Pandemi COVID-19 memberi dampak pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya sektor kesehatan. Terlebih pemberlakuan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah semakin membatasi aktivitas masyarakat. Aturan dan perubahan kebiasaan yang terjadi turut mengubah cara kerja dunia dan memaksa inovasi pemanfaatan kemajuan teknologi, seperti digitalisasi. Lantas, bagaimana nasib kelompok miskin bertahan di era digital?
Kemiskinan dan Digitalisasi
Kemiskinan di Indonesia sempat mengalami peningkatan, terlebih pada masa pandemi, akibat pengurangan karyawan berbagai industri karena krisis ekonomi, penurunan daya beli karena pendapatan yang berkurang, dan produktivitas yang menurun karena pembatasan aktivitas. Berdasarkan data BPS, per bulan Maret 2024 penduduk miskin di Indonesia berada di angka 9,03%. Angka tersebut sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode selama pandemi COVID-19 tercatat pernah mencapai angka 10,19% pada September 2020.Â
Berdasarkan data BPS, proporsi individu yang memiliki telepon genggam berada di angka 62,84%. Angka tersebut mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai angka 63,53%. Hal tersebut mungkin dikaitkan dengan daya beli dan pendapatan yang menurun saat terjadinya pandemi COVID-19. Tidak hanya itu, terdapat ketimpangan angka proporsi yang cukup besar yang terlihat dari angka proporsi tertinggi yang dimiliki oleh DKI Jakarta (77,57%) dibandingkan dengan dua provinsi dengan proporsi terendah yaitu Nusa Tenggara Timur (44,12%) dan Papua (40,44%). Hal tersebut menggambarkan perbedaan yang signifikan dalam hal akses terhadap informasi terkait kesehatan yang sangat krusial di era pandemi. Pemerataan ketersediaan akses terhadap informasi dan internet di seluruh Indonesia menjadi salah satu tugas dari pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) dan proyek Palapa Ring oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Digitalisasi kesehatan menjadi inisiatif pemerintah dengan harapan dapat menyokong pembangunan berkelanjutan yang efisien. Namun, realitas penerapannya belum secara menyeluruh menjangkau masyarakat, terutama pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Kemajuan yang sedang diusahakan justru tidak berdampak baik bagi masyarakat miskin karena keterbatasan kemampuan mengakses sumber digital. Pandemi Covid-19 menjadi contoh utama diskriminasi akses kesehatan digital dimana sebagian besar masyarakat miskin kesulitan untuk mendapatkan vaksinasi dan pelayanan publik karena tidak mempunyai smartphone atau akses internet untuk mengakses digitalisasi data yang dilakukan pemerintah. Keterbatasan tersebut memperjelas ketimpangan pelayanan kesehatan di Indonesia.Â
Pandangan Etik terhadap Ketimpangan Pelayanan Kesehatan Digital
Ditinjau dari pandangan etika kesehatan, fenomena ketimpangan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin akibat digitalisasi tentu tidak memenuhi aspek seperti beneficence dan nonmaleficence yang menekankan pemberian manfaat dan pencegahan kerugian bagi pasien atau pengguna layanan kesehatan, serta justice yang menuntut keadilan pelayanan kesehatan. Digitalisasi kesehatan seharusnya memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Namun, penerapan kewajiban tersebut tidak berjalan optimal karena perbedaan keterjangkauan digitalisasi yang dialami oleh masyarakat miskin. Hal ini memperburuk ketimpangan dalam pemenuhan hak masyarakat miskin untuk hidup sehat dan mengakses layanan kesehatan. Selain itu, aspek justice atau keadilan dalam pelayanan kesehatan menuntut adanya akses serta manfaat yang setara dan merata bagi seluruh kalangan masyarakat. Ketimpangan akses ini menciptakan ketidakadilan sistemik yang menjadi hambatan tambahan bagi masyarakat miskin.Â
Saran Solusi Mengatasi Ketimpangan
Dalam mengatasi permasalahan tersebut pemerintah membutuhkan solusi yang tepat guna yang merujuk pada teknologi yang dirancang menyesuaikan kebutuhan kelompok spesifik sehingga digitalisasi yang dilakukan tidak hanya semakin canggih dan semakin terdepan tetapi juga menjadi teknologi yang dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat terutama dalam hal ini adalah kelompok marginal. Selain itu, pengembangan literasi digital masyarakat perlu dilakukan untuk mencegah keengganan masyarakat menggunakan layanan atau perangkat digital yang semakin memperlebar kesenjangan yang terjadi. Evaluasi regulasi yang inklusif juga diperlukan untuk memastikan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, tidak tertinggal di era digitalisasi kesehatan.
Pengembangan kesehatan digital menghadirkan peluang yang besar dalam menciptakan sistem informasi yang terintegrasi tetapi juga menciptakan tantangan baru dalam untuk menyediakan pelayanan yang dapat diakses untuk seluruh masyarakat. Untuk mencapai hal ini tentunya perlu kerjasama antara sektor dalam kesehatan dan masyarakat. Oleh karena itu, mari bersama tingkatkan kesadaran terhadap masalah diskriminasi pelayanan kesehatan digital sehingga keadilan dan optimalisasi kesehatan di era modern dapat tercapai.
--------------------
Tim Penulis
Falah N.C., Farid A., Nadiya E.S., Janika R.S., Zati B.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H