Mohon tunggu...
Nadine Ayu Meishandra
Nadine Ayu Meishandra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Brawijaya

Mahasiswi Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Upaya Pemulihan Ekosistem yang Rusak Akibat Shark Finning

2 Juni 2021   10:23 Diperbarui: 2 Juni 2021   10:31 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Vova Krasilnikov (Pexels.com)

Tahukah kamu? Bahwa Shark Finning atau biasa disebut perburuan hiu, dimulai sejak era 1970-an dan Indonesia adalah salah satu penyuplai sekitar 14% dari kebutuhan sirip hiu di dunia antara tahun 1998 hingga tahun 2002. Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk dikonsumsi, maka tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga semakin meningkat. 

Perburuan ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 metrik ton di tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih dari 10 juta dollar di tahun 1991.

Dapat terlihat dengan jelas bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama dari meningkatnya perburuan hiu. Tak dapat dipungkiri juga bahwa begitu banyaknya permintaan dari para konsumen, khususnya bagi penikmat kuliner yang berbahan dasar sirip hiu menjadi salah satu faktor dari perburuan sirip hiu. 

Sebagian besar dari sirip hiu ini dikonsumsi oleh para penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan ada juga sebagian restoran yang menyediakan masakan Cina kelas atas. 

Sebenarnya ikan hiu termasuk dalam kategori ikan yang serbaguna dibandingkan dengan ikan jenis lainnya. Karena hampir semua bagian dari tubuhnya dapat dimanfaatkan mulai dari ujung kepala hingga ujung ekornya, termasuk organ dalamnya. 

Namun bagian terpenting dan yang sering dijadikan sebagai bahan incaran orang-orang, yaitu bagian yang mempunyai nilai ekonomi tertinggi diantaranya adalah bagian sirip dan hati dari ikan hiu. Nilai ekonomi tinggi ini lah yang dianggap sesuatu hal yang menjanjikan bagi para nelayan untuk terus melakukan perburuan hiu.

Namun, hal yang sering terjadi dan ditemui akibat dari kegiatan perburuan sirip hiu ini adalah banyaknya mayat ikan hiu yang membusuk di dasar perairan laut. 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bagian sirip ikan hiu merupakan salah satu dari bagian yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran, serta adanya permintaan dari para konsumen kuliner sirip hiu tersebut lah yang menjadi faktor terbesar peristiwa ini terjadi. 

Akibat praktek ini, sisa pembuangan (mayat) daging ikan hiu yang hilang bagian siripnya terus terjadi di seluruh perairan dunia. Populasi ikan hiu di alam liar pun mengalami penurunan pesat, sesuai dengan yang dapat dilihat dari seberapa banyak hasil tangkapan ikan hiu di setiap tahunnya. Penurunan populasi hiu ini akhirnya berdampak pada ekosistem perairan. 

Walaupun ikan hiu termasuk dalam apex predator, yang artinya mereka menduduki pada tingkat puncak rantai makanan. Ikan hiu tetap memiliki peran yang sangat penting bagi ekosistem perairan dan seluruh isinya, yaitu sebagai penyeimbang di dalam kehidupan laut. 

Dengan demikian, kegiatan perburuan hiu ini sama saja dengan mengganggu keseimbangan dalam kehidupan laut atau pun merusak ekosistem perairan dengan seluruh isi-isinya.

Menurut PERMEN-KP No.5 Tahun 2018, disebutkan dua spesies hiu yang tidak lagi diperbolehkan untuk diperjual-belikan atau dijadikan sasaran perburuan, ini dikarenakan jumlah spesiesnya yang menipis hingga termasuk dalam kategori terancam punah. 

Kedua spesies tersebut adalah hiu koboi dan hiu martil. Adapun menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), terdapat tiga jenis hiu (hiu putih, hiu martil, dan hiu martil besar) yang jumlah populasinya telah menurun tajam. 

Spesies tersebut sekarang telah diklasifikasikan terancam punah dengan kategori ancaman tertinggi, serta 24 dari 31 jenis hiu yang diteliti saat ini sedang dalam diambang kepunahan. 

Padahal sudah terdapat beberapa peraturan yang mengatur dan melarang adanya penangkapan hiu, bahkan seharusnya kita melindungi mereka. Salah satu dari isi peraturan untuk melarang penangkapan hiu dan perlindungan hiu tertera dalam UU yang meliputi beberapa jenis hiu, seperti hiu martil (Sphyrna leweni), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu gergaji (Pristis microdon), hiu paus (Rhyncodon typus), dan hiu monyet/cucut pedang (Alopias pelagicus).

Sekarang dapat diketahui bahwa ikan hiu berperan sebagai predator puncak dalam rantai makanannya menjadi penyeimbang dalam suatu ekosistem perairan, namun populasinya kini kian menurun akibat penangkapan berlebihan. 

Untuk itu perlu adanya regulasi nasional untuk membatasi penangkapannya. Terdapat beberapa cara dan upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi peristiwa yang terjadi ini. Upaya yang akan dibahas kali ini, yaitu dengan cara konservasi dan juga sosialisasi terkait larangan penangkapan dan perburuan hiu.

Upaya dengan Konservasi Jenis

Sebelumnya, konservasi sendiri memiliki tiga jenis. Ketiga jenis diantaranya terdiri atas Konservasi Ekosistem, Konservasi Jenis, dan Konservasi Genetik. 

Dalam hal ini, jenis konservasi yang akan digunakan yaitu Konservasi Jenis, dimana jenis ikan yang khusus atau ditujukan adalah ikan hiu. Tujuan dari konservasi jenis ikan ini adalah sebagai berikut :

  • Melindungi jenis ikan yang terancam punah
  • Mempertahankan keanekaragaman jenis ikan tersebut
  • Memelihara keseimbangan dan kestabilan ekosistem perairan
  • Memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Adapun sebelum dilakukannya konservasi jenis ikan, mereka juga memiliki kriteria yang perlu dipenuhi. Kriteria untuk jenis ikan yang dilindungi diantara adalah sebagai berikut :

  • Terancam punah
  • Langka
  • Daerah penyebaran yang terbatas
  • Terjadinya penurunan populasi secara drastis
  • Tingkat kemampuan reproduksi rendah

Dalam rangka konservasi ini juga memiliki misi dalam berprogram, lebih tepatnya Program Konservasi Pengelolaan Ikan Hiu. Dengan adanya program tersebut, mereka bertujuan untuk :

  • Mendorong adanya regulasi khusus tentang perikanan hiu secara nasional
  • Menyusun dan dapat mengimplementasikan Rencana Aksi Pengelolaan atau National Plan Of Action (NPOA)
  • Menghindari ancaman kepunahan spesies
  • Memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional, yang terkait isu konservasi ikan hiu.

Upaya dengan Sosialisasi

Sosialisasi dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pemburu ikan hiu. Ada beberapa jenis ikan hiu yang dilarang untuk ditangkap dan jelas terdapat di undang-undang yang berlaku. 

Oleh sebab itu, pemerintah perlu bekerjasama dengan komunitas khusus pemberdayaan laut agar program sosialisasi kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik. Sosialisasi dapat diberikan berupa materi, konservasi, ataupun dengan cara memberikan solusi alternatif pengganti sirip hiu. 

Solusi alternatif tersebut dapat berupa olahan makanan sebagai imitasi dari sirip hiu yang terbuat dari gelatin atau agar-agar yang rasa dan teksturnya tidak kalah mirip dengan aslinya dan tentu dapat menambah pemasukan produsen. 

Selain ramah lingkungan, sirip ikan hiu imitasi ini harganya juga lebih terjangkau dan lebih sehat karena tidak dibuat dari bahan hewani (produk vegetarian). Diharapkan dengan adanya olahan makanan imitasi dari sirip hiu ini dapat menggantikan sirip ikan hiu aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun