Minuman beralkohol (minol) merupakan salah satu persoalan serius yang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Tingginya korban ‘oplosan’ merupakan salah satu dampak negatif dari rendahnya edukasi mengenai minol. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak masyarakat yang belum mampu membedakan antara ‘oplosan’ dengan minuman beralkohol. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa ‘oplosan’ bukanlah minuman beralkohol.
Hadirnya ‘oplosan’ di tengah masyarakat menciptakan stigma bahwa minol merupakan mesin pembunuh. Seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa ‘oplosan’ bukanlah minol. Memang betul bahwa methanol yang terkandung dalam ‘oplosan’ merupakan racun bagi tubuh manusia, berbeda dengan etanol yang terkandung dalam minol.
Etanol atau etil alkohol merupakan hasil fermentasi bahan-bahan hasil pertanian. Alkohol jenis ini aman dikonsumsi oleh tubuh manusia dalam jumlah tertentu, meski tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat efek samping jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih dan dalam waktu yang panjang.
Namun stigma buruk tersebut sudah terlanjut menancap di dalam benak sebagian masyarakat kita. Maka edukasi harus dilakukan agar tidak ada lagi korban ‘oplosan’ yang diakibatkan ketidaktahuan tersebut.
Selain itu, banyak juga penentang peredaran minol yang terkurung dalam persepsi bahwa minol adalah sumber dari tindakan kriminal. Hal tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Memang terdapat perbuatan kriminal dimana pelakunya sedang ada dalam dalam kondisi terpengaruh alkohol. Namun seorang peneliti, Miftahul Jannah, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tindakan yang melanggar hukum merupakan tindakan yang utamanya didorong oleh kesadaran (niat) dan kesempatan untuk berbuat kejahatan.
Selanjutnya disampaikan bahwa orang yang terpengaruh alkohol sejatinya tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar. Artinya untuk melakukan tindak kejahatan tidak dapat dilakukan dalam kondisi terpengaruh alkohol.
Ungkapan tersebut tidak untuk menyatakan bahwa regulasi minol tidak diperlukan. Sebagai komoditas, minol harus diatur dengan tegas dan jelas mulai dari produksi, jual-beli, hingga konsumsi. Peran pemerintah baik di pusat maupun di daerah menjadi faktor penentu.
Sebagai contoh, usia legal konsumsi minol di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun. Artinya minol tidak boleh dijual pada masyarakat dengan usia di bawah itu. Selanjutnya masyarakat yang belum mencapai usia legal tersebut juga dilarang untuk mengkonsumsi. Oleh karena itu, Menteri Perdagangan membatasi peredaran minol dengan melarang menjual di toko-toko eceran.
Di balik kontroversi mengenai peredaran minol, negara telah diuntungkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Meski sempat turun pada tahun 2015 akibat pembatasan peredaran, namun angkanya penerimaan negara cenderung naik dari tahun ke tahun. Bahkan DKI Jakarta memiliki BUMD yang bergerak di industri minuman beralkohol. Faktanya, hal ini menujukan bahwa negara mengandalkan minol sebagai salah satu sumber pendapatan yang selanjutnya dana tersebut digunakan untuk membangun Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H