Di sudut kota yang terlupakan, di mana lampu-lampu nyaris tidak mampu menembus jalan-jalan yang penuh debu dan kesengsaraan, hiduplah orang-orang yang dunia telah putuskan untuk diabaikan.Â
Itu adalah tempat di mana kelaparan merajalela, dan mimpi adalah ilusi masa-masa yang lebih baik. Keluarga-keluarga berkumpul di ruangan-ruangan kecil, dan bau kematian mengintai di setiap sudut.
MarÃa adalah salah satu dari banyak perempuan yang berjalan di jalanan tersebut, menjual tubuhnya untuk ditukar dengan beberapa koin, begitu menderita sehingga hanya cukup untuk membeli sepotong roti.Â
Dia tidak dilahirkan untuk kehidupan seperti itu, namun kemiskinan ekstrem telah membawanya mengambil keputusan yang tidak pernah dibayangkan.Â
Sejak kecil ia sudah melihat ibunya melakukan hal yang sama, hingga suatu saat ia tak kunjung pulang, meninggalkannya sendirian, menghadapi bayang-bayang yang sama yang telah merenggut ibunya.
Setiap malam, para pria mencarinya, menyeretnya ke gang-gang gelap, dan berulang kali melucuti martabatnya.Â
Di dalam hatinya, kemarahan dan rasa sakit begitu dalam sehingga dia tidak tahu lagi apakah dia masih hidup atau hanya mayat berjalan, menunggu hari ketika tubuhnya tidak tahan lagi.Â
Beberapa temannya telah meninggal di jalanan, menjadi korban kekerasan, kelaparan, dan penyakit, sementara para algojo mereka tetap tidak dihukum, seolah-olah penderitaan para perempuan tersebut tidak lebih dari bisikan angin.
Di malam hari, gema tangisan memenuhi udara.Â
Banyak cerita yang terdengar tentang ibu-ibu yang melihat anak-anak mereka mati kelaparan, tentang anak-anak perempuan yang menghilang dan tidak pernah kembali, tentang laki-laki yang tenggelam dalam keputusasaan dan kegilaan. Keadilan, di belahan dunia lain, hanyalah sebuah mitos.Â
Pihak berwenang bahkan tidak mendekat. Mereka yang mempunyai kekuatan untuk mengubah keadaan telah menutup mata, memilih untuk tidak melihat kenyataan yang ada di hadapan mereka.
Suatu malam, Maria tidak kembali ke kamar beton kecilnya. Dia telah bertemu dengan seorang pria yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, jalan keluar. Namun janji itu, seperti banyak janji lainnya, hanyalah sebuah jebakan.Â
Dia membawanya ke tempat dimana kegelapan paling dalam, dan meninggalkannya di sana untuk mati. Jeritan mereka tenggelam dalam kesunyian kota yang tak pernah terdengar.
Mereka menemukannya beberapa hari kemudian, tubuhnya lemas, wajahnya dipenuhi air mata kering dan perutnya kosong karena kekurangan makanan.Â
Dia dimakamkan tanpa nama, tanpa upacara, di lapangan yang penuh dengan kuburan tanpa nama. Tidak ada yang bertanya tentang dia. Tidak ada yang menangis untuknya.
Namun di kota yang terlupakan itu, ketidakadilan terus berlanjut. Perempuan terus menjual dirinya, anak-anak terus meninggal, dan bayang-bayang kemiskinan menyelimuti setiap jiwa yang berusaha bertahan hidup.Â
Siklus kesengsaraan tampak abadi, dan harapan, sebuah kemewahan yang tak seorang pun mampu membelinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H