Mohon tunggu...
Nadya Putri
Nadya Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nadz si random people yang selalu ingin belajar hal baru dan memperbaiki diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Horor

Keheningan Kenangan

17 Agustus 2024   18:27 Diperbarui: 17 Agustus 2024   18:31 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)

Sore itu kelabu ketika Sofia kembali ke apartemen lama neneknya. Bangunan yang berdiri di sudut kota yang terlupakan itu tampak bernafas berat di antara celah-celah dindingnya. Setiap langkah yang diambil di lorong sepi itu bergema seperti gema masa lalu yang coba dia lupakan. Apartemen nenek selalu menjadi tempat perlindungan bagi Sofia. Sebagai seorang anak, dia biasa bersembunyi di sana dari badai yang terjadi dalam hidupnya di rumah. 

Ibunya, yang selalu absen dan tersesat dalam dirinya sendiri, telah membiarkan neneknya menjadi satu-satunya sosok stabilitas dalam hidupnya. Namun kini, setelah neneknya meninggal dan apartemennya kosong, tempat perlindungan itu sepertinya telah menjadi jebakan. Indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres adalah keheningan. Bukan keheningan biasa yang terjadi di tempat tak berpenghuni, melainkan keheningan yang lebih dalam, keheningan yang seakan-akan menyerap suara apapun sebelum sampai ke telinga. 

Tidak ada dengungan listrik, tidak ada bisikan angin melalui jendela. Hanya keheningan menindas yang membuat setiap tarikan nafas Sofia terasa berat. Saat dia berjalan melewati apartemen, kenangan itu menerpa dirinya seperti angin dingin. Kursi dekat jendela tempat Nenek biasa merajut, jam dinding yang berhenti bekerja pada hari kematian Nenek, dan radio tua yang tidak lagi mengeluarkan suara bertahun-tahun yang lalu. Semuanya ada pada tempatnya, tapi entah kenapa, semuanya salah.

Di kamar neneknya itulah Sofa menemukan foto itu. Benda itu ada di sana, di meja samping tempat tidur, di bawah lapisan debu tipis. Itu adalah gambaran dirinya, sejak dia berumur lima tahun. Ekspresinya senang, namun ada yang aneh dengan foto itu. Sofia tidak ingat mengambil foto itu, dia juga tidak ingat betapa bahagianya di masa kecilnya. 

Dia memeriksanya dengan cermat, dan saat itulah dia menyadari sesuatu yang membuat kulitnya merinding. Di latar belakang gambar, terdapat sosok buram, nyaris tak terlihat, seolah-olah diambil secara tidak sengaja. Dia tinggi, berkulit gelap, dan kehadirannya di foto membuat jantung Sofa berdebar kencang. Dia meninggalkan foto itu di tempatnya, tapi kegelisahan mengikutinya saat dia bergerak di sekitar apartemen.

(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)
(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)

Saat itulah dia mendengarnya. Pada awalnya, itu hanyalah sebuah bisikan, suara rendah yang sepertinya berasal dari dinding itu sendiri. Itu adalah lagu lama, yang biasa disenandungkan Nenek saat dia memasak. Sofia tetap diam, mendengarkan. Melodinya bertambah volumenya, dan bersamaan dengan itu, perasaan sedih menguasai dirinya. Nada-nada yang tadinya hangat dan menenangkan, kini sarat dengan keputusasaan. Sofia mencoba mengabaikannya, mengira itu hanya pikirannya yang mempermainkannya, tapi melodi itu terus berlanjut, mengejarnya dari kamar ke kamar. 

Dia memutuskan untuk pergi, tetapi ketika dia berbalik ke arah pintu depan, dia mendapati pintu itu tertutup, seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang menghalanginya. Kepanikan mulai menguasai, dan melodi itu berubah menjadi paduan suara, bisikan-bisikan tak jelas yang sepertinya meminta bantuan. Dia berlari ke jendela untuk membukanya dan melarikan diri, tapi ketika dia melakukannya, pemandangan di luar telah berubah. Alih-alih jalanan yang familiar, yang ada hanyalah kegelapan. 

Jurang tak terbatas yang menyerap segala cahaya yang mencoba menembusnya. Sofia mundur, ketakutan, dan tersandung sesuatu di lantai. Itu adalah foto yang sama yang ditinggalkannya di meja samping tempat tidur, tapi sekarang sosok di latar belakangnya lebih jelas, lebih jelas. Dia bisa melihat wajahnya, dan apa yang dilihatnya membuatnya menjerit. Itu adalah wajah neneknya, tapi terdistorsi, memanjang karena rasa sakit dan putus asa.

(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)
(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)

Sofia berlutut sambil menangis, ketika suara-suara di kepalanya semakin keras. "Selamatkan dia," bisik mereka, "selamatkan dia dari keterlupaan." Dia kemudian mengerti bahwa jiwa orang mati tidak beristirahat dengan tenang, tidak ketika ingatan mereka dilupakan, terkikis oleh waktu. Apartemen, yang dulu merupakan tempat perlindungan, telah menjadi api penyucian, tempat di mana ingatan perlahan-lahan tersiksa, tempat jiwa-jiwa terjebak dalam kegelapan kelupaan. 

Putus asa, Sofia berlari ke kamar tempat neneknya menghabiskan hari-hari terakhirnya. Dia membuka bagasi tua di kaki tempat tidur, mencari sesuatu, apa pun yang mungkin bisa membantunya. Di antara pakaian tua dan benda berdebu, ia menemukan sebuah surat. Itu milik neneknya, ditulis dengan tulisan tangan yang gemetar. "Jangan biarkan aku lupa," kata surat itu, "jangan biarkan aku tersesat dalam kegelapan." Dengan hati tercekat, Sofia mengambil surat itu dan mulai membacanya keras-keras. Setiap kata sepertinya bergema di seluruh apartemen, dan dengan setiap kalimat, kegelapan di jendela mulai surut. 

(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)
(Keheningan Kenangan, Sumber:Pixabay)

Suara-suara itu, yang sebelumnya merupakan hiruk-pikuk rasa sakit, melunak, berubah menjadi bisikan yang menenangkan. Melodinya kembali sama seperti yang diingat Sofia, hangat dan penuh cinta. Ketika dia selesai membaca, apartemennya tampak lebih cerah dan nyaman. Jendela-jendelanya sekarang memperlihatkan jalan di luar, dan pintunya, yang sebelumnya tertutup, kini terbuka. Sofia pergi, mengetahui bahwa dia telah memenuhi keinginan terakhir neneknya. 

Tapi saat dia berjalan pergi, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke belakang. Bangunan itu masih berdiri, tetapi sekarang saya mengerti bahwa itu bukan sekadar tempat fisik. Itu adalah tempat di mana kenangan hidup, dan di mana jiwa tetap hidup selama ada seseorang yang mengingatnya. Tapi aku tahu aku tidak bisa kembali. Karena beberapa tempat, betapapun dicintainya, ditakdirkan untuk tetap berada di masa lalu, terkubur bersama kenangan yang seharusnya tidak lagi terbangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun