Mohon tunggu...
Nadya Putri
Nadya Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nadz si random people yang selalu ingin belajar hal baru dan memperbaiki diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabir Penipuan

20 Oktober 2024   16:29 Diperbarui: 20 Oktober 2024   16:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salma menerima ajakan Dimas dengan antusias, bersemangat bertemu keluarga pacarnya di kampung halamannya yang terpencil. Perjalanan dari kota itu panjang dan berliku. Saat mereka berkendara di sepanjang jalan yang berkelok-kelok dan diselimuti kabut, pegunungan mengelilingi mereka, mengesankan, saat matahari memudar ke dalam bayang-bayang. Dimas, yang biasanya banyak bicara, nyaris tidak menjawab pertanyaan mereka.

Kenapa kamu tidak bercerita banyak tentang keluargamu? Salma bersikeras, mengamati profil serius pacarnya dari sudut matanya.

"Itu...sedikit tradisional, itu saja," jawabnya, pandangannya tertuju ke jalan. Salma merasakan perutnya mual, namun dia menghibur dirinya sendiri dengan memikirkan tentang kehidupan yang mereka bayangkan bersama. Mungkin itu hanya rasa gugup. Segalanya akan lebih baik setelah mereka mencapai kampung halaman kekasihnya.

Kota itu tiba-tiba muncul di tengah kabut, seperti hantu yang muncul dari perbukitan. Rumah-rumah, dengan dinding bernoda dan atap miring, tampak runtuh karena beban waktu. Jalanan yang sepi dan ditumbuhi ilalang memberikan kesan bahwa tempat itu terjebak dalam senja abadi. Kelembaban yang kental menyelimuti segalanya, membuat pernapasan menjadi sulit.

“Selamat datang di kampung halaman ku,” sapa Dimas sambil tersenyum kaku, saat mereka parkir di depan sebuah rumah tua. Dindingnya, yang menghitam karena jamur, berdiri megah, dikelilingi taman yang terabaikan. Salma merasakan hawa dingin ketika dia berjalan melewati pintu dan melihat foto-foto yang menutupi dinding lorong. Potret hitam putih pria dan wanita dari generasi lampau, semuanya dengan tatapan kosong yang sama mengikuti setiap langkahnya.

Keluarga Dimas menerimanya dengan sikap dingin yang sopan. Mereka hampir tidak berbicara, dan ketika mereka berbicara, kata-kata mereka hanya bersuku kata satu disertai dengan tatapan yang mengungkapkan lebih dari yang dapat dipahami Salma. Terlepas dari penjelasan Dimas mengenai adat istiadat tempat tersebut, Salma tidak dapat mengabaikan perasaan tidak pada tempatnya, seolah-olah ada bayangan yang mengelilinginya setiap saat.

Malam-malam di rumah sangat mengganggu. Angin masuk melalui jendela dan pintu, membuat dinding berderit dan bayangan tampak bergerak menyusuri lorong. Suatu pagi, Salma bangun dan menyadari bahwa Dimas tidak ada disisinya. Kegelapan ruangan menekannya, dan ketakutan yang tidak masuk akal mendorongnya untuk mencarinya. Saat turun ke lantai satu, dia melihat pintu setengah terbuka yang menuju ke ruang bawah tanah. Dia mendekat, menahan napas, dan mendengar bisikan dan semacam nyanyian.

Dari ambang pintu, ia melihat kerabat Dimas berkumpul di sekitar sosok berkerudung. Adegan itu membuat perutnya mual. Dia mundur diam-diam, kembali ke tempat tidur dengan jantung yang hampir meledak. Dia berpura-pura tidur ketika Dimas kembali, merasakan nafasnya yang sesak dan kulitnya yang dingin saat dia berbaring di sampingnya.

Keesokan paginya, Salma bersikeras untuk membicarakan apa yang telah dilihatnya, namun Dimas mengabaikannya, menjaga jarak yang tidak ada di antara mereka sebelumnya. Malam itu, dia menghilang lagi. Saat dia bertanya kepada anggota keluarganya, dia hanya mendapat jawaban mengelak.

Dia pergi ke hutan Leluhur Mija, untuk bersiap. Jangan khawatir. “Semuanya berjalan sebagaimana mestinya,” kata Bibi Renata sambil menyerahkan jubah putih kepadanya.

“Mempersiapkan apa?” Salma bertanya, tapi jawabannya tidak pernah datang.

Sejak saat itu, hari-hari menjadi semakin asing. Dia terpaksa tinggal di rumah, mengenakan tunik, dan menghadiri makan malam di mana semua orang memandangnya dengan ekspresi kosong yang sama. Salma mencoba melarikan diri beberapa kali, namun pintunya selalu tertutup, dan jalan-jalan kota, yang sebelumnya dia lalui tanpa masalah, menjadi labirin tanpa jalan keluar.

Suatu sore, lelaki tua yang bernama Shankar, mendekatinya saat dia sedang merajut di ruang tamu.

“Tidak ada gunanya melarikan diri, Nak. “Kau sudah menjadi bagian dari ini," gumamnya dengan suara terbata-bata.

Salma merasakan tanah di bawah kakinya menghilang. Shankar menjelaskan bahwa upacara tersebut merupakan ritual kuno yang dilakukan setiap generasi: calon mempelai wanita pewaris harus “menyatukan hakikatnya” kepada leluhur untuk menjaga tradisi keluarga tetap hidup. Namun arti sebenarnya jauh lebih gelap. Roh orang mati merasuki mempelai wanita, menjadikannya wadah bagi jiwa mereka. Dengan demikian, anggota tertua klan memperpanjang keberadaan mereka, memakan energi vital dari istri baru.

Putus asa, Salma melarikan diri ke hutan tempat Dimas seharusnya berada, berharap menemukan jalan keluar. Setelah berjam-jam berjalan melewati pepohonan, dia menemukannya di sebelah altar batu kuno. Namun Dimas yang dilihatnya sudah tidak sama lagi. Wajahnya kosong, matanya dingin seperti potret di dalam rumah.

Dimas...? gumamnya, merasakan tenggorokannya lumpuh karena ketakutan.

Aku bukan lagi orang yang kamu kenal, Salma. “Saya juga ‘bergabung’ dengan nenek moyang,” jawabnya dengan suara hampa yang seolah datang dari kedalaman bumi. Salma melangkah mundur, menyadari bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan dirinya adalah dengan menghancurkan altar tempat jiwa-jiwa diikat.

Dia kembali ke rumah, mengetahui bahwa waktunya hampir habis. Matahari mulai terbenam dan persiapan upacara sudah dimulai. Dia turun ke ruang bawah tanah, di mana altar batu berdiri di tengah lingkaran lilin. Dengan tangan gemetar, dia mengambil salah satu lilin dan dengan dorongan keberanian terakhir, melemparkannya ke altar.

Api menyebar dengan cepat, melahap sosok dan wajah yang terpahat di altar. Roh-roh yang dibebaskan berteriak dalam hiruk-pikuk suara yang memantul dari dinding ruang bawah tanah. Rumah mulai berguncang, dan kerabat Dimas mencoba menghentikannya, namun api menghanguskan mereka sebelum mereka dapat mencapainya.

Salma berlari melewati lorong-lorong yang terbakar, merasakan panas mengoyak kulitnya, dan berhasil keluar tepat sebelum rumah besar itu runtuh menjadi awan abu. Dari pinggir hutan, dia melihat sesosok tubuh sedang memperhatikannya. Itu Dimas atau apa yang tersisa darinya. Untuk sesaat, raut wajahnya kembali seperti semula, dan ekspresi kesakitan serta rasa syukur melintas di wajahnya sebelum dia menghilang ke dalam kabut.

“Terima kasih…” suaranya berbisik, terbawa angin. Salma ditinggalkan sendirian, dikelilingi keheningan.

Mereka menemukannya di pinggir jalan keesokan harinya, tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang terjadi. Pihak berwenang setempat melakukan penyelidikan, namun yang mereka temukan hanyalah puing-puing hangus. Salma kembali ke kota, mencoba membangun kembali kehidupannya, namun setiap kali dia melihat ke cermin, dia merasakan sesuatu bergerak di belakang bayangannya, seperti bisikan di kejauhan, sebuah bayangan yang mengingatkannya bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu merasa ada sesuatu yang memperhatikanmu dari cermin, meskipun kamu sendirian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun