Mohon tunggu...
Nadine LaRosa
Nadine LaRosa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa aktif Prodi Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Adalah Hak: Sudahkah Anak Penyandang Disabilitas Memperoleh Haknya?

24 Desember 2024   20:41 Diperbarui: 24 Desember 2024   21:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Disabilitas merupakan gangguan jangka panjang yang memengaruhi kemampuan fungsional individu dapat menghambat partisipasi mereka dalam masyarakat. Interaksi dengan beragam hambatan sikap dan lingkungan dapat membuat mereka kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif, sehinggga menghalangi mereka untuk berperan setara dengan orang lain (UNICEF, 2022). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, terdapat 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia, yang merupakan sekitar 8,5% dari total populasi.

Data UNICEF (2023) juga menunjukkan bahwa sekitar 36% anak penyandang disabilitas di Indonesia tidak bersekolah, dan 67% belum mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Masalah ekonomi menjadi salah satu penyebab utama penyandang disabilitas membatalkan niat untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2023) diketahui faktor ekonomi menjadi alasan yang membuat anak tidak dapat melanjutkan pendidikan, memilih sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi anak, atau bahkan memaksa anak penyandang disabilitas untuk berhenti sekolah. Ketidakmerataan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas tidak hanya menghambat pengembangan potensi diri mereka tetapi juga memperburuk lingkaran kemiskinan yang mereka alami. Tanpa pendidikan yang layak, anak penyandang disabilitas kesulitan mengembangkan keterampilan yang mendukung kemandirian ekonomi serta partisipasi aktif dalam masyarakat.

Berdasarkan data UNICEF (2020), hanya 56% anak penyandang disabilitas yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, dibandingkan dengan 95% anak tanpa disabilitas. Kesenjangan ini semakin nyata pada jenjang pendidikan menengah atas, dengan hanya 26% anak penyandang disabilitas yang berhasil menyelesaikannya, sementara 62% anak tanpa disabilitas berhasil menyelesaikan jenjang yang sama. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak universal, belum dapat dinikmati secara merata oleh penyandang disabilitas. Oleh karena itu, penerapan pendidikan inklusi diharapkan dapat memutuskan siklus kemiskinan dan memberdayakan penyandang disabilitas untuk mengembangkan keterampilan yang mendukung kemandirian ekonomi mereka.

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama- sama dengan peserta didik pada umumnya (Kemendikbud,2022). Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang menggabungkan layanan pendidikan luar biasa  dengan pendidikan reguler dalam satu kesatuan sistem atau penempatan siswa dengan kebutuhan khusus di sekolah umum. Dengan pendekatan ini, semua anak penyandang disabilitas dapat bersekolah di sekolah terdekat yang mampu menampung keberagaman siswa (Baharun, H., & Awwaliyah, R. (2018).

Pendidikan ini dirancang untuk mengakomodasi seluruh anak tanpa diskriminasi berdasarkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, atau faktor lainnya. Pendidikan ini harus menerima semua anak termasuk anak penyandang disabilitas, anak jalanan, anak dari wilayah terpencil, serta anak dari kelompok minoritas atau komunitas yang terpinggirkan (Nurfadhillah, 2023). Melalui pendidikan inklusif, anak penyandang disabilitas dapat diarahkan menuju kehidupan dewasa yang aktif sebagai bagian dari masyarakat. Pendidikan ini dapat membantu mereka mengembangkan kemampuan untuk mencapai kemajuan akademis dan fisik sesuai dengan potensi diri masing-masing, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara menyeluruh (Tomko, 1996).

Saat ini, masih terdapat berbagai tantangan dalam penerapan pendidikan inklusif. Banyak orang tua, guru, dan masyarakat umum yang masih kurang memahami pendidikan inklusif. Ketidaktahuan ini dapat menghambat dukungan terhadap inisiatif pendidikan inklusif dan menciptakan stigma negatif terhadap siswa penyandang disabilitas. Anak penyandang disabilitas sering dianggap "berbeda" dan tidak sesuai dengan norma masyarakat, sehingga mereka mengalami penolakan, perundungan, pengucilan, bahkan kekerasan fisik (Nursholichah, Mufarrohah, & Setyo, 2024). Hal ini dapat diartikan sebagai marginalisasi sosial dimana  anak penyandang disabilitas dianggap memiliki keterbatasan dalam berpartisipasi penuh di masyarakat, baik akibat hambatan fisik (misalnya infrastruktur yang tidak aksesibel), hambatan komunikasi (kesulitan dalam memperoleh informasi), maupun hambatan sosial (stigma dan diskriminasi yang menghalangi partisipasi dalam pendidikan dan pekerjaan).

Marginalisasi sosial memiliki dampak yang besar termasuk rasa insecure, malu, hingga gangguan kecemasan akibat tekanan sosial (Fahrul & Ahmad, 2023). Gangguan ini diartikan sebagai hilangnya atau ketidaknormalan pada struktur tubuh atau fungsi fisiologis (termasuk fungsi mental), dimana ketidaknormalan digunakan untuk berarti variasi signifikan dari norma statistik yang ditetapkan (World Health Organization, 2013). Selain itu, dampak lainnya adalah anak penyandang disabilitas sering kali menghadapi kesulitan dalam memahami dan mengelola emosi, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Setyawan et al., 2020). Marginalisasi ini bukan hanya persoalan individu, tetapi juga merupakan masalah struktural yang memerlukan solusi komprehensif (Nursholichah, Mufarrohah, & Setyo, 2024).

Masyarakat memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendukung implementasi pendidikan inklusif. Sayangnya, masih banyak anggapan keliru yang berkembang mengenai anak penyandang disabilitas. Mereka sering dipandang sebagai individu yang "berbeda" dan tidak mampu berkontribusi seperti anak-anak lainnya. Akibatnya, stigma dan diskriminasi terhadap anak penyandang disabilitas menjadi hambatan utama dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif. Edukasi masyarakat bertujuan untuk mengubah pola pikir ini dengan memberikan pemahaman bahwa setiap anak, termasuk anak penyandang disabilitas, memiliki potensi untuk berkembang jika diberikan kesempatan dan dukungan yang memadai.

Edukasi masyarakat memiliki dampak yang signifikan dalam menciptakan lingkungan inklusif. Dengan meningkatnya pemahaman tentang pendidikan inklusif, masyarakat akan lebih menerima keberagaman dan mendukung anak penyandang disabilitas untuk berkembang. Hal ini juga dapat mengurangi kasus diskriminasi, perundungan, dan pengucilan yang kerap dialami oleh anak penyandang disabilitas. Selain itu, edukasi masyarakat dapat menumbuhkan bibit kolaborasi yang lebih erat antara keluarga, sekolah, dan komunitas dalam mewujudkan pendidikan inklusif.

Pada sisi lain, dalam sistem pendidikan inklusif, keberhasilan implementasi juga melibatkan kolaborasi antar berbagai pihak, termasuk guru pendidikan luar biasa, guru pendidikan umum, dan tenaga kependidikan lainnya, untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, mendukung pembelajaran, serta memastikan partisipasi seluruh siswa (Kemendikbud, 2024). Melalui langkah-langkah ini, pendidikan inklusif diharapkan dapat terwujud serta menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi ketimpangan akses pendidikan sekaligus mendukung pemberdayaan dan kemandirian anak penyandang disabilitas di Indonesia.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun