merayakan dan sedang dirayakan, semua saling merayakan. Akupun, aku sedang mesayakan sepi yang belakangan menjadi teman tidur. Tidak ada kecemburuan akan orang lain, aku merasa mampu membentengi diri dari rasa kalut yang dibawa oleh sepi. Dan jarak antara kehilangan dan kematian atau kehilangan karena kematian, menjadi bola panas yang siap bergulir membakar dan menyalakan kesepian yang lebih lagi.Â
Semua orang sedangAku menjamu Malam untuk duduk dihadapanku. Aku sedang melakukan negosiasi dengannya, tentang bagaimana harus aku memulai hari esok, ketika pagi merayap melalui pinggiran kasurku. Aku mengajaknya berhitung, menghitung setiap kehilangan sepanjang tahun kemarin sampai hari ini. Bahkan kehilangan lebih sering dibandingkan dengan hujan yang masih belum mau lewat di atas kepala. Lalu, Sang Malam melihat pada genangan air pada kaki di bawahnya. Dia Pamit.Â
Ada sebuah perasaan yang entah bagaimana harus dijelaskan atau diekspresikan, perasaan tentang sebuah kekososngan. Kecemasan dan keresahan selalu baru seiring dengan pergantian hari, namun masih sulit untuk sekedar dijabarkan dalam kalimat yang mudah dipahami. Yang paling menonjol tetap ketakutan akan ditinggalkan. Sebab luka kehilangan masih menganga, ada aroma yang disebut-sebut dengan sepi.Â
Bagaimana ini? Aku sudah merayakan sepi dengan seribu seratus sebelas cara. Menangis, meraung, mengurung diri, bahkan melukai diri sendiri, banyak sekali. Kehilangan masih terus bertambah, belum genap hitungan waktu kehilangan yang satu, kematian menyusul dengan cepat. IYA, aku ditinggal mati. Hari ketika kematian itu datang, aku sudah menangis sampai wajahku bengkak seperti habis dipukuli. Lalu aku meraung seperti sedang kelaparan. Hari itu aku akhiri dengan setumpuk penyesalan, cara merayakan sepi yang lainnya.Â
Semua orang sedang pamer, mereka dirayakan. Aku akui, aku sedikit iri dan cemburu. Ada setitik rasa ingin untuk juga dirayakan. Tapi, sepi masih begitu riuh. Sepi masih sangat kosong. Ada hampa yang begitu mendominasi diri, seakan mengatakan aku tidaklah pantas untuk siapapun dan juga tidak pantas untuk dirayakan oleh siapapun. Padahal dulu ibu merayakan aku ketika aku lahir ke dunia. Â Merasa tidak berharga adalah pemicu sepi yang berkelanjutan, sepi dan kesepian.Â
Dulu aku sering mengasingkan diri ke tempat yang sepi, agar aku dapat mencerna apa yang sebenarnya aku rasakan. Bahkan sekarang aku sudah melarikan diri jauh dari rumah ibu. Tapi, aku masih belum mampu menguraikan kerumitan ini. Di tempat-tempat ramai pun masih ada yang namanya sepi. Aku masih sering menangis tanpa sebab, padahal beberapa menit sebelumnya aku baru saja tertawa. Aneh kan?
Tentang kesepian, apakah ini hanya akal-akalan dari rasa trauma saja? Sebab, masih banyak luka yang belum pulih. Banyak luka yang tidak diobati, beberapa masih segar. Trauma ini sedikit kurang ajar, terkadang dia mencoba mengundang ajal. Bahaya sekali, kan?Â
Jika tubuhku adalah rumah, maka trauma sedang berjaga di depan pintu masuknya. Mau mencoba masuk? Dobrak saja.
Belakangan aku sudah lihai, berpura-pura sembuh dengan cara tertawa lepas yang sudah dilatih dan dipalsukan. Karena, pada akhirnya aku yang harus bertanggung jawab dan mengobati diriku sendiri. Pada akhirnya masih aku, dan tetap aku yang harus memeluk diriku sendiri. Walaupun aku mual dan sedikit muntah melihat betapa palsu dan menggelikannya diri.Â
Hidup masih berjalan adalah sebuah kebenaran yang faktual selama belum kiamat, maka kewarasan diri sendiri adalah tanggung jawab masing-masing. Setiap hari masih ada luka-luka baru, masih ada masalah dengan kerumitan yang baru, bahkan masih ada kehilangan-kehilangan lainnya yang mengantri. Tinggal bagaimana aku, kita, merayakan.Â
Aku sedang merayakan sepi.Â