Ponsel Almira bergetar di atas meja, kedipan samar yang nyaris tak terlihat dalam kegelapan apartemen kecilnya. Saya sudah berhenti memeriksa notifikasi beberapa hari yang lalu, bosan dengan pesan kosong, berita yang berulang-ulang, dan media sosial yang penuh dengan senyuman palsu.Â
Namun pesan ini, seperti banyak pesan lainnya yang telah saya abaikan, tetap ada di layar, mendesak, menunggu untuk dibaca. Itu bukan pesan dari seseorang yang kukenal. Pengirimnya hanyalah sebuah nomor, salah satu nomor yang awalannya tidak diketahui. "Siapa lagi yang bisa melakukannya?" pikirnya, dan memutuskan untuk mengabaikannya.
Namun, ada sesuatu pada getaran sederhana itu yang membuatnya gelisah, seperti rasa cemas yang tidak tahu dari mana asalnya. Dia menghabiskan malam itu dengan terjaga, berbaring di tempat tidurnya, kegelapan menyelimuti pikirannya seperti selimut tebal.
Dia mencoba memikirkan hal-hal lain, tentang pekerjaannya yang hilang beberapa minggu yang lalu, tentang teman-teman yang kehilangan kontak dengannya, tentang keluarga yang tidak lagi dia miliki. Namun saya selalu kembali pada pesannya, pada titik terang kecil yang menantang ketidakpedulian yang telah saya pelajari untuk hidup.Â
Saat fajar, Almira menyerah pada rasa penasaran. Dia mengambil ponselnya, yang masih tertinggal di tempatnya, dan menggeser jarinya ke layar untuk membuka pesan. Tidak berisi kata-kata, hanya file audio tanpa judul. Dia menghabiskan satu menit untuk memutuskan apakah dia harus membukanya atau tidak, tetapi pada akhirnya, keputusan untuk mengetahui menang.Â
Pada awalnya, dia hanya mendengar suara statis, dengungan samar seperti radio tua yang tidak selaras. Kemudian, perlahan, listrik statis mulai memudar, dan dia bisa mendengar sebuah suara. Itu adalah suara yang rendah dan lembut, tapi jelas manusiawi.
Dia langsung mengenalinya: itu suaranya. "Halo, Almira..." Jantung Almira berdetak kencang. Tidak ada keraguan, Itu adalah suaranya sendiri, tetapi terdistorsi, seolah-olah datang dari jauh, seolah-olah dia terjebak dalam gema yang tak ada habisnya. "Apakah kamu ingat aku?" suara itu berlanjut. "Aku sudah menunggumu... lama sekali.Â
Dia ingin mematikan teleponnya, membuang perangkatnya, tetapi jarinya tidak bergerak. Dia lumpuh, terjebak dalam ketakutan mendengar suaranya sendiri berbicara kepadanya dari suatu tempat yang tidak diketahui. "Kamu membiarkan dirimu lupa... kamu tersesat... tapi jangan khawatir. Aku di sini untuk mengingatkanmu."
Suaranya menjadi bisikan, dan sekali lagi, listrik statis menyelimutinya. Namun kali ini, di antara jerit dan dengungan, Almira mulai mendengar suara-suara lain. Itu adalah suara-suara, banyak suara, semuanya berbicara sekaligus, dalam kekacauan yang tidak jelas. Jeritan, tangisan, dan di antara mereka, nama mereka terus terulang.Â
Dia mematikan telepon, melemparkannya ke seberang ruangan. Ia menghela nafas berat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang baru saja didengarnya tidaklah nyata, bahwa itu semua hanyalah mimpi atau halusinasi akibat kelelahan dan kesepian.
Namun suara itu masih ada di kepalanya, mengulang-ulang namanya, membisikkan janji-janji kenangan yang coba ia lupakan. Almira bangkit dan menghampiri telepon, berharap telepon itu rusak, sehingga dia tidak bisa menghidupkannya kembali. Namun sebelum dia bisa mencapainya, perangkat itu bergetar lagi.Â
File audio lainnya, kali ini dia tidak menunggu. Dia memainkannya tanpa berpikir. Suasana statis menyelimutinya lagi, tapi sekarang suaranya lebih jelas, dan lebih jelas lagi. Dia mendengar suaranya, tapi kali ini dia tidak sendirian.Â
Ada suara lain, yang langsung dikenalnya suara ibunya. Suara yang hilang saat dia masih remaja. Mendengarkannya seperti membuka luka lama yang tak kunjung sembuh sepenuhnya. "Almira... Almira, sayang..." Suaranya begitu lembut, begitu lembut, seolah waktu belum berlalu. Air mata mulai berjatuhan dari mata Almira tak kuasa menahan emosinya.Â
Dia mencoba berbicara, merespons, tetapi dia tahu bahwa tidak ada orang di seberang sana, bahwa semuanya hanyalah ilusi. "Kamu ada di mana?" lanjut suara ibunya yang kini pecah, pecah karena kesakitan. "Kami telah mencarimu, kami semua... kami di sini, Almira , dalam kegelapan, menunggu..." Suara itu memudar menjadi erangan pelan, lalu suara statis kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya, hampir memekakkan telinga.Â
Almira menjatuhkan telepon itu, membiarkannya jatuh ke lantai, dan telepon itu terus mengeluarkan suara mendengung, seolah-olah telepon itu hidup, seolah-olah telepon itu memanggilnya. Dan kemudian, dia mengerti bahwa file audio itu bukan sekadar pesan. Itu adalah sebuah pintu, celah antara dunianya dan dunia lain, tempat di mana suara orang mati, suara orang yang terlupakan, tetap terperangkap, menunggu untuk diingat.Â
Almira menyadari bahwa dia telah menghabiskan hidupnya menghindari kenangan, menguburnya jauh di dalam pikirannya. Namun kini, kenangan itu telah menemukan cara untuk kembali, untuk merebut dirinya. Senandungnya semakin keras, dan suara ibunya kembali terdengar, bercampur dengan suara orang lain, baik yang dikenal maupun tidak, semuanya memanggil namanya. Dia tahu bahwa jika dia merespons, jika dia membiarkan suara-suara itu menelannya, tidak ada jalan untuk kembali. Namun godaan untuk mendengarkan ibunya lagi, untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang telah hilang darinya, terlalu kuat.Â
Akhirnya, Almira mengangkat telepon dari lantai, menempelkannya ke telinganya, dan dengan air mata mengalir di wajahnya berbisik, "Aku di sini." Listrik statis berhenti tiba-tiba, dan keheningan menyelimuti ruangan. Keheningan yang begitu dalam hingga seolah menyerap udara.Â
Dalam kegelapan, Almira memejamkan mata, membiarkan pesan terakhir menyelimuti dirinya sepenuhnya, membawanya ke tempat di mana suara-suara itu menunggunya, di mana waktu tidak ada artinya dan kenangan hidup selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H