-Ya. Nama saya Adrian. —Dia tersenyum sedikit—. Aku sudah lama di sini, menunggu seseorang sepertimu.
Alea tidak memahami kata-katanya, tetapi sesuatu dari cara dia mengucapkannya, dalam intensitas tatapannya, menarik perhatiannya. Minggu-minggu berlalu, dan dia mendapati dirinya kembali ke pemakaman malam demi malam, mencari teman Adrian.Â
Percakapan mereka mendalam, penuh kemurungan yang menggoda. Di sisinya, waktu seolah berhenti, dan tanpa disadari Alea mulai jatuh cinta.
Adrián misterius, dia tidak pernah membicarakan masa lalunya atau mengapa dia selalu berada di kuburan, tapi Alea tidak berani bertanya terlalu banyak.Â
Hubungan di antara mereka begitu kuat sehingga dia tidak ingin mematahkan mantra yang mengelilingi mereka. Dia merasa hidup di sampingnya, seolah apa yang dia cari sepanjang hidupnya akhirnya muncul di hadapannya.
Namun ada yang tidak beres pada diri Adrian. Meskipun dia penyayang dan penuh perhatian, ada malam-malam ketika wajahnya berubah. Kulitnya tampak lebih pucat, matanya lebih gelap.Â
Alea mulai memperhatikan detail-detail kecil yang aneh: cara dia selalu menghindari menyentuh tanah secara langsung, bagaimana dia tidak pernah muncul di siang hari, bagaimana napasnya tidak pernah berkabut di udara dingin.
Suatu malam, Alea memutuskan untuk mengikutinya. Dia memperhatikannya berjalan menuju hutan di belakang kuburan, bergerak dengan keanggunan manusia super.Â
Ketika dia kehilangan pandangannya, dia mengikuti jejaknya ke ruang bawah tanah kuno, tersembunyi di balik semak-semak. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka pintu batu dan menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.
Apa yang dia temukan di sana mengubah segalanya.
Adrián sedang berdiri di depan peti mati marmer, tangannya bertumpu pada tutupnya, pandangannya hilang ke suatu tempat di luar apa yang terlihat. Alea memperhatikannya dalam diam, tiba-tiba memahami kebenaran.Â