Sewaktu kecil kami selalu mengaji bersama ayah, setelah habis salat magrib. Tetapi dasar akunya yang bandel, ada saja alasanku untuk menolak mengaji. Sakit perut, pusing kepala, demam, batuk, dan banyak lagi alasan lain. Walau ayah keras mendidik kami. Berbagai cara yang ayah lakukan, jika kami tidak mengaji, diantaranya memukul menggunakan rotan. Hukuman tersebutpun tak berpengaruh padaku.
Hingga aku tumbuh dewasa terbata-bata aku membaca Juz Amma .Hati menjerit kepada siapa kupinta pertolongan untuk membimbingku, tiga puluh lima tahun usia yang sudah sangat terlambat untuk belajar.
Tak sengaja bukan bermaksud membongkar aib, kuceritakan harapan yang terkubur lama di dalam hati ini, pada seorang sahabat.
Hingga suatu hari ia membawa AlQuran yang cukup besar, seukuran kertas HVS F4 lengkap dengan ejaan berbahasa Indonesia, terjemahan dan Tajwidnya. Ya Allah bersyukur sekali ada yang begitu sayang padaku hamba yang banyak dilumuri dosa ini.
"Terima kasih banyak Desi, semoga Baraqoh insyaallah akan saya baca," janjiku kala itu.
Kubawa AlQuran tersebut dengan langkah riang menuju rumah, dan menyimpannya rapi dalam lemari pakaian di kamar tidurku, agar tak berdebu tentunya.
Sebulan... dua bulan... belum kusentuh Ia, hanya kubiarkan teronggok rapi di dalam lemari pakaian, bertemankan sepi.
Enam bulan terlewati dengan kesia-siaan, waktu terus berjalan, entah mengapa perasaanku membuncah.
Setiap kubuka lemari, ada ia yang selalu menatap dengan sedih akan kehadiranku, seolah-olah ia berkata , " Ana kapan kau peluk aku, tak usahlah kau baca, kau peluk saja aku sudah sangat bahagia."
Tak kuhiraukan pandangan sedihnya menatapku, kututup kembali pintu lemari setelah kuambil sehelai pakaian kerja.
Tapi hatiku tak bisa berbohong, ia yang ada dalam lemari hanya bertemankan sepi, seolah-olah sedang menatap penuh iba padaku, berharap kuraih dan kupeluk, begitu seterusnya tiap kubuka lemari.