Angin sore membelai lembut dedaunan pepohonan, nyaris tak menggerakkan dahan-dahan kering yang berdesir di alun-alun kota Wesley. Itu adalah tempat yang sunyi, di mana rutinitas terasa terhenti oleh waktu. Jalanan berbatu dan rumah-rumah bata mempertahankan suasana masa lalu, seolah-olah semuanya telah berhenti beberapa dekade yang lalu. Udara berbau tanah basah dan bunga-bunga yang ditanam Bu Elena di tamannya. Gardenia, tepatnya. Aroma manis dan menyelimuti selalu menjadi ciri khas sore hari di kawasan kota itu.
Sore itu, seperti sore-sore lainnya, Chauhan berjalan-jalan di alun-alun bersama anjing kecilnya yang bernama Citol, untuk menghormati kakeknya. Itu adalah kebiasaannya sejak kecil, meski kini ia sudah berusia dua puluh lima tahun, namun hidupnya masih monoton seperti dulu. Namun hari itu ada sesuatu yang berbeda. Begitu dia melewati toko bunga  Elena, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Buket bunga gardenia terletak di meja, segar dan dibungkus dengan hati-hati dengan kertas mengkilap. Aneh, karena bisnisnya sudah tutup bertahun-tahun.  Elena telah meninggal, dan tidak ada seorang pun yang berani menempati tempat itu, bukan karena rasa hormat, tetapi karena energi aneh yang dirasakan banyak orang di sekitar tempat itu.
Chauhan berhenti di depan pintu yang tertutup. Sesuatu di dalam hatinya memberitahunya bahwa buket bunga itu tidak boleh ada di sana. Namun, rasa penasarannya menguasai dirinya. Dia mengambil beberapa langkah ke arah jendela dan melihat lebih dekat: itu adalah bunga gardenia yang sempurna, dengan warna putih yang hampir tidak nyata, seolah-olah baru saja dipotong. Keheningan di jalan menjadi menakutkan. Citol, si anjing, mulai mengeram, menarik tali pengikatnya untuk menjauh dari toko, tapi Chauhan mengabaikannya.
"Tenang, tidak ada apa-apa," bisiknya sambil membelai anjing kecil itu, berusaha menenangkannya.
Saat itu juga, pintu toko bunga perlahan terbuka dengan suara berderit yang membuatnya bergidik. Buket bunganya masih ada, utuh. Sebuah amplop putih menyertainya, ditempatkan tepat di dasar bunga kacapiring. Chauhan melihat ke atas dan ke bawah jalan, memastikan tidak ada yang melihatnya, dan memasuki bisnis tersebut. Suasana di dalam tempat itu padat, dan udaranya jauh lebih dingin dari yang dia ingat. Dia berjalan perlahan ke konter, jantungnya berdebar kencang.
Dia mengulurkan tangan untuk mengambil amplop itu dan, setelah membukanya, dia membaca beberapa kata yang membuatnya membeku: "Untuk Chauhan, dengan cinta abadi." Tidak ada tanda tangan, hanya kalimat itu. Aroma bunga kacapiring semakin kuat, nyaris memabukkan. Dia mundur selangkah, bingung dan takut. Siapa yang akan meninggalkan bunga-bunga itu? Bagaimana mereka tahu namanya.
-Siapa disana? —dia bertanya dengan suara gemetar, meskipun dia tahu tidak ada orang di sana.
Keheningan yang terjadi kemudian sangat mengganggu. Tiba-tiba Citol mulai menggonggong dengan marah sambil melihat ke sudut paling gelap ruangan. Chauhan berbalik perlahan, perutnya terasa tegang. Apa yang dilihatnya membuatnya terengah-engah. Dalam kegelapan, sesosok tubuh tinggi kurus berdiri di kegelapan, matanya yang cekung bersinar dengan cahaya dingin dan lemah. Seolah-olah kulitnya telah hilang, hanya menyisakan kerangka yang tegak sempurna, namun mengenakan pakaian tua yang sudah pudar.
Chauhan mundur, tersandung meja saat rasa takut menguasai dirinya. Sosok itu maju perlahan ke arahnya, gerakannya anggun, tapi setiap langkah yang diambilnya membuat tanah di bawah kakinya berderit, seolah beban kematian menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Tidak ada kata-kata yang terdengar, hanya suara tulang yang saling beradu.
Putus asa, Chauhan melemparkan buket bunga ke arah kerangka itu. Bunga gardenia jatuh ke tanah, menyebarkan kelopak putihnya ke seluruh ruangan. Pada saat itu, sosok itu berhenti dan ketenangan yang aneh menyerbu lingkungan. Tengkorak itu memiringkan kepalanya, seolah mengamati hadiah yang diterimanya. Ketakutan Chauhan mereda sesaat ketika dia menyadari bahwa makhluk itu tampak mengamati bunga itu dengan cermat.