Mohon tunggu...
Nadine AgathaPutri
Nadine AgathaPutri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi di Universitas Negeri Semarang

Mahasiswi ekonomi pembangunan yang memiliki minat menulis konten yang berkaitan dengan ekonomi dan bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Kelembagaan: Sebuah Kritik dan Relevansi

30 November 2023   12:30 Diperbarui: 30 November 2023   12:31 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keberadaan aliran ekonomi kelembagaan (Institutional Economics) merupakan reaksi dari rasa ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran ekonomi klasik. Salah satu aliran Kelembagaan yang menarik untuk dibahas salah satunya yaitu  Aliran Kelembagaan Lama (Old Institutional Economics atau OIE) yang menjadi sorotan karena mengacu pada sistem ekonomi tradisional yang masih didasarkan pada tradisi, adat istiadat, dan norma sosial yang tidak bergantung secara signifikan pada pasar atau mekanisme ekonomi modern. Salah satu tokoh sentral dalam kelembagaan lama adalah Thorstein Bunde Veblen. Veblen mengembangkan konsep “conspicuous consumption” atau bisa disebut Teori Konsumsi Mencolok yang menyoroti perilaku individu dalam membeli dan menggunakan barang atau jasa mahal sebagai cara untuk menunjukkan status sosial dan kekayaan mereka kepada orang lain. Dalam pandangan veblen, masyarakat evolusioner terus berubah, dan kegiatan ekonomi mencerminkan nilai-nilai, norma-norma, dan budaya yang terbentuk dalam “institusi”. Veblen menunjukkan bahwa kegiatan konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan fungsional, tetapi juga ada dorongan untuk menunjukkan status sosial.

Pada pemikiran Veblen yang menyoroti perilaku konsep mengenai conspicuous consumption yang menggaris bawahi konsumsi sebagai kebutuhan dalam konteks penghargaan. Sedangkan konsumsi manusia identik dengan kebutuhan sebagai aktualisasi diri. Veblen masih menekankan kepada konsep konsumsi yang seseorang perlu validasi di depan umum bahwa seseorang tersebut memiliki kekuatan ekonomi, yang hal ini ditunjukkan dalam bentuk konsumsi seseorang tersebut yang tidak produktif. Teori konsumsi mencolok yang kegiatan konsumsinya pada tingkatan kedua tidak diimbangi dengan pendapatan relatif seseorang. Kritik pada teori ini muncul pada teori pendapatan relatif yang dikemukakan oleh Dusenberry, bahwa konsumsi sebenarnya bukan terletak pada status sosial, atau membeli barang mewah. Namun, konsep konsumsi aktualisasi diri maksudnya merupakan membandingkan konsumsi mereka dengan konsumsi orang lain dalam suatu kelompok mereka sendiri. Hal ini pengaruh iklan dan media lah yang membuat seseorang menjadi melakukan konsumsi yang tidak produktif, dan yang akhirnya menimbulkan status sosial.

Pada teori konsumsi ini juga menimbulkan berbagai kritikan, salah satunya adalah teori ini mengasumsikan bahwa kegiatan konsumsi mencerminkan nilai-nilai, norma, dan budaya yang ada dalam "institusi" masyarakat evolusioner. Namun, nilai, norma, dan budaya masyarakat dapat berubah seiring waktu. Misalnya, semakin banyak orang yang menganut nilai-nilai minimalis atau keberlanjutan dalam konsumsinya. Masyarakat yang menganut budaya minimalis dalam berkonsumsi mungkin tidak akan setuju dengan teori ini, sebab mereka lebih memilih berhemat dalam berkonsumsi dan berinvestasi. Daripada harus membelanjakan uang mereka untuk memenuhi status sosialnya. Oleh karena itu, teori ini mungkin tidak lagi relevan atau mungkin hanya berlaku untuk sebagian masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai dan norma yang dipertahankan dalam teori ini.

Dalam konsep "conspicuous consumption" terutama mencakup kecenderungan untuk menggeneralisasi perilaku konsumtif sebagai satu-satunya upaya untuk menunjukkan status sosial. Veblen menyoroti bagaimana individu dalam masyarakat cenderung membeli dan menggunakan barang atau jasa mahal sebagai simbol status dan kekayaan. Namun, pendekatan ini terlalu bersifat monolitik dan tidak mempertimbangkan variasi kompleks dalam motif konsumtif individu. Perilaku konsumtif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, nilai-nilai pribadi, dan preferensi estetika. Hal ini menunjukkan bahwa Veblen mungkin terlalu fokus pada aspek-aspek materialistik dan kompetitif dari konsumsi, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya yang juga dapat berperan penting. Misalnya, beberapa individu mungkin lebih memprioritaskan kepuasan spiritual, kebutuhan ekspresif, atau hubungan interpersonal daripada menunjukkan status sosial melalui barang-barang material. Dalam hal ini mencerminkan keprihatinan bahwa pendekatan yang terlalu menyederhanakan kompleksitas perilaku konsumtif dapat menghasilkan generalisasi yang kurang akurat dan tidak merepresentasikan keberagaman motivasi individu. 

Teori Konsumsi Mencolok yang dikembangan oleh Veblen memiliki relevansi dengan kondisi saat ini di Indonesia. Di mana relevansinya dapat dilihat dari kebiasaan konsumsi suatu individu atau kelompok yang dapat menunjukkan status sosial atau kekayaan mereka. Dalam hal ini misalnya konsumsi barang mewah seperti mobil, pakaian bermerk, atau gaya hidup yang terlihat mewah. Hal ini seringkali menjadi cara bagi suatu individu atau kelompok untuk menunjukkan status sosial atau keberhasilan ekonomi mereka kepada orang lain. Namun, perilaku konsumsi di Indonesia saat ini juga mengalami perubahan. Munculnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, termasuk upaya untuk mengurangi pemborosan dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dari adanya pola konsumsi suatu individu atau kelompok. Sehingga ini dapat menunjukkan bahwa adanya pergeseran nilai dan pandangan terhadap konsumsi serta kesadaran akan isu-isu lingkungan untuk mempertimbangkan keputusan konsumsi. 

Konsep "kelembagaan lama" dalam teori Veblen menggambarkan bagaimana tradisi, norma, dan kebiasaan dalam masyarakat memengaruhi cara individu berinteraksi dalam ranah ekonomi. Dalam konteks ini, relevansinya terletak pada pemahaman bahwa kelembagaan lama tidak selalu cocok dengan perubahan zaman. Pemikiran ini mendorong perlunya adaptasi institusi dan norma yang ada agar sesuai dengan dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang. Dengan demikian, konsep Veblen tentang kelembagaan lama memberikan wawasan terhadap peran institusi dan norma dalam menghadapi perubahan zaman serta kemampuan adaptasi yang diperlukan dalam mengatasi tantangan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun