Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Nama :Nadine Arzita Salim
NIM : 43221010092
Kampus : Universitas Mercu Buana
Untuk memenuhi Tugas Besar 2 saya di Universitas Mercu Buana, disini saya akan memberikan penjelasan mengenai Pencegahan Korupsi dan Kejahatan Pendekatan Paideia yang diharapkan mampu dipahami oleh para pembaca.
Apa Itu Korupsi ?
Kata "Korupsi" berasal dari bahasa latin "Coruptio" (Fackema Andrea : 1951) atau "Corruptus" (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa "Corruption" berasal dari kata "Corrumpere", suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut kemudian dikenal istilah "Corruption, Corruptie" (Inggris), "Corruption" (Perancis) dan "Corruptie/Korruptie" (Belanda).Â
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian . Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah "kejahatan, keburukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran" (S. Wojowasito -- Wjs Poerwadarminta : 1978).Â
Pengertian lainnya "Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang penerimaan uang sogok, dan sebagainya" (WJS Poerwadarminta : 1976).Â
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, di sebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :Â
- 1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekua-saan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;Â
- 2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya, danÂ
- 3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Â
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut; sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur peme-rintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, mengangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Pengertian Korupsi Berdasarkan Para Ahli
Berikut ini merupakan sejumlah pengertian korupsi menurut para ahli. Nah, apa saja itu? Yuk kenali penjelasan lengkapnya di bawah ini.
1. Syed Hussein Alatas
Dalam buku "Corruption and the Disting of Asia" menyatakan bahwa tindakan yang bisa dikategorikan korupsi yaitu penyuapan, nepotisme, pemerasan, dan penyalahgunaan kepercayaan maupun jabatan untuk kepentingan pribadi seseorang.
2. Robert Klitgaard
Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan negara sebab keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, dan lainnya) atau melanggar aturan pelaksanaan sejumlah tingkah laku pribadi.
3. Jeremy Pope
Korupsi melibatkan perilaku dipihak para pejabat sektor publik. Dimana, mereka secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri maupun orang yang dekat dengannya untuk melakukan penyalahgunaan wewenang yang dipercayakannya kepada mereka.
4. Nurdjanah
Korupsi merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yakni corruptio yang artinya perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, bisa disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental, dan hukum.
5. Mubrayanto
Korupsi yaitu suatu masalah politik lebih dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan atau legitimasi pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik, dan para pegawai pada umumnya. Akibat yang muncul dari korupsi ini berupa berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.
Penyebab Faktor Korupsi di Indonesia
- 1. Perilaku individuÂ
Jika dilihat dari sudut pandang pelaku korupsi, karena koruptor melakukan tindakan korupsi dapat berupa dorongan internal dalam bentuk keinginan atau niat dan melakukannya dengan kesadaran penuh. Seseorang termotivasi untuk melakukan korupsi, antara lain karena sifat rakus manusia, gaya hidup konsumtif, kurangnya agama, lemahnya moralitas dalam menghadapi godaan korupsi, dan kurangnya etika sebagai pejabat. Menurut UndangUndang No. 20 Tahun 2001 jo Undang Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi dilakukan karena dipaksakan karena tidak memiliki uang untuk memenuhi kehidupan sehingga korupsi menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tetapi, sangat irasional jika pejabat negara tidak memiliki uang karena pada kenyataannya pejabat pemerintah dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi sekitar puluhan juta rupiah dan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan. Penyebab sebenarnya adalah kepuasan dengan gaji, kepuasan gaji didasarkan pada gagasan bahwa seseorang akan puas dengan gajinya ketika persepsi gaji dan apa yang mereka anggap tepat.
- 2. Faktor keluargaÂ
Masalah korupsi biasanya dari keluarga. Biasanya itu terjadi karena tuntutan isteri atau memang keinginan pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan posisi dia duduk sebagai ladang untuk memuaskan kepentingan pribadi keluarganya. Keluarga harus menjadi benteng tindakan korupsi, tetapi kadang-kadang penyebab korupsi sebenarnya berasal dari keluarga. Jadi, keluarga sebenarnya bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh suami atau kepala rumah tangga. Karena itu, keluarga sebenarnya ada di dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif. Jika keluarga adalah pendorong korupsi, keluarga berada di sisi negatif, sedangkan jika keluarga menjadi benteng tindakan korupsi, keluarga berada di sisi positif dan ini merupakan faktor yang sangat penting dalam mencegah korupsi.Â
- 3. PendidikanÂ
Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual. Pejabat ratarata yang terjebak dalam kasus korupsi adalah mereka yang berpendidikan tinggi, pendidikan tinggi seharusnya membuat mereka tidak melakukan korupsi, seperti yang dikatakan Kats dan Hans bahwa peran akademisi tampaknya masih paradoks. Memang pada kenyataannya para pelaku tindak pidana korupsi adalah para intelektual yang sebelum melakukan tindakannya telah melakukan persiapan dan perhitungan yang cermat sehingga mereka dapat memanipulasi hukum sehingga kejahatan tersebut tidak terdeteksi.
 Meskipun dalam konteks universal, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Oleh karena itu, rendahnya tingkat pemahaman tentang pendidikan sebagai langkah untuk memanusiakan manusia, pada kenyataannya lebih jauh melahirkan para kerdil yang berpikiran kecil dan mereka sibuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan kepentingan bangsa. Karena alasan ini, pendidikan moral sangat dibutuhkan sejak dini untuk meningkatkan moral generasi bangsa ini.Â
- 4. Sikap kerja
 Tindakan korupsi juga bisa datang dari sikap bekerja dengan pandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dapat melahirkan uang. Biasanya yang ada dalam pikiran mereka sebelum melakukan pekerjaan adalah apakah mereka akan mendapat untung atau tidak, untung atau rugi dan sebagainya. Dalam konteks birokrasi, pejabat yang menggunakan perhitungan ekonomi semacam itu pasti tidak akan menyatukan manfaat. Sebenarnya yang terjadi adalah bagaimana masingmasing pekerjaan bertujuan menghasilkan keuntungan sendiri.
- 5. Hukum dan peraturanÂ
Tindakan korupsi akan dengan mudah muncul karena undang-undang dan peraturan memiliki kelemahan, yang meliputi sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan sembarangan, lemahnya bidang revisi dan evaluasi legislasi. Untuk mengatasi kelemahan ini di bidang revisi dan evaluasi, pemerintah mendorong para pembuat undang-undang untuk sebelumnya mengevaluasi efektivitas undang-undang sebelum undang-undang dibuat. Sikap solidaritas dan kebiasaan memberi hadiah juga merupakan faktor penyebab korupsi. Dalam birokrasi, pemberian hadiah bahkan telah dilembaga kan, meskipun pada awalnya itu tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan. Lembaga eksekutif seperti bupati/ walikota dan jajarannya dalam melakukan tindak korupsi tidak melakukannya sendiri, tetapi ada persekongkolan dengan pengusaha atau kelompok kepentingan lain, seperti dalam menentukan tender pengembangan wirausaha ini. Walikota, setelah terpilih kemudian mereka bersama dengan DPRD, bupati/walikota membuat kebijakan yang hanya mengun-tungkan kolega, keluarga atau kelompok mereka.Â
- 6. Faktor pengawasanÂ
Pengawasan dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal yang dilakukan langsung oleh pimpinan dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh instansi terkait, publik dan media. Pengawasan oleh lembaga terkait bisa kurang efektif karena ada beberapa faktor, termasuk pengawas yang tidak profesional, pengawasan yang tumpang tindih di berbagai lembaga, kurangnya koordinasi antara pengawas, pengawas yang tidak patuh pada etika hukum atau etika pemerintah. Hal ini menyebabkan pengawas sering terlibat dalam praktik korupsi. Padahal pengawasan eksternal oleh masyarakat dan media juga masih lemah. Untuk alasan ini, diperlukan reformasi hukum dan peradilan serta dorongan dari masyarakat untuk memberantas korupsi dari pemerintah. Semakin efektif sistem pengawasan, semakin kecil kemungkinan korupsi akan terjadi. Sebaliknya, jika korupsi benar-benar meningkat, itu berarti ada sesuatu yang salah dengan sistem pemantauan.
- 7. Faktor politikÂ
Praktik korupsi di Indonesia dilakukan di semua bidang, tetapi yang paling umum adalah korupsi di bidang politik dan pemerintahan. Menurut Daniel S. Lev, politik tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum, tetapi terjadi sesuai dengan pengaruh uang, keluarga, status sosial, dan kekuatan militer. Pendapat ini menunjukkan korelasi antara faktor-faktor yang tidak berfungsi dari aturan hukum, permainan politik, dan tekanan dari kelompok korupsi yang dominan. Penyalahgunaan kekuasaan publik juga tidak selalu untuk keuntungan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan kelas, etnis, teman, dan sebagainya. Bahkan, di banyak negara beberapa hasil korupsi digunakan untuk membiayai kegiatan partai politik.
Praktik politik kotor tentu menghasilkan banyak masalah baru bagi kegagalan memberantas korupsi. Karena politik yang kotor ini adalah penyebab tindak korupsi baik yang rendah, sedang maupun besar. Tentu saja, bagaimana hal itu akan melahirkan negara yang beradab, sementara praktik politik yang kotor telah menyebar di mana-mana, baik di atas maupun di bawah telah memberikan kontribusi buruk bagi bangsa-bangsa.Â
Bagaimana Cara Mencegah Tindakan Korupsi
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.Â
BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :Â
1. Strategi PreventifÂ
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:Â
- 1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;Â
- 2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnyaÂ
- 3) Membangun kode etik di sektor publik ;Â
- 4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.Â
- 5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.Â
- 6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri ;Â
- 7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;Â
- 8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;Â
- 9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN)Â
- 10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;Â
- 11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;Â
2. Strategi DetektifÂ
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan :Â
- 1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;Â
- 2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;Â
- 3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;Â
- 4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ;Â
- 5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;Â
- 6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.Â
3. Strategi RepresifÂ
Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan :Â
- 1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;Â
- 2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);Â
- 3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ;Â
- 4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;Â
- 5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ;Â
- 6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ;Â
- 7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;Â
- 8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.Â
Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).Â
Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing.Â
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki 'keterbatasan' dan mengandung beberapa 'kelemahan' (sisi negatif ) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara 'subsidair'. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :Â
* dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi);Â
* dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi;Â
* sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan;Â
* penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan 'kurieren am symptom' (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana;Â
* hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;Â
* sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional;Â
* efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan oleh para ahli. Â
Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan KorupsiÂ
Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC : 2004) .Â
1. Pembentukan Lembaga Anti-KorupsiÂ
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia dengan nama Justitieombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman --yang kemudian berkembang pula di negara lain--antara lain menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan pegawainya. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Indonesia sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Â
2. Pencegahan Korupsi di Sektor PublikÂ
Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan MasyarakatÂ
Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan. Â
4. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.Â
Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau Pencucian Uang. Selain itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur. Pasalpasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen atau dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau code of conduct yang ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
5. Monitoring dan EvaluasiÂ
Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau program yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya.
6. Kerjasama InternasionalÂ
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs. Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency Internasional (TI) misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for Integrity. Â
Apa Itu Paideia?
Paideia mengacu pada membesarkan dan mendidik anggota ideal dari polis atau negara Yunani kuno. Cita-cita pendidikan ini kemudian menyebar ke dunia Yunani-Romawi pada umumnya, dan disebut humanitas dalam bahasa Latin. Paideia dimaksudkan untuk menanamkan kebajikan aristokrat pada pemuda warga negara yang dilatih dengan cara ini.Â
Dalam budaya Yunani kuno, istilah paideia (juga disebut paedeia) (/pade/;[1] bahasa Yunani: , paidea) merujuk kepada pendidikan anggota ideal dari polis. Ini memadukan pelajaran berbasis subyek terapan dan fokus pada sosialisasi para individual dalam tatanan arsitokrasi dari polis.
Filsafat politik Platon menawarkan pendidikan sebagai kunci untuk mereformasi masyarakat. Pendidikan sebagai pembudayaan (paideia) mengorientasikan hasrat anak-anak yang berbakat menjadi pemimpin ke arah Kebaikan. Pada usia dini, dimensi pra-rasional diolah lewat musik dan gimnastik supaya calon pemimpin memiliki kepekaan pada harmoni (yang indah dan baik). Setelah hasrat terbentuk, kurikulum selanjutnya adalah pendidikan ilmu-ilmu teoretik dan seni berdiskusi. Paideia adalah jalan klasik guna mereformasi tatanan politik. Paideia menyiapkan munculnya figur pemimpin yang bisa menyedot banyak orang guna mengikuti keteladanannya. Di tengah iklim priyayi despotik yang menyelinap lewat ideologi keras agama yang mengancam bangsa ini, paideia adalah upaya kultural di mana lewat pintu paternalisme kita hendak merawat demokrasi.Â
Konsep Paideia
Konsep paideia sebagai konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang beradab, menurut Russel (1961: 76-77), dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh perubahan masyarakat Athena-Yunani setelah terjadinya perang persia. Perubahan konsep pendidikan yang tampak pada karakter kaum Sophis yang menggunakan metode retorika diatas didasari oleh pemaknaan konsepsi Gorgias atas logos sebagai pidato. Hal tersebut berbeda sekali dengan pemahaman kelompok akademia plato yang memakai logos sebagai akal budi (Samho, 2008: 7)
Konsep Paideia sebagai dasar dari humanisme Yunani Kuni jelas jelas mempersoalkan nilai-nilai kemanusiaan. Paideia sebagai dasar humanisme Yunani Kuno tersebut dapat menjadi penegasan manusia abad ini untuk mengingatkan bahwa nilai-nilai pedagogik (pendidikan) tanpa menyertakan dan berpihak pada subjek (manusia) sebagai perhaiannya adalah non-sense. Humanisme Yunani Kuno memang tak lepas dari subjek peradabannya, yakni budaya Yunani, namun nilai-nilai pendidikan pada paideia sebagai akar dari humanisme Yunani Kuno tentu juga harus diletakkan pada universalitas nilainya. Menjadi manusia dengan memanusiakan manusia adalah humanisme itu sendiri, yang memang perlu pembandingnya (anti humanisme) untuk terus bertahan pada tujuan awalnya. Tanpa adanya kontra konsepsi, maka humanisme akan selalu menghadapi bahaya kesombongan.
CITASI :
Korupsi Kolektif (Korupsi Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum
KORUPSI PERBUATAN TINDAK PIDANA YANG MERUGIKAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H