Suatu ketika, di sebuah kerajaan yang sangat jauh sehingga hanya sedikit orang yang mengingatnya, ada seorang gadis muda bernama Ella. Kecantikannya memang tak terbantahkan, namun kesedihan di matanya lah yang paling menarik perhatian orang-orang yang berani memandangnya dari dekat. Setelah kematian ibunya, ayahnya, seorang saudagar bangsawan, menikahi seorang wanita kejam dan ambisius, yang membawa serta dua anak perempuan yang berbagi keburukannya.
Hidup Ella menjadi siksaan. Ibu tiri dan saudara tirinya membuangnya ke sudut rumah yang paling gelap dan terdingin, memaksanya membersihkan, memasak, dan melakukan semua pekerjaan berat. Mereka memanggilnya "Cinderella", mengejek penampilannya yang kotor dan abu yang menodai pakaiannya setiap kali dia tidur di dekat perapian untuk melindungi dirinya dari hawa dingin.
Hari-hari berlalu dan keputusasaan tumbuh di hatinya. Tapi apa yang wanita kejam itu tidak tahu adalah bahwa kesedihan Cinderella tidak hanya menarik kesengsaraan ke dalam hidupnya, tapi juga sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang menunggu dalam bayang-bayang, memakan rasa sakitnya.
Suatu malam, ketika angin menderu-deru aneh melalui pepohonan dan bulan bersinar pucat di atas pemandangan, Cinderella duduk di dekat perapian, menyaksikan bara api perlahan-lahan terbakar habis. Pikirannya dipenuhi dengan keputusasaan dan kemarahan. Saya ingin, lebih dari segalanya, bebas. "Kalau saja aku bisa lolos dari kehidupan ini," bisiknya ke udara, permohonan yang bergema di kehampaan malam.
Nyala api tampak berkedip-kedip, seolah-olah mereka telah mendengar keinginannya. Dari abu, muncul sosok yang bukan milik dunia orang hidup maupun dunia orang mati. Dia adalah seorang wanita jangkung, dengan mata yang bersinar seperti bara api dan senyum miring. "Kau memanggilku," bisiknya dengan suara yang lembut sekaligus menakutkan.
Cinderella memandangnya, dilumpuhkan oleh rasa takut, tetapi sesuatu dalam dirinya, sebuah keinginan yang putus asa, mendorongnya untuk berbicara. "Siapa kamu?" dia bertanya dengan suara rendah.
“Aku adalah apa yang telah kamu ciptakan,” jawab sosok itu. "Kesedihanmu, kemarahanmu, keinginanmu untuk membalas dendam. Aku di sini untuk mengabulkan apa yang kamu rindukan, tapi sebagai gantinya... aku akan membutuhkan sesuatu darimu."
Cinderella, yang diliputi kebencian terhadap ibu tiri dan saudara tirinya, tidak ragu-ragu. "Saya akan melakukan apa saja. Saya ingin mereka menderita seperti saya menderita."
Sosok itu tersenyum lebih lebar, memperlihatkan gigi setajam silet. “Maka akan menjadi seperti ini.”
Keesokan paginya, rumah itu mulai berubah secara halus namun mengganggu. Saudara tirinya mulai mengalami mimpi buruk yang membuat mereka tetap terjaga, wajah mereka menjadi pucat dan kuyu. Ibu tirinya jatuh sakit, tubuhnya layu tanpa alasan yang jelas, dan suara-suara aneh di dalam rumah menjadi konstan: bisikan, tawa di kejauhan, dan suara berderit yang tidak dapat dijelaskan.