Mohon tunggu...
Nadya Putri
Nadya Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nadz si random people yang selalu ingin belajar hal baru dan memperbaiki diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Es

4 Oktober 2024   07:57 Diperbarui: 4 Oktober 2024   08:04 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi Wanita bercermin, sumber: Pixabay)

Sore perlahan tiba di Maymand, kota kecil dan terpencil di Wesley, dikelilingi perbukitan dan sungai yang sepertinya selalu membisikkan rahasia kuno. Cuacanya sejuk, melegakan dari panas terik yang biasa melanda wilayah tersebut. Keheningan yang aneh mendominasi jalanan, seolah-olah kota itu sendiri sedang menahan napas menunggu sesuatu.

Elsa, seorang wanita muda berusia sekitar tiga puluh tahun, sedang berjalan di jalan utama dengan ekspresi penuh perhatian di wajahnya. Sepatu botnya bergema di bebatuan jalan saat dia menuju ke kios antik kecilnya, yang terletak di Jalan Wesley, jalan tersibuk di kota. Toko yang diberi nama The Collection of Memories ini merupakan warisan dari kakeknya, seorang lelaki yang selalu terobsesi dengan peninggalan dan benda antik. Elsa telah memperhatikannya sejak kecil mengerjakan koleksinya, dengan cermat mengatur setiap bagian, setiap benda yang menurutnya membawa cerita kelam dan terkadang terkutuk.

Ketika dia membuka toko sore itu, hal pertama yang dia perhatikan adalah udara dingin yang memenuhi tempat itu, seolah-olah ada musim dingin yang menyelimuti dinding. Itu aneh. Dia sudah terbiasa dengan hangatnya tempat itu, terutama di bulan Oktober, saat malam mulai dingin, tapi momen seperti ini tidak pernah dia rasakan. Dia menutup pintu di belakangnya, bertanya-tanya apakah mungkin dia membiarkan jendela terbuka pada malam sebelumnya.

Dia menuju ke bagian belakang toko, tempat dia menyimpan koleksi tertua dan paling misterius. Saat itulah dia melihat sesuatu yang tidak dia sadari sebelumnya. Di atas meja kaca, ditutupi lapisan es tipis, ada sebuah benda yang dia tidak pernah ingat pernah melihatnya. Itu adalah cermin kecil berbingkai emas dengan kerawang yang mengingatkan pada sesuatu yang mungkin berasal dari zaman yang jauh. Namun hal yang paling membingungkan bukanlah cermin itu sendiri, melainkan sensasi yang terpancar darinya. Rasa dingin yang luar biasa, hampir membeku, seolah-olah diambil dari gunung es.

Elsa merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Saya tidak ingat memperoleh barang itu. Dia mendekat perlahan, meraih ke arah cermin, tapi sesuatu di dalam dirinya berteriak padanya untuk tidak melakukannya. Namun, rasa penasarannya lebih kuat. Begitu jari-jarinya menyentuh tepi emas, hembusan angin sedingin es keluar dari cermin, membekukan udara di sekitarnya. Toko yang selama ini tampak nyaman, kini menjadi semacam ruangan dingin.

Elsa mundur selangkah, ketakutan. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi sesuatu di dalam hatinya memberitahunya bahwa cermin itu seharusnya tidak ada di sana. Dia memutuskan untuk menelepon temannya Vino, satu-satunya yang bisa membantunya. Dia adalah seorang pria kesepian yang tinggal di pintu masuk kota, di sebuah peternakan tua di tepi sungai. Dia mewarisi pengetahuan neneknya tentang legenda dan mitos di wilayah tersebut. Vino sering bercanda tentang bagaimana dia belajar lebih banyak dari roh daripada dari manusia.

—Kamu harus datang, Vino. “Ada yang aneh di toko,” Elsa berkata dengan suara pelan saat menjawab panggilan tersebut.

Baca juga: Misteri Megalodon

Tidak lebih dari dua puluh menit berlalu ketika Vino tiba, mengenakan topi biasa dan sepatu bot berdebu. Dia memasuki toko dan segera wajahnya berubah. Rasa dinginnya terasa nyata, seolah-olah seseorang telah membuka pintu ke dimensi lain. Vino mendekati cermin, memeriksanya dengan cermat, tanpa menyentuhnya.

"Ini bukan apa-apa, Elsa," gumamnya sambil mengusap permukaan cermin, tanpa benar-benar menyentuhnya. Cermin ini... punya cerita, cerita yang sangat kelam.

Elsa merasakan ada simpul di perutnya. Saya tahu ada sesuatu yang tidak beres. Vino menghela nafas dan mulai menceritakan apa yang dia ketahui.

—Bertahun-tahun yang lalu, konon di sebuah tempat bernama Buyu Ampo hiduplah seorang wanita, sangat cantik namun sedingin es. Tidak ada yang tahu namanya, tapi semua orang memanggilnya Ratu Es. Dia jatuh cinta dengan seorang pria dari kota, cinta yang mustahil. Ketika tidak dibalas, rasa sakitnya begitu hebat hingga hatinya membeku selamanya. Sebelum menghilang, dia mengutuk sebuah cermin, menyegel jiwanya di dalamnya, sehingga siapa pun yang menemukannya dan berani menggunakannya akan berbagi nasibnya: hati yang membeku, tidak mampu mencintai.

Elsa merasakan kulitnya merinding. Dia memandang ke cermin, hampir dengan jijik, ketika kata-kata Vino meresap ke dalam pikirannya.

—Apa yang kita lakukan padanya? —dia bertanya, hampir putus asa.

Vino menatapnya.

—Cermin ini tidak bisa tinggal di sini. Ini adalah hukuman bagi mereka yang mencoba menemukan cinta yang sebenarnya tidak ada. Jika dibiarkan di sini hanya akan membawa kemalangan. Anda harus menyingkirkannya.

Tapi sesuatu di cermin memanggilnya. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya, mendesaknya untuk menyentuhnya lagi. Elsa menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan gagasan itu dari benaknya. Namun, semakin dia memikirkannya, semakin jelas baginya bahwa dia harus memahami apa maksud benda itu. Apa hubungannya dengan kutukan itu?

Malam itu, saat angin sedingin es menerpa jendela rumahnya, Elsa mengambil keputusan. Dia kembali ke toko dan berdiri di depan cermin. Saya tahu bahwa, bagaimanapun juga, saya harus menghadapi apa pun yang diwakili oleh objek itu. Dia mengambil cermin di tangannya, merasakan hawa dingin menusuk kulitnya seperti belati. Pada saat itu, sebuah penglihatan mengejutkannya.

Dia melihat dirinya sendiri, tapi itu bukan dia. Itu adalah wanita dalam legenda, Ratu Es. Dalam penglihatannya, dia melihat bagaimana wanita itu sangat mencintai pria yang tidak pernah mencintainya, dan bagaimana hatinya mengeras hingga menjadi sedingin es. Namun kemudian, dalam penglihatan itu, Elsa memahami sesuatu yang tidak pernah dipahami oleh wanita itu. Hukumannya bukanlah cermin. Hukuman sebenarnya adalah kebencian yang dipendam wanita itu di dalam hatinya.

Ketika sudah jelas, Elsa tahu apa yang harus dia lakukan. Dengan sikap penuh tekad, dia menjatuhkan cermin itu ke lantai, memecahkannya menjadi ribuan keping. Seketika, rasa dingin yang memenuhi toko menghilang. Udara kembali menghangat, dan Elsa merasakan kedamaian yang tak dapat dijelaskan menyelimuti dirinya. Beban yang dia rasakan di dadanya sejak dia melihat cermin lenyap.

Vino berlari tak lama kemudian, khawatir dengan suara itu. Melihat pecahan di tanah dan ekspresi tenang Elsa, dia tahu ada sesuatu yang berubah.

—Apakah kamu melakukannya? —dia bertanya, meskipun jawabannya sudah jelas.

Elsa mengangguk.

—Hukumannya bukan cermin, Vino. Itu adalah kebencian. Dan tidak ada lagi kebencian di sini.

Vino tersenyum, dan bersama-sama mereka mulai mengambil pecahan cermin, mengetahui bahwa cinta sejati, cinta tanpa dendam, selalu memiliki kekuatan untuk mematahkan kutukan apa pun.

Apa pendapat Anda tentang kekuatan pengampunan dalam hidup kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun