung jawab sebagai pelajar. Beberapa kali ibunya berteriak membangunkan tidurnya. Alarm di kamarnya tak terdengar lagi. Waktu telah menunjukkan pukul enam tiga puluh. Aditya harus segera berangkat ke sekolah. Akhirnya dengan terpaksa, ibunya mengambil segelas air. Kemudian menyiramkan ke wajah Aditya.
Begitulah yang terjadi setiap harinya. Ia tetap ingin bekerja, tetapi tak sanggup membagi waktu. Aditya segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia hanya mencuci muka dan menyikat gigi. Terburu-buru. Tiba di sekolah, pagar telah tertutup. Ia berpikir untuk tetap belajar. Akhirnya ia melompat pagar belakang sekolah yang letaknya berdampingan dengan toilet. Ia dan teman-temannya yang sering terlambat, telah lama memperhatikan. Bagaimana caranya untuk masuk, agar mereka tetap belajar. Tentunya tanpa melewati pos penjagaan.
Aturan di sekolahnya sangat ketat. Setiap siswa, hanya diperkenankan terlambat sebanyak sepuluh kali selama setahun. Itupun dengan alasan yang masuk di akal. Untuk keterlambatan karena ban bocor, harus ada surat keterangan dari bengkel. Jika karena halangan dari rumah, harus ada surat keterangan dari orang tua.
Aditya terkenal dengan sebutan Mr. Late. Hampir tiap hari ia selalu terlambat. Terlambat sudah menjadi kebiasaannya. Hingga point sepuluh kali terlambat, malahan lebih, selalu ada dalam penilaian sikap di raportnya. Hingga saat penerimaan raport semester akhir di kelas sebelas. Tertera keputusan tak naik kelas tertulis dengan jelas di raportnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Kebiasaannya yang tak dapat membagi waktu, menuai hasilnya. Kedua orangtuanya sudah memprediksi dari awal. Ia yang tetap bersikeras, ingin tetap bekerja. Tetapi dengan kebiasaan yang tak disiplin. Hingga kini ia menyesal. Ia merayu ayahnya, untuk pindah sekolah. Ia malu. Ayahnya seorang yang bijaksana dan teguh pendirian. Ia tak mau, Aditya menjadi lelaki manja. Ia harus mempertanggung jawabkan, setiap perbuatannya.
Kepala sekolah tempat Aditya sekolah, teman ayahnya sewaktu SMA. Saat ayahnya mengambil raport, kebetulan bertemu dengan Bu Widya. Ayahnya menceritakan, mengapa Aditya suka terlambat. Ayahnya juga tak menginginkan Aditya untuk pindah sekolah.
"Bu Widya, saya titip anak saya. Mohon perhatiannya. Semoga kejadian ini tak terulang lagi, dan Aditya sadar akan kesalahannya," pinta Pak Amir.
Aditya saat itu sedang bersama ayahnya. Ia mendengar percakapan ayahnya dengan kepala sekolahnya.
"Aditya, kegagalan adalah awal menuju kesuksesan. Tetaplah bersekolah di sini. Jangan malu. Tunjukkan pada semua orang kamu anak yang hebat. Kamu hanya khilaf," nasehat Bu Widya.
Aditya sebenarnya anak yang cerdas. Hanya kebiasaan buruknya yang suka terlambat, membuat ia tak naik kelas. Nilai disiplin dan tanggung jawab pada point sikap dalam raportlah yang membuat nilainya jadi berkurang.