Mohon tunggu...
Nadir Renjana
Nadir Renjana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akun nulis puisi

Dan keresahan yang beranak pinak pun menjadi rentetan syair murahan yang berusaha aku komersialkan kepada khalayak ramai. Salam cintaku, kepada setiap yang membaca dengan rasa dan keresahan yang sama. -Nadir Renjana

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kehidupan Seperempat Abad?

12 Juni 2024   01:11 Diperbarui: 12 Juni 2024   01:22 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat ya, nak, umurmu sekarang sudah seperempat abad." Kalimat yang Ibu ucapkan melalui sambungan telepon pagi kemarin ketika aku baru merayakan ulag tahunku yang ke dua-puluh lima. Lalu, Ibu lanjut merapalkan doa tentang kesehatan, rezeki dan jodoh dari jarak yang jauh hari itu. Sambil bergetar suaranya, dia memberikan nasihat-nasihat yang baik untukku. Setelah menutup sambungan jarak jauh itu, aku menangis karna rasa sepi yang tiba-tiba mendesak masuk ke rongga tubuh.

Aku sedang diingatkan bahwa, aku sedang berada di titik koordinat paling jauh dari rumah. Aku mengambil sebuah keputusan besar dan langkah yang menurutku cukup berani secara impulsif. Dan buahnya, aku akhirnya berada sangat jauh dari keluargaku. Menurutku itu bukanlah sebuah hal yang menakutkan jika mengingat umurku yang memang sudah seharusnya mulai untuk hidup di kaki sendiri. Kalau biasa kita menyebutnya merantau. 

Banyak hal yang harus ditinggalkan dan harus dilepaskan. Keluarga, lingkungan pertemanan, dan bahkan rasa nyaman adalah hal-hal yang 'terpaksa' direlakan ketika memutuskan untuk beranjak pergi jauh dari rumah.
Dan, rindu akhirnya menjadi sebuah candu, sebab sepi adalah teman tidur yang akan terus menemani.
Umurku bertambah satu dan  aku mengawali lembaran yang baru bersama tantangan-tantangannya. 

Sebelumnya, banyak orang yang memandang atau berpikiran bahwa aku tidak akan mampu bertahan lama hidup jauh dari orang tuaku. Bahkan sebagian orang lagi mengatakan bahwa aku akan selamanya tinggal bersama orang tuaku. Aku tidak kaget dan tidak heran. Kita semua tau, orang-orang hanya bisa mencibir dan meremehkan. Bukan hal yang baru.

Namun, berada jauh dari orang tuaku pun bukan berarti aku sudah berhasil menjadi orang yang sukses ataupun menjadi orang kaya berduit seperti yang dipikiran mereka. Tantangannya baru dimulai, kesulitan-kesulitan satu persatu pasti datang. 

Dimulai dari yang paling biasa, makan hanya sekali dalam sehari. Kalau diingat lagi, ini adalah penyebab aku mengidap Gerd  yang parah sejak remaja. Aku terlalu sering malas hanya untuk sekedar makan sejak dulu. Yang ini bisa kutangani dengan mudah

Lalu yang kedua mungkin, kehabisan uang sebelum waktu gajian. Yang ini lumayan berbahaya tapi aku mulai belajar mengatur keuanganku. Toh, sejak dulu pun aku juga bukan orang yang dimanjakan dengan uang. Jadi, aku tidak takut jika tidak membeli hal-hal yang tidak terlalu penting dan tidak mendesak, kecuali, makan. 

Kemudian, apa ya? Adaptasi? Itu hal yang terlalu mudah. Kata Ibuku, ini adalah bakat lahiriah yang aku miliki. 

Dan masih banyak lagi tantangan yang aku sendiri bingung menjelaskannya. Tapi, diantara semua itu, yang masih sulit untukku adalah rasa sepi. Aku tidak menyukai rasa sepi. Namun, dikondisi saat inipun aku dipaksa untuk berdamai dan menerima sepi itu sendiri. 

Kehilangan rasa nyaman ketika dikelilingi keluarga dan lingkungan pertemanan adalah sesuatu yang beda.
Ketika bangun di sebuah ruangan kosong yang hanya diisi kasur, kipas, dan lemari, tanpa ada eksistensi manusia yang familiar itu membuat rasa sepi itu semakin besar. Belum lagi ketika merindukan masakan rumahan yang selalu menyenangkan ketika disantap bersama semua anggota keluarga. 

Memeluk diri sendiri dalam kedap sepi yang menghantui, padahal Bumi begitu berisik. Dan, pada akhirnya di titik ini aku menyadari bahwa, setiap momen dalam kehidupan itu adalah suatu hal yang berharga.
Kehidupan seperempat abad bukan berarti kita akan hidup satu abad penuh. Namun, kenangan disetiap umur yang akan terus bertambah akan selalu hidup bahkan ketika kita mati. Untuk umur yang tersisa, terus belajar dan mengkoreksi diri sendiri adalah pilihan yang paling bijak dan baik. Kita sadar banyak juga hal-hal yang salah sudah kita lakukan. Kita masih memiliki kesempatan untuk berbenah.

Ribuan momen sudah terjadi dalam sebuah kehidupan, dan kehilangan adalah fase yang paling sering terjadi. Bertahan hidup adalah ajang pembuktian diri. Kesanggupan dalam menjalani setiap tapak demi tapak demi bisa terus menunjukkan kepada orang yang menganggap remeh bahwa mereka salah.

Dan, Aku yang kini berusia seperempat abad sedang memeluk diri dalam kesepian untuk bertahan hidup. Bagaimana kamu? Apakah kehidupanmu baik-baik saja? Apakah sepi juga menjadi selimut malam-mu? 

Bertahan sebentar lagi, ya! Segala hal baik akan menghampiri orang-orang yang pantang menyerah seperti kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun