Dia menatapku, dengan senyum sedih yang selalu dia miliki, dan hanya mengangguk.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Belum pernah sebelumnya saya merasa begitu takut, begitu tidak berdaya. Gagasan kehilangan dia seperti jurang gelap yang tidak bisa dan tidak ingin kubayangkan. Tetap saja, kami mencoba menikmati waktu yang tersisa. Setiap hari menjadi harta yang kami hargai, meski kami tahu itu terhitung. Kami akan berjalan-jalan melalui jalan-jalan yang sama di Wesley, kembali ke sudut-sudut yang menyimpan kenangan kami, seolah-olah dengan kembali ke sana kami dapat menghentikan waktu, setidaknya untuk sesaat.
Hari-hari berlalu, kesehatannya semakin memburuk. Kulitnya yang tadinya begitu hangat dan hidup, kini terasa dingin saat disentuh. Namun dia terus tersenyum, seolah kerapuhannya tidak mempengaruhi dirinya, seolah dia berpegang teguh pada harapan yang hanya dia yang bisa melihatnya. Hingga malam terakhir tiba. Kami berada di rumahnya, di kamarnya, dikelilingi oleh foto-foto saat kami masih remaja. Dia berbaring di dadaku, dan meski nafasnya terengah-engah, dia masih mampu membisikkan kata-kata manis yang mencoba menenangkan hatiku yang hancur.
“Apakah kamu ingat... saat kita keluar kelas untuk pergi ke sungai?” dia bertanya padaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Iya…” jawabku sambil teringat suara air, hangatnya sinar matahari dan canda tawa yang kami alami hari itu.
“Itu adalah hari terbaik dalam hidupku,” katanya, dan tangannya, yang selama ini memegang tanganku, perlahan mulai mengendur.
Pada saat itu saya tahu akhir itu sudah dekat. Aku memeluknya lebih erat, berusaha untuk tetap bersamanya, meski aku tahu aku tidak bisa menghentikan hal yang tak terhindarkan itu. Nafasnya melambat, hingga akhirnya berhenti.
Viona meninggal dalam pelukanku.
Entah berapa lama aku di sana, duduk di samping tubuhnya, dengan hati yang hancur berkeping-keping. Segala sesuatu di sekitarku berantakan. Waktu berhenti masuk akal. Aku merasa seperti telah kehilangan sebagian dari diriku, sesuatu yang tidak akan pernah bisa kudapatkan kembali. Orang yang pernah menjadi hidupku, alasan keberadaanku, sudah tidak ada lagi, dan aku ditinggalkan dengan kehampaan yang tidak dapat diisi oleh kenyamanan apa pun.
Berhari-hari, berminggu-minggu berlalu, dan rasa sakitnya tidak kunjung hilang. Saya berjalan melewati Wesley dan merasakan kehadirannya di setiap sudut, di setiap bangku tempat kami biasa duduk, di setiap jalan yang kami lalui. Aku merindukannya dengan seluruh keberadaanku. Aku teringat tawanya, candaannya, caranya memandang dunia dengan campuran kesedihan dan harapan. Setiap sudut kehidupan saya mempunyai tandanya, dan meskipun secara fisik tidak ada lagi, saya merasa ada bagian darinya yang masih melekat pada saya.
Ada malam-malam ketika aku bermimpi tentang dia. Dalam mimpi itu, aku melihatnya tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa, seolah kami masih bersama, berjalan-jalan di Wesley, merencanakan masa depan kami. Aku terbangun dengan perasaan tenang, namun sekaligus dengan kesedihan yang mendalam, mengetahui bahwa momen-momen itu hanyalah ilusi.