Meskipun gladiator umumnya dikenang sebagai petarung laki-laki, ada juga gladiator perempuan yang dikenal sebagai "ludia". Petarung wanita ini jarang ditemukan dan sering dianggap sebagai hal baru, namun keberadaan mereka menunjukkan keragaman dan kompleksitas permainan gladiator di Roma kuno.
Pada Abad Pertengahan, Colosseum dipandang oleh beberapa orang sebagai tempat kemartiran umat Kristiani, meskipun tidak ada bukti sejarah yang mendukung gagasan bahwa umat Kristiani menjadi martir di sana. Pada abad ke-17, Gereja Katolik menahbiskan Colosseum sebagai situs suci untuk mengenang para martir Kristen, yang membantu melindunginya dari penjarahan dan degradasi lebih lanjut.
Seiring berjalannya waktu, Colosseum tidak lagi digunakan dan mulai dijarah. Banyak materialnya, seperti marmer, dipindahkan untuk membangun bangunan lain di Roma. Selain itu, kota ini mengalami kerusakan akibat gempa bumi dan kebakaran selama berabad-abad. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, bangunan ini masih berdiri sebagai bukti teknik dan budaya Romawi.
Fakta lainnya adalah para gladiator mengikuti diet tertentu untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan mereka. Bertentangan dengan gambaran petarung berotot, banyak gladiator memiliki lapisan lemak untuk melindungi diri dari luka dan luka. Makanan mereka terutama terdiri dari jelai dan sayur-sayuran, tinggi karbohidrat dan rendah daging, menjadikan mereka lebih seperti atlet ketahanan daripada binaragawan.
Singkatnya, Colosseum dan gladiator memiliki sejarah yang kaya dan kompleks yang lebih dari sekadar pertarungan berdarah. Dari arsitekturnya yang menakjubkan dan sistem teknik canggih hingga kehidupan gladiator yang beragam, monumen ikonik ini terus memesona dan mendidik mereka yang tertarik pada sejarah kuno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H