Mohon tunggu...
nadlifah nurulaini
nadlifah nurulaini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

mendengar musik, membaca, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Separuh Jiwa yang Hilang

14 Juni 2024   13:04 Diperbarui: 14 Juni 2024   13:51 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                        

       " Dimata mereka aku hanya kehilangan raganya, tapi bagiku setelah ia pergi, aku Kehilangan rumah dan kehangatannya "

  Suara sirene ambulance menggema di kesunyian malam. Nara terbangun dari tidurnya, tepat pada pukul 01.00. Nara ingat bahwa sudah lebih dari satu minggu ibunya ada dirumah sakit, karena harus menjalankan operasi kanker yang sudah memasuki stadium akhir. Nara mengira bahwa suara sirene itu menandakan bahwa ibunya pulang. Nara hanya seorang anak kecil yang berusia 5 tahun, saat ini ia tinggal bersama kakek dan neneknya karena ibunya yang sakit keras dirumah sakit, dan ayahnya yang harus menemani ibunya. Nara kembali memejamkan mata, ia berencana untuk pura-pura tertidur agar dibagunkan oleh sang ibu. Namun setelah menunggu beberapa menit ia tidak menemukan tanda-tanda bahwa ibunya akan datang. Nara kembali bangun, ia semakin bingung dengan suara sirine ambulance yang berada didepan rumah kakeknya, begitu juga dengan suara tangis dari orang-orang yang ada didalam rumah. Nara memutuskan untuk keluar dari kamar berjalan menuju ke ruang tamu. Nara menghentikan langkahnya saat melihat ayah menangis hebat dipelukan neneknya.

Nara semakin bingung saat melihat sepupunya yang berumur 7 tahun ikut menangis. Sampai pada akhirnya sang ayah menghampirinya, memeluk raganya, mengusap rambut pendeknya yang begitu hitam, dan juga ayahnya yang mencium lama keningnya. Nara sedih, ia juga ikut meneteskan air mata. Nara tidak mengerti situasi seperti apa yang saat ini terjadi, ia bingung kemana ibunya, kenapa hanya ada ayahnya, dan mengapa semua orang menangis.  Akhirnya Nara dibawa oleh ayah untuk menemui ibunya.

Nara masih berada dalam gendongan ayahnya, mereka berdiri disamping meja panjang dengan jenazah ibu yang berada diatasnya. Perkiraan Nara benar, bahwa suara ambulance itu tanda bahwa sang ibu telah kembali. Namun raga itu sudah tidak lagi bernyawa.

Nara menatap ayahnya yang masih saja mengeluarkan air mata, ia tau bahwa ibunya telah pergi. Nara mengeratkan pelukan pada ayahnya, ia ikut menangis dalam gendongan ayah, ia sedih karena ibunya telah meninggalkannya, ia juga sedih karena baru pertama kali melihat sang ayah serapuh ini.

" Nara, ibu sudah disurga, ibu sudah bahagia, ibu sudah tidak sakit lagi, kita ga boleh nangis lagi ya, kasian ibu nanti ikut sedih." Ucap ayah yang sudah mulai membaik.

Nara hanya mengangguk. Ia menatap ayahnya yang mulai menghilangkan jejak air mata pada wajah Nara.

" Cium dulu ibunya, nanti kita lanjut tidur" ayah mengarahkan nara untuk mencium jenazah ibunya. Dan kembali untuk tidur dengan ditemani oleh ayahnya.

Pagi harinya keadaan rumah semakin ramai, Nara duduk dipangkuan sang ayah, ia terus menatap keadaan sekitar yang begitu ramai dengan suara isak tangis. Nara juga melihat keadaan sang ayah yang jauh dari kata baik-baik saja. Nara beralih duduk dipangkuan sang kakek, ia masih menatap ayahnya yang kembali menangis dalam pelukan nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun