Sebagai manusia, kita harus mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Salah satu bentuk dari rasa syukur adalah menjaga dengan baik semua yang dititipkan Tuhan kepada kita. Anak adalah titipan sekaligus anugerah terbesar yang Tuhan berikan untuk kita. Maka sudah sepatutnya kita menjaga dan merawat titipan itu dengan sebaik-baiknya. Tak terkecuali dengan anak autis yang sedikit berbeda dari yang lainnya.
Jumlah anak autis di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hingga saat ini, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang penyandang autisme di Indonesia, dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahun. Wow, jumlah yang tidak sedikit!
Apa sih Autisme itu?
Gangguan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorder) merupakan kekurangan yang persisten dalam mengembangkan komunikasi dan interaksi sosial, serta adanya pola perilaku komunikasi atau aktivitas yang terbatas dan berulang.[1] Sebagian anak autisme awalnya berkembang normal, kemudian timbul kemunduran secara bertahap hingga memperlihatkan gejala-gejala autisme. Untuk memenuhi kriteria diagnosis gangguan spektrum autisme, setidaknya anak harus menunjukkan dua tipe gejala yakni: 1) kekurangan dalam mengembangkan komunikasi dan interaksi sosial, dan 2) perilaku, minat atau aktivitas yang terbatas dan berulang. Namun perlu diingat, penegakkan diagnosis ini hanya boleh dilakukan oleh Psikolog atau Dokter.
Anak dengan gangguan spektrum autisme memiliki gangguan perkembangan dalam fungsi otak atau neurodevelopmental. Gangguan perkembangan dalam fungsi otak ini dapat menyebabkan hambatan dalam komunikasi baik verbal maupun non-verbal, hambatan dalam interaksi sosial, serta perilaku yang terbatas.
Kemampuan dalam berkomunikasi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Dengan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa yang baik, anak dapat memahami dan menyampaikan informasi, meminta sesuatu yang disukai, serta menyampaikan dan mengekspresikan keinginannya. Maka kemampuan komunikasi bagi anak dengan gangguan spektrum autism sangatlah penting. Tanpa adanya kemampuan dalam komunikasi dapat membuat anak menunjukkan perilaku yang terkesan negatif karena anak tidak dapat menyampaikan keinginannya. Gangguan perkembangan bicara atau bahasa pada anak dengan gangguan spektrum autism sering membuat mereka merasa frustrasi karena masalah komunikasi. Keterbatasan dalam menangkap pesan orang lain dan kesulitan dalam merespon atau menjawab percakapan, serta keterbatasan dalam mengungkapkan keinginan sering membuat anak merasa tertekan.[2] Oleh karena itu diperlukan strategi atau metode yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak dengan gangguan spektrum autisme.
Lalu metode apa yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan komuniasi anak dengan autisme?
Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak dengan spektrum autisme adalah Picture Exchange Communication System (PECS). Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sebuah metode pendekatan untuk melatih komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol gambar. Picture Exchange Communication System (PECS) ini mulanya dirancang oleh A. Bondy dan L. Frost pada tahun 1985 dan dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Picture Exchange Communication System (PECS) digunakan untuk membantu anak dalam berkomunikasi karena memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihannya sendiri, serta memberi alternatif bagi anak untuk mengatakan sesuatu atau mengingatkan pada anak apa yang harus dilakukan.[3]
Bagaimana penerapan Picture Exchange Communication System?
Picture Exchange Communication System (PECS) dapat diberikan melalui 6 tahapan, yaitu:
- Tahap pertama yaitu fase latihan dalam berkomunikasi. Pada tahap ini, anak diberikan sebuah gambar yang disukai kemudian diminta untuk memberikannya ke pendamping atau teman yang ada di sekitarnya dan ditukar dengan benda/aktivitas sebenarnya.
- Tahap kedua yaitu fase jarak, kemauan yang kuat dan ketekunan. Pada fase kedua, anak diminta untuk mengambil buku atau gambar yang disukainya yang sudah diatur jaraknya untuk diberikan ke pendampingnya, dan ditukar dengan benda atau aktivitas sebenarnya.
- Tahap ketiga yaitu fase membedakan sesuatu. Fase ketiga ini, anak diminta untuk mengambil dan memberikan satu gambar dari beberapa gambar yang akan diberikan kepada pendampingnya, dan ditukar dengan benda/aktivitas sebenarnya.
- Tahap keempat yaitu fase pembentukan struktur kalimat pada anak. Pada fase ini, anak diharapkan dapat menyusun kalimat dengan menggabungkan kata “saya mau” dengan ditambah bantuan gambar pada buku komunikasi dan kemudian diberikan kepada pendamping untuk ditukar dengan benda/aktivitas sebenarnya.
- Tahap kelima yaitu memberikan respon terhadap pertanyaan. Pada tahap ini, anak dapat menjawab pertanyaan dari pendamping tentang “apa yang kamu mau?” dan secara spontan menyusun kalimat di buku PECS sesuai dengan yang diinginkannya. Kemudian menyerahkan kalimat tersebut kepada pendamping untuk ditukar dengan benda/aktivitas yang sebenarnya.
- Tahap keenam yaitu fase memberikan komentar terhadap sesuatu. Tahap ini anak dapat menyusun kalimat dari pertanyaan di buku PECS, misalkan “saya lihat bola” kemudian diberikan ke pendamping yang bertanya. Pendamping dapat memberikan pertanyaan yang bervariasi seperti “kamu sedang apa?” atau “kamu lihat apa?” agar anak dapat berlatih menguraikan sebuah kalimat permulaan yang berbeda.[4]
Metode Picture Exchange Communication System (PECS) ini menitikberatkan pada penggunaan alat bantu visual yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membantu anak dengan gangguan spektrum autisme dalam melatih kemampuan komunikasi.[5] Sehingga anak dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik, serta dapat menyampaikan atau mengekspresikan keinginannya.