Dalam konteks perdagangan internasional, hal yang dianggap essensial dan wajar tidak lain dan bukan adalah persaingan. Para pelaku bisnis tentunya menjadi terdorong untuk bersaing dalam membuat inovasi-inovasi baru untuk mempertahankan pangsa pasar global, namun tidak jarang hal ini malah menimbulkan tindakan merugikan seperti persaingan tidak sehat. Berdasarkan yang tercantum pada Pasal 1 ayat 6 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan bahwa persaingan yang tidak sehat atau unfair trade practice adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi atau pemasaran suatu barang maupun jasa yang dilakukan dengan yang cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dumping termasuk tindakan yang termasuk ke dalam unfair trade practice di dunia bisnis internasional. Dalam perdagangan internasional, dumping mengacu pada praktik penjualan produk ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar domestik atau bahkan melampaui di bawah harga produksi. Tujuan utama dari dumping adalah untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih besar sehingga dapat mengalahkan pesaing lokal. Walaupun dalam praktiknya dumping dapat menguntungkan produsen dumping, namun praktik ini dianggap sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat dan merugikan produsen lokal.
Bentuk umum dari unfair trade practice yang dipersoalkan dalam perspektif General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yakni masalah dumping. Akibat dari dumping yang dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi produsen seperti menyempitnya pangsa pasar produsen yang dalam hal ini adalah negara tuan rumah menjadi sorotan. Selain itu, dumping juga menimbulkan dampak negatif bagi pengusaha-pengusaha mikro di negara importir yang termasuk dalam kualifikasi negara berkembang. Oleh karena itu, disusun suatu langkah untuk menanggulangi tindakan tersebut yang disebut sebagai kebijakan anti-dumping.
Pelaksanaan Kebijakan Anti-Dumping
Untuk menjabarkan pasal VI GATT, dibentuklah anti-dumping dalam bentuk code oleh Kennedy Round. Pada kenyataannya, anti-dumping tidak selalu diberlakukan sebagaimana semestinya, namun seringkali dijadikan sebagai perisai untuk melindungi pasar domestik negara. Sebagai contoh, terdapat kasus beberapa produsen Australia yang memberikan tuduhan dumping terhadap produk ekspor alat-alat tulis dari Indonesia. Setelahnya, pemerintah Australia memutuskan pelarangan impor sementara terhadap barang tersebut. Berdasarkan praktik anti-dumping yang dilakukan oleh pemerintah Australia, maka bukan hanya dumping saja yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practice melainkan penyimpangan dalam melaksanakan anti-dumping juga dapat disebut sebagai unfair trade practice.
Hal ini dikarenakan dalam pasal VI GATT mengenai pengaturan anti-dumping yang dimaksudkan sebagai kebijakan untuk mengatasi dumping, dapat disalahgunakan oleh negara produsen terutama negara-negara berkembang sebagai tindakan pembalasan berupa pembebanan kewajiban anti-dumping yang seimbang. Tuduhan dumping sering dilakukan tanpa alasan yang kuat hingga kemudian menolak impor produk asal negara berkembang yang memiliki kedudukan sebagai negara eksportir. Akibatnya, kesenjangan perekonomian dalam perdagangan internasional dapat terjadi sehingga pada hakikatnya praktik anti-dumping juga merupakan bagian dari unfair trade practice.
Tuduhan Dumping terhadap Tiongkok dan Vietnam
Tiongkok pernah dituduh melakukan tindakan dumping di beberapa sektor ekonominya, termasuk baja, tekstil, dan produk elektronik. Pada tahun 2016, Uni Eropa memberlakukan tarif anti-dumping sekitar 19,7% hingga 22,1% terhadap impor baja Tiongkok setelah ditemukan bahwa harga baja Tiongkok berada di bawah harga pasar. Hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku oleh WTO bahwa Uni Eropa dapat memberlakukan BMAD apabila investigasi menunjukkan harga barang impor yang berada di bawah harga pasar sehingga berdampak pada persaingan industri di negaranya. Di tahun yang sama, Amerika Serikat memberlakukan tarif anti-dumping pada impor baja Tiongkok.
Selain Tiongkok, impor baja piringan asal Vietnam juga telah dituduh melakukan dumping di tahun 2019 oleh Uni Eropa. Langkah ini diambil setelah hasil investigasi menunjukkan bahwa baja piringan yang diimpor dari Vietnam telah dijual di bawah harga pasar sehingga merugikan produsen baja Eropa. Pemberlakuan tarif anti-dumping terhadap produk baja piringan Vietnam yang sebesar 13,8% hingga 34,1% diklaim oleh Vietnam sendiri sebagai langkah yang tidak adil dan tidak sesuai dengan perjanjian perdagangan internasional. Menindaklanjuti hal ini, Vietnam melaporkan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) melalui Kementrian Perdagangan atas tindakan anti-dumping tersebut, meskipun belum ada keputusan final dari WTO mengenai ini.
Praktik dumping biasanya dilakukan oleh negara-negara yang memiliki surplus produksi atau kelebihan kapasitas produksi. Sehingga untuk mengatasi surplus tersebut, negara-negara terkait akan menurunkan harga produk mereka dan mengekspornya ke negara lain dengan harga yang lebih murah. Namun, dengan harga yang di bawah pasar, produk-produk tersebut dapat merugikan produsen lokal, mengurangi penjualan produk lokal, dan merusak pasar domestik negara lain.
Bagaimana Cara untuk Mengatasi Dumping?
Untuk mengatasi praktik dumping, negara-negara yang menjadi korban dumping dapat mengambil tindakan kebijakan anti-dumping, yaitu dengan menerapkan tarif atau bea masuk yang lebih tinggi pada produk impor asal negara yang diduga melakukan dumping. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap impor baja Tiongkok di tahun 2018 di mana pemerintah Amerika Serikat menaikkan tarif menjadi 25% sebagai bagian dari perang dagang yang terjadi antar kedua negara tersebut. Namun, dalam penerapan tindakan anti-dumping harus digunakan dengan baik dan hati-hari agar tidak berdampak pada produsen asing yang bersaing secara adil di pasar. Apabila dalam pelaksanaannya terjadi penyalahgunaan kebijakan, maka dapat memperburuk hubungan perdagangan antara negara-negara yang terlibat.
Perlu diketahui juga bahwa kebijakan anti-dumping ini tidak selalu efektif dalam memproteksi produsen lokal dari kerugian akibat praktik dumping. Hal ini karena tindakan anti-dumping dapat mencegah pesaing asing bersaing secara sehat di pasar internasional, sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan inovasi produk. Selain itu, Â tindakan anti-dumping juga dapat meningkatkan biaya impor bagi konsumen lokal dan dapat berujung pada inflasi. Oleh karena itu, dengan meningkatkan koordinasi dan kerjasama antarnegara dalam menghadapi praktik dumping melalui dialog dan perundingan antara aktor-aktor penting negara dapat menjadi solusi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H