Pernikahan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan telah diatur oleh aturan hukum, baik hukum islam serta hukum positif (negara). Pernikahan telah diatur jauh sebelum lahirnya undang-undang yakni melalui hukum agama dan hukum adat di setiap masing-masing daerah.Â
Manusia memiliki hak dalam melangsungkan pernikahan yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 pasal 28B ayat (1) yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut hukum adat, pernikahan memiliki arti penting karena bukan hanya menyangkut hubungan antar mempelai, tetapi juga menyangkut hubungan antar dua keluarga. Hukum adat meyakini bahwa pernikahan bukan saja tentang peristiwa penting bagi keluarga tetapi juga bagi para leluhur mereka.Â
Dalam hukum adat arwah-arwah para leluhur sangat dihormati sehingga apabila ada peristiwa pernikahan berlangsung maka setiap keluarga wajib meminta restu terhadap leluhur dengan harapan para leluhur merestui kelangsungan rumah tangga mereka agar lebih rukun dan bahagia. Perkembangannya pernikahan dalam hukum adat memiliki bentuk-bentuk pernikahannya, adalah sebagai berikut:
- Perkawinan jujur
- Perkawinan semenda
- Perkawinan bebas (mandiri)
- Perkawinan campuran
- Perkawinan lari
Berdasarkan bentuk-bentuk pernikahan menurut hukum adat yang telah diuraikan tersebut, terdapat satu bentuk pernikahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adat, yakni pernikahan anak di bawah umur.Â
Pernikahan anak di bawah umur merupakan pernikahan antara anak-anak yang tidak sesuai dengan batasan minimal umur pernikahan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. karena untuk dapat mewujudkan tujuan pernikahan syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan pernikahan telah masak jiwa dan raganya.Â
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6% menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun, dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun.Â
Sejak diundangkan Hukum negara yang mengatur mengenai masalah pernikahan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Untuk dapat mewujudkan tujuan pernikahan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan pernikahan telah matang jiwa dan raganya. Harus ada dalam keadaan sadar atau dalam keadaan yang tidak dipaksakan.Â
Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan. Hal ini dilakukan agar pernikahan tidaklah dianggap main-main, Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Bab II Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatakan bahwaÂ
"Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun".Â
Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Â tidak menghendaki pelaksanaan pernikahan di bawah umur.
Di masa pandemi covid-19 saat ini, telah teridentifikasi terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia. Berdasarkan data analisis Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020, provinsi yang menyumbang angka pernikahan di bawah umur tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat.Â
Pernikahan dini yang terjadi di tengah-tengah masa pandemi covid-19 ini terjadi akibat masalah ekonomi. kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya perekonomian keluarga.Â
Pernikahan anak ini perlu mendapat perhatian serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan, seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan, dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksinya.
Pada umumnya, pernikahan dilakukan oleh orang-orang yang secara hukum umurnya memenuhi syarat atau orang dewasa serta tanpa memandang latar belakang orang tersebut.Â
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjelaskan bahwa pernikahan hanya diizinkan apabila pihak pria baik wanita sudah mencapai batas umur 19 tahun, Jika diberikan izin pernikahan, berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa di pandangan hukum.Â
Dengan mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah umur 19, dan terjadi pernikahan di bawah umur, maka dalam hal tersebut pemerintah telah memberikan kebijakan dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan dini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan atau disebut juga dispensasi. Hal tersebut dilatarbelakangi jika kedua belah pihak benar-benar siap dan matang secara fisik, psikis, serta mental untuk melakukan pernikahan.Â
Namun, penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita. Sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974:Â
"Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita."
Secara mendasar, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mendorong lebih luas terjadinya pernikahan anak terutama dengan menggunakan frasa penyimpangan tanpa ada penjelasan yang lebih rigid terhadap penyimpangan tersebut.
Argumen terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sudah dijelaskan dengan baik, untuk itu perlu pengetatan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) terutama pengetatan frasa penyimpangan dan penghapusan frasa pejabat lain.Â
Selain itu, ketentuan pengetatan ini diadakan ialah untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk pernikahan dalam Undang-undang Perkawinan. Karena pernikahan untuk anak di bawah umur, diperkirakan akan selalu terjadi kesenjangan, dikarenakan belum adanya kesiapan mental antara kedua anak tersebut. Atas itu, pasal 7 ayat (2) mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berbunyi:
"Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup."
Salah satu asas atau prinsip pernikahan yang dengan demikian dapat mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Dewasa ini ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap pernikahan yang berlaku sejak disahkannya Undang-Undang secara lengkap yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam.
Pernikahan Anak di Bawah Umur Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Adat
Dalam ruang lingkup sistem hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain hukum positif mengartikan bahwa pernikahan memiliki beberapa sistem hukum yang melingkupinya.
Sistem hukum yang dimaksud terdiri dari 3 sistem hukum yakni, sistem hukum agama, sistem hukum nasional, dan sistem hukum adat. Dari ketiga sistem hukum tersebut masing-masing sistem hukum memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda dalam mengatur mengenai pernikahan.
Eksistensi hukum adat di Indonesia dijamin serta diakui keberadaannya dalam konstitusi Negara Indonesia di Undang-Undang Dasar 1945. Jaminan mengenai keberadaan Hukum adat telah diatur dalam Pasal 18B untuk menjaga dan melestarikan adat istiadat yang ada. Pada hakikatnya UUD telah menjamin hal tersebut serta masyarakat adat juga mendapat perubahan keempat dari UUD 1945 yang juga memberikan jaminan konstitusional terhadap kebudayaan Indonesia, termuat dalam Pasal 32 UUD 1945.Â
Dengan demikian masyarakat Hukum adat memiliki basis konstitusional untuk mempertahankan hak-haknya sebagai dimuat dalam pasal-pasal tersebut. Walaupun beberapa kalangan justru melihatnya sebagai pembatasan hak masyarakat adat.
Bila ditinjau dari perspektif perjalanan sejarah perkembangan hak asasi manusia, baik di level internasional maupun nasional, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat Hukum adat semakin menguat. Secara formal mulai dari tingkat konversi internasional konstitusi, undang-Undang hingga peraturan daerah (Perda) sampai sekarang persatuan masyarakat adat semakin kuat dan dihormati.
Dalam hukum adat, pernikahan memiliki arti penting karna bukan hanya menyangkut hubungan kedua mempelai tetapi juga mencangkup hubungan dua keluarga yang akan menjadi satu keluarga.Â
Peristiwa pernikahan dalam hukum adat bukan hanya peristiwa penting bagi keluarga mempelai, akan tetapi peristiwa penting tersebut juga merupakan peristiwa penting bagi para leluhur dari kedua pihak.Â
Para leluhur dari kedua pihak mempelai diharapkan merestui pernikahan agar pernikahan tersebut lebih rukun serta abadi dan kekal. Karena begitu penting arti pernikahan ini, maka pelaksanaan pernikahan itu pun senantiasa dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan sesajennya. Ini semua seakan-akan adalah tahayul, tetapi kenyatannya hal ini hingga sekarang masih Perkembangannya pernikahan dalam hukum adat memiliki bentuk-bentuk pernikahannya, adalah sebagai berikut:
- Perkawinan jujur
- Perkawinan semenda
- Perkawinan bebas (mandiri)
- Perkawinan campuran
- Perkawinan lari
Hukum adat pernikahan pun menegaskan adanya larangan dalam pernikahan adat. Yang dimaksud dengan larang pernikahan dalam Hukum adat, adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan pernikahan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak mematuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh Hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan Hukum adat. Â Beberapa larangan itu adalah:
- Karena hubungan kekerabatan
- Karena perbedaan kedudukan
- Karena perbedaan agama.
Pernikahan anak di bawah umur tidak masuk dalam larangan pernikahan hukum adat yang disebutkan dia tas. Hal ini menandakan bahwasanya pernikahan anak di bawah umur tidak dilarang atau dapat dilakukan dalam lingkup Hukum adat itu sendiri. Sehingga dalam realitas yang tumbuh dalam masyarakat adat di Indonesia masih terdapat pernikahan anak di bawah umur yang diakui oleh masyarakat adat.Â
Walaupun pada prinsipnya setiap daerah memiliki adat istiadat masing-masing sesuai dengan karakteristik daerah-daerah tersebut. tetapi secara universal atau sebagian besar masyarakat adat yang ada di Indonesia mengakui atau tidak melarang adanya pernikahan anak di bawah umur.Â
Pernikahan anak di bawah umur diartikan sama dengan pernikahan atau pernikahan dini. Secara umum yang dimaksud dengan pernikahan anak dibawah umur, yaitu merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam ikatan keluarga.Â
Selanjutnya Sarlito Wirawan Sarwono mengartikan pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai solusi alternatif. Hukum adat sendiri mengatur tentang pernikahan anak dibawah umur atau pernikahan anak-anak yang mempunyai mekanisme atau cara yang berbeda dengan Hukum nasional (UU Perkawinan).Â
Pernikahan ini baru dapat dilaksanakan dalam Hukum adat apabila anak telah mencapai umur yang pantas yaitu 15 atau 16 tahun bagi perempuan dan 18 atau 19 bagi laki-laki. Apabila terjadi pernikahan dimana anak perempuan kurang dari 15 tahun dan laki-laki kurang dari 18 tahun maka setelah menikah, hidup bersama diantara mereka keduanya ditangguhkan sampai mencapai usia yang ditentukan. Pernikahan semacam ini dinamakan kawin gantung. Biasanya dilakukan apabila kedua pasangan dimaksud mencapai umur yang pantas maka pernikahannya disusul dengan pernikahan adat.Â
Di beberapa daerah dibedakan antara kawin gantung dengan pernikahan anak perempuan dibawah umur (belum akilbalig) dengan seorang lelaki yang sudah dewasa. Alasan melaksanakan pernikahan anak-anak ini adalah untuk segera merealisasikan ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dengan kerabat mempelai perempuan yang memang diinginkan oleh mereka.Â
Alasan ini pula kadang-kadang meyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah dijanjikan kalau kelak dikawinkan dengan anak sesuatu keluarga karena keinginan adanya ikatan kekeluargaan dengan keluaraga yang bersangkutan saja.
Pandangan Hukum adat Terhadap Pernikahan dini di masa Pandemi
Di tengah-tengah masa pandemi covid-19 ini, telah teridentifikasi terjadi lonjakan angka perkawinan dini di Indonesia. Ada berbagai latar belakang yang menjadi suatu alasan terjadinya sebuah pernikahan dini yakni pergaulan bebas salah satumya. Pernikahan dini bukanlah suatu larangan dalam hukum adat melainkan masih memiliki beberapa aturan tertentu. Namun, pergaulan bebas dalam masyarakat adat masih dianggap tabu dikarenakan masyarakat adat masih menjunjung moralitas serta akhlak seorang anak.Â
Di sisi lainnya banyak pula masyarakat yang memiliki pandangan bahwa alasan-alasan yang disampaikan oleh beragam pihak yang setuju mengenai pernikahan muda tidaklah dijelaskan secara rasional dan jika dilihat dari sudut pandang agama Islam tidaklah bersifat mutlak seperti itu.Â
Penyegeraan seseorang untuk pernikahan mungkin didasari dengan hadist Rasulullah agar kita menyegerakan pernikahan pada saat kita mampu dengan tujuan untuk menghindarkan kita dari perbuatan zina. Namun, maraknya pernikahan dini di masa pandemi ini dilatar belakangi oleh permasalahan ekonomi. Sehingga banyak orangtua memilih alternatif mengizinkan anaknya menikah dengan harapkan mampu meringankan beban orangtua.
Pernikahan anak dibawah umur jika dilihat dari sudut pandang hukum adat memberikan penegasan bahwa dalam Hukum adat tidak melarang adanya pernikahan anak dibawah umur, karena pernikahan dalam Hukum adat bukan hanya tentang kedua mempelai saja, akan tetapi dilihat juga dari keluarga kedua belah pihak. Tujuan atau alasannya adalah untuk menjaga atau melangsungkan hubungan kekerabatan diantara pihak yang bersangkutan, sehingga menjaga jangan sampai diantara pihak pria atau pihak wanita lari dari proses hubungan kekerabatan yang sudah diperjanjikan. Dalam faktanya banyak proses pernikahan anak dibawah umur yang dilakukan dalam konteks masyarakat adat.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Sherlin Darondos, Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya. Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014.
Made Adriawan Restu Ningrat, Perkawinan Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Adat, Lex Privatum Vol. VI/No. 8/Okt/2018
Sita Thamar van Bemmelen* dan Mies Grijns, Relevansi Kajian Hukum Adat: Kasus Perkawinan Anak Dari Masa Ke Masa, Mimbar Hukum Volume 30, Nomor 3, Oktober 2018, Halaman 516-543
Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12, Nomor 2, Juli-Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H