Di sebuah kota kecil, dikelilingi pegunungan bersalju dan hutan gelap, hiduplah dua bersaudara, Ludisna dan Andrew. Luciana, di usianya yang baru sepuluh tahun, telah belajar menjadi kuat lebih cepat dari zamannya.
Andréw, adik laki-lakinya yang bungsu dari delapan bersaudara, selalu mengikutinya dari dekat, mempercayainya secara membabi buta, seolah-olah tangan kecilnya dapat melindunginya dari semua kejahatan di dunia. Namun di rumah kayu kecil itu, teror yang sebenarnya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam: ibunya, yang selalu menjadi jantung hidupnya, terbaring di tempat tidur, sakit dan semakin lemah setiap hari.
Awalnya hanya batuk ringan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun dinginnya musim dingin yang tak henti-hentinya dan kurangnya obat-obatan segera menyebabkan demam melanda dirinya. Dokter tidak lagi datang ke kota, dan para tetangga yang sibuk dengan perjuangan mereka sendiri, tidak menawarkan bantuan.
Setiap malam, kakak beradik itu bergiliran merawatnya, mencari cara untuk meringankan rasa sakitnya, sementara kehidupan ibu mereka perlahan memudar laksana lilin di ruangan tanpa jendela.
Luciana tahu bahwa sesuatu yang lebih gelap sedang menyelimuti mereka, sesuatu yang bukan sekadar penyakit. Aku merasakan kehadiran di dalam rumah, bayangan yang seolah bergerak di sudut paling gelap, mengawasi mereka, menunggu.
Setiap kali demam ibunya meningkat, bayang-bayang itu seakan hidup kembali. Ada suatu malam ketika Luciana terbangun dan merasakan ada orang lain di dalam kamar, meskipun ketika dia menyalakan lampu, dia hanya melihat ibunya, berkeringat dan menggigil di balik selimut.
Andréw tidak mengatakan apa-apa, tapi matanya menunjukkan ketakutan. Setiap kali mereka mendengar lantai berderit di tengah malam, mereka saling berpelukan erat, seolah cinta mereka mampu melindungi mereka dari apa pun yang mengintai di kegelapan.
Suatu hari, Luciana meraih tangan Andrew dan memandangnya dengan penuh tekad. "Kita harus melakukan sesuatu," katanya. “Ibu tidak akan sembuh dengan sendirinya. Kita harus mencari makanan, sesuatu untuk membuatnya lebih kuat.”
Maka, saat fajar, keduanya meninggalkan rumah, menantang angin sedingin es. Mereka tahu hutan itu berbahaya, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Saat mereka berjalan melewati pepohonan, Luciana merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka, seolah-olah bayangan yang dia lihat di dalam rumah telah meluas ke luar tembok. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya agar Andrew tidak menjadi lebih takut dari sebelumnya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah tempat terbuka dimana mereka mendengar bahwa beberapa penduduk desa biasa meninggalkan makanan untuk hewan-hewan tersebut. Mereka menemukan beberapa kentang beku dan beberapa buah beri, tapi itu tidak cukup. Putus asa, mereka terus mencari, menuju lebih jauh ke dalam hutan. Kegelapan seakan menyelimuti mereka, bahkan di siang hari bolong.
Tiba-tiba, Andrew berhenti dan berbisik, "Kamu mendengarnya?" Luciana menahan napas. Di tengah angin, aku bisa mendengar gumaman, seolah pepohonan sedang berbicara. "Mereka memanggil kita," kata Andrew, matanya terbuka lebar.
Luciana meraih tangannya, menariknya ke depan, tetapi suara angin menjadi lebih jelas. "Biarkan dia pergi," katanya, "biarkan dia istirahat." Luciana gemetar, mengenali suara itu: itu suara ibunya, tapi itu bukan berasal dari tubuhnya yang sakit, tapi dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menghuni kematian itu sendiri.
Ketika mereka kembali ke rumah, mereka menemukan ibu mereka masih hidup, tetapi hampir tidak sadarkan diri. Bibirnya bergerak, mengulangi kata-kata yang sama: "Biarkan aku pergi." Tapi Luciana tidak bisa menerima hal itu.
Dia tidak bisa membiarkan satu-satunya orang yang mereka tinggalkan menghilang. Dia duduk di sampingnya, mencoba memberinya makan kentang dan beri, tapi makanan itu jatuh begitu saja dari bibirnya yang lemas.
Malam itu, bayang-bayang semakin pekat. Saat Luciana tertidur karena kelelahan, Andrew tetap terjaga, memandang ke sudut gelap ruangan. Dan kemudian, mereka melihatnya: sosok tinggi kurus, dengan mata cekung yang bersinar seperti bara api, mengawasi mereka dari sudut. Itu bukan imajinasinya. Itu bukan angin. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang datang untuk ibunya.
Andrew bangkit, gemetar, dan mendekati tempat tidur ibunya. "Kau tidak bisa membawanya," gumamnya, suaranya nyaris berbisik. Namun sosok itu tidak bergerak. Sebaliknya, dia mendekat, langkahnya lambat tapi pasti.
Andrew merasa tubuhnya lumpuh karena rasa takut, tapi dia tidak bisa memalingkan muka. Sosok itu mengulurkan tangannya yang panjang dan kurus ke arah ibunya, dan ketika hendak menyentuhnya, Luciana terbangun.
Dia melompat dari tempat tidur dan berdiri di antara sosok itu dan ibunya. "Tidak! Kamu tidak bisa membawanya!" teriaknya. Namun sosok itu tidak merespon. Ia menghilang begitu saja, seolah-olah tidak pernah ada.
Keesokan paginya, ibunya sudah tidak bernapas lagi. Tubuhnya dingin dan kaku, seolah kematian telah menunggu saat yang tepat untuk merenggutnya. Luciana dan Andrew tetap berada di sampingnya, dalam diam, mengetahui bahwa mereka telah melakukan segala kemungkinan untuk membuatnya tetap hidup. Tapi sekarang, hanya tersisa mereka berdua.
Beberapa hari berikutnya terasa samar-samar rasa sakit dan kesedihan. Mereka tahu mereka tidak bisa tinggal di rumah; Bayangannya lebih tebal dari sebelumnya, dan setiap sudut mengingatkan mereka pada ibu mereka, setiap suara tampak seperti gema dari bisikan terakhirnya.
Pada akhirnya, kedua bersaudara itu berangkat, bergandengan tangan, ke dunia luar, menghadapi masa depan yang tidak pasti, namun mengetahui bahwa yang mereka miliki hanyalah satu sama lain.
Bayangan yang mengintai mereka tak kunjung kembali, namun di malam tergelap, saat angin bertiup kencang dan dingin, Luciana terkadang merasakan kehadirannya masih ada, mengamati mereka dari jauh, menunggu saat rasa takut kembali menghampiri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H