Bukan seperti hari biasa, hari ini aku mendudukkan diri disudut favoritku, di kedai kopi kesukaanku. Berteman dengan segelas kopi, sebungkus rokok, serta buku kumpulan puisi oleh Djoko Pinurbo, penulis yang baru-baru ini mencuri atensiku atas puisi lahiran beliau.Â
Rasanya sudah lama tidak kembali kesini. Sebulan atau dua bulan mungkin? Ya, semenjak aku menemukan 'rumah' untuk berpulang, aku tidak lagi melarikan diri kesini. Â
Tapi, hari ini merupakan hari yang berbeda. Kemarin aku mendapati rumahku hilang ambruk dimakan masa. Betul. Sekali lagi aku kehilangan rumah, kehilangan tempat mengadu paling hangat.Â
Beberapa hari lalu rumahku mengirimkan surat cinta yang ternyata isinya talak. Ah, berlebihan. Tapi intinya sebuah pesan yang mengatakan kami harus berpisah. Menyedihkan, karena lagi-lagi aku harus merambas dan mengubur semua ilalang yang menjadi penghias hari-hariku bersama rumahku.Â
Beruntung, aku menemukan bulan yang sedang kesepian malam ini. Aku beradu tatap lama dengannya seolah sedang bercerita melalui mataku yang sayu karena kebanyakan minum parasetamol. Atau mungkin karna wajahku semakin cekung akibat bobot tubuh yang berkurang.Â
Kalau kalian mau tahu, aku tidak menangis, tidak juga merasa sakit atau sedih. Aku lebih mirip orang linglung di hutan yang sedang tersesat karena kehilangan kompas dan peta.Â
Aku sendiri bingung, mengapa rasanya hatiku kosong seperti tidak pernah di isi sebelumnya. Padahal aku sebenarnya begitu merindu. Aku begitu ingin menemui rumahku.Â
Kata temanku, aku mati rasa. Â Padahal tadi pagi kakiku masih sakit akibat terantuk ujung meja dapur, dan bekasnya pun masih perih.Â
Sejujurnya aku mau marah, aku mau menangis dan berteriak. Namun bukan karena aku patah hati,  ini lebih tentang aku yang ingin melarikan diri  dari kota ini.Â
Coba bayangkan, semua tempat seolah memajang wajahnya terputar bersama dengan kejadian-kejadian yang pernah kami lalui. Entah itu ketika kami berteduh, berbincang, bahkan terputar kenangan bagaimana rasanya pelukannya yang hangat. Aku ingin segera melarikan diri, jauh dari kota ini, jauh dari bayang-bayang kenangan tentang kami. Tapi belum bisa.Â
Aku merenungi, apa yang salah dariku? Apa aku kurang cantik (kalau yang satu ini aku akui memang sangat kurang)? Apa aku kurang baik? Â Atau aku yang kurang mengerti dia? Entahlah, hanya dia yang paham.Â
Aku masih merindu, tapi aku menahan jari-jemariku untuk tidak mengirim pesan lagi kepadanya. Bukan apa-apa, hanya saja, aku tidak mau mengganggu dia yang sedang bahagia karena bebas kembali tanpa ada penghambat dan beban. Dia sedang melepas rindu dengan dirinya sendiri, setelah beberapa lama aku mencuri waktunya. Dan terlebih lagi, aku tidak mau terlihat begitu menyedihkan karena terus merecokinya dengan pesan yang tidak lagi penting dariku.Â
Meskipun begitu, aku akan tetap menjadi rumah untuknya, seperti yang dia katakan dulu. Aku akan tetap menjadi rumah yang selalu sedia  ketika dia ingin pulang atau hanya sekedar singgah.Â
Aku dan pelukku akan tetap sama seperti pertama kali dia memutuskan bahwa aku adalah rumah baginya, akan tetap selalu hangat.Â
Sekarang, aku akan kembali berbincang dengan bulan yang sudah merajuk dibalik genteng karena sedari tadi aku mengacuhkan dirinya untuk menulis ini.Â
Sampai jumpa lagi, ya. Nanti ketika yang merindu bukan hanya milikku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H