Saat itu suatu sore musim panas di Kota Wesley, di mana kisah cinta tampak bermekaran seperti pohon sakura di musim semi. Matahari mulai bersembunyi di balik pegunungan, mewarnai langit dengan warna hangat dan lembut, sementara angin sepoi-sepoi menyapu jalanan berdebu. Di tempat yang indah itu, penuh dengan tradisi dan legenda, sebuah kisah muncul yang tidak akan pernah dilupakan banyak orang.
Aurora, seorang wanita muda dengan mata dalam dan senyum malu-malu, berada di Plaza, duduk di bangku di samping air mancur. Dia setuju untuk bertemu Emir, anak laki-laki yang dia temui di sebuah toko makanan, sebuah tempat kecil tapi nyaman di jantung kota, terkenal dengan tortilla yang baru dibuat. Terakhir kali dia melihatnya, mereka berdua bertukar pandang lama, seolah alam semesta berhenti selama beberapa detik, dan meski mereka tidak bertukar banyak kata, ada sesuatu dalam diri mereka yang berubah sejak pertemuan itu.
Aurora tidak biasanya pergi berkencan, tapi ada sesuatu pada diri Emir yang membuatnya penasaran. Mungkin karena cara dia berbicara yang sederhana, atau cara dia membuat segalanya tampak lebih mudah, seolah-olah tidak perlu menghiasi sesuatu dengan janji-janji kosong. “Hari ini akan berbeda,” ulangnya pada dirinya sendiri sambil dengan gugup memainkan pinggiran gaun birunya, hadiah dari neneknya.
Tiba-tiba, dia mendengar langkah kaki yang mendekat, dan ketika dia berbalik, dia melihatnya. Emir, dengan langkahnya yang lambat dan kemeja putih yang digulung hingga siku, menyambutnya dengan senyuman menyamping yang menampakkan sedikit rasa gugup, namun juga rasa aman yang membuatnya merasa nyaman.
“Apakah aku membuatmu menunggu terlalu lama?” dia bertanya, sambil duduk di sebelahnya.
"Tidak, tidak sama sekali," jawab Aurora, dengan rasa malu yang selalu menjadi ciri khasnya, namun rasa malu itu mulai memudar saat dia melihat lebih dekat.
Percakapan mengalir secara alami. Mereka berbincang tentang hal-hal sederhana: tentang kehidupan di kota, tentang bagaimana malam-malam di Wesley selalu terasa lebih panjang, tentang suara jangkrik dan bau tanah basah sehabis hujan. Namun di antara setiap kata, ada hubungan yang nyata, energi halus yang memenuhi ruang di antara kata-kata tersebut.
“Mereka bilang padaku kalau kamu suka melukis,” kata Emir tiba-tiba, mengalihkan pikirannya sedikit.
Aurora mengangguk sambil tersenyum.
"Ya, aku menyukainya, tapi aku tidak terlalu baik," jawabnya sambil mengangkat bahu.
“Kamu tidak harus menjadi baik dan melakukan segalanya untuk menyukai sesuatu, bukan?” katanya dengan kesederhanaan yang membuatnya tersipu.
Maka mereka melanjutkan, berbicara dan tertawa, sementara langit berubah menjadi ungu dan bintang-bintang mulai bersinar. Emir mengejutkannya dengan mengajaknya ke sebuah kafe kecil di sudut Jalan Wesley, tempat yang hampir tak seorang pun tahu tapi, menurutnya, menghasilkan kopi terbaik di wilayah tersebut.
"Ini tempat rahasiaku," katanya sambil tersenyum penuh pengertian.
Aurora membiarkan dirinya terbawa oleh suasana tempat itu, cahaya hangat dan musik lembut sebagai latar belakangnya. Mereka memesan dua kopi dan berbagi tawa di sela-sela teguk dan komentar santai. Setiap kali tangan mereka saling bersentuhan saat mengoper cangkir, Aurora merasakan percikan api menjalar ke seluruh tubuhnya. Seolah takdir mempertemukan mereka pada saat yang tepat, di sudut kecil dunia itu.
Seiring berlalunya malam, percakapan menjadi lebih pribadi. Emir bercerita tentang mimpinya, tentang bagaimana dia ingin membuka toko buku di El Fuerte, mimpi yang tampak jauh, namun dia pertahankan dengan penuh semangat. Aurora bercerita tentang keluarganya, tentang bagaimana neneknya membesarkannya dan bagaimana setiap lukisan yang dia buat membawa sedikit cerita yang diceritakan neneknya ketika dia masih kecil.
Waktu berlalu, dan sebelum mereka menyadarinya, bulan sudah tinggi di langit. Emir menemaninya kembali ke rumahnya, berjalan bersama melewati jalanan Wesley yang sunyi. Ketika mereka sampai di gerbang rumah Aurora, mereka berhenti, dan udara dipenuhi dengan ketegangan yang manis dan nyaris terasa.
"Aku bersenang-senang hari ini," kata Aurora sambil menatap matanya, dengan senyuman yang tidak bisa lagi dia sembunyikan.
"Aku juga," jawab Emir, dengan senyuman yang membuat perutnya terasa berdebar-debar.
Terjadi keheningan, namun tidak canggung. Itu adalah jenis keheningan yang terjadi ketika tidak ada kebutuhan untuk mengatakan lebih banyak, ketika segala sesuatu yang penting telah dikatakan, bahkan jika itu hanya dalam pandangan dan isyarat kecil. Emir mendekat dan dengan lembut menyentuh pipinya sebelum mencium keningnya, sebuah sikap yang penuh kelembutan dan janji.
“Sampai jumpa lagi,” bisiknya, sebelum perlahan berjalan pergi, meninggalkan perasaan hangat yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Aurora berdiri di sana, mengawasinya pergi, dengan senyuman yang tidak bisa dia tahan. Dia tahu ada sesuatu yang berubah malam itu, meskipun itu bukan kisah cinta sempurna seperti di film, itu adalah miliknya. Itu nyata, tulus, dan baru saja dimulai.
Malam itu, saat dia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, dia tidak bisa berhenti memikirkan Emir, senyumannya, dan hal-hal sederhana yang membuatnya istimewa. Dia memejamkan mata, merasakan cinta itu, perasaan yang banyak dikejar tapi hanya sedikit yang menemukannya, telah mengetuk pintunya.
Maka, di kota kecil Wesley, di bawah langit berbintang, sebuah kisah cinta dimulai. Bukan kisah tentang tindakan besar atau janji-janji yang mustahil, tapi salah satu kisah cinta sederhana yang menang seiring berjalannya waktu, melalui momen-momen kecil dan penampilan yang mengungkapkan lebih dari seribu kata.
Pernahkah Anda merasa bahwa cinta bisa muncul di tempat yang paling tidak terduga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H