Mohon tunggu...
Nadine Abigail
Nadine Abigail Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Sistem Informasi Universitas Airlangga

Saya merupakan mahasiswa yang memiliki ketertarikan tinggi akan isu-isu mengenai kesehatan mental dan teknologi. Saya ingin menggunakan media yang ada saat ini untuk menyuarakan akan awareness mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Fenomena Sosial Terbaru: Self-Diagnose Berdasarkan Konten Media Sosial

11 Mei 2023   16:00 Diperbarui: 11 Mei 2023   16:06 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia berhasil membuat dunia baru hanya dengan modal internet. Ya, dunia tersebut dinamakan dengan media sosial. Tempat abstrak di mana orang diperkenankan berekspresi tanpa batas untuk mencari keuntungan atau keributan. 

Memang, media sosial hadir untuk mempermudah kehidupan dalam hal bersosialisasi, ekonomi, politik, bahkan budaya. Namun, kita tidak dapat menyangkal bahwa manusia pasti akan menyalahgunakan platform yang didasari oleh kebebasan ini. Kebebasan ini dibawa jauh oleh beberapa pengguna media sosial yang dengan mudahnya mempublikasikan konten tanpa dasar yang kuat dan tidak faktual. Selain itu, kebebasan dalam media sosial juga diartikan sebagai kebebasan dalam menerima segala informasi yang ada tanpa memastikan kebenarannya. 

Pada artikel ini, saya akan membahas mengenai self-diagnose berdasarkan konten media sosial yang memaparkan gejala penyakit mental tertentu. Keputusan untuk self-diagnose ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu, pembuat konten dan penonton konten.

Dari Sisi Pembuat Konten

Menampilkan Gejala yang Kurang Spesifik

Coba kita umpakan dengan satu klausa, 'Adik tidur'. Apa yang ada dalam pikiran Anda? Apakah adik sedang tertidur di kasur? Atau adik tertidur di bioskop karena film yang membosankan? Atau adik tertidur di UKS karena sedang sakit? Tentu, tiga konteks ini tidak salah dan tidak benar juga karena informasi yang diberikan kurang jelas. Anda akan berasumsi ketiga konteks di atas adalah benar karena intinya yaitu adik tidur. Anda akan terus mempertahankan hal yang dianggap benar sampai mendapat fakta lanjutannya.

Sama dengan konten media sosial akan tanda-tanda penyakit mental yang telah banyak beredar. Saat Anda buka salah satu media sosial seperti Tik Tok dan mengetik "Gejala ADHD", akan muncul beberapa video yang menampilkan gejala terlalu umum. Salah satu contohnya yaitu, pengidap ADHD (Attention Deficit or Hyperactivity Disorder) dikatakan sulit untuk menentukan pilihan atau indecisive. Hal ini mungkin merupakan faktor kecil seseorang memiliki ADHD. 

Namun, bagaimana jika orang yang sedang membaca unggahan tersebut sedang memiliki banyak pikiran sehingga sulit untuk membulatkan keputusan? Bagaimana jika orang yang sedang membaca unggahan tersebut sedang mengalami dilema berat sehingga keputusan yang diambil nantinya akan mengorbankan satu hal yang besar? Jika orang-orang ini sedang dalam kondisi yang vulnerable, bisa saja mereka langsung membuat diagnosis bahwa mereka mengidap ADHD. 

Ini baru satu saja contoh gejala yang kurang spesifik. Salah satu gejala bipolar menurut media sosial adalah banyak makan, gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder) adalah tidak percaya diri, dan rentan marah dapat dikatakan sebagai gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).

Gejala-gejala kurang spesifik yang diberikan lewat konten media sosial memiliki kemungkinan yang berakhiran orang tersebut memang mengidap penyakit mental yang diterangkan. Pertanyaannya, bagaimana cara mengetahui jika kesesuaian gejala itu betul-betul relevan dengan penyakit mental yang sedang diberitakan? Bagaimana cara pembuat konten ini memastikan para penonton tidak melakukan self-diagnose?

Tidak salah untuk para content creator ini menyebarkan awareness akan kesehatan mental. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah outcome dari konten yang terbagi menjadi dua: penonton yang akan langsung self-diagnose karena memiliki kesesuaian dengan gejala yang sangat umum tersebut atau penonton yang melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada psikolog baru bisa mendapatkan hasil diagnosisnya. Sayangnya, para pembuat konten tidak bisa memastikan outcome yang kedua. 

Hal yang paling tepat dilakukan adalah sikap preventif yaitu lebih bijak saat membuat konten dan meyakinkan para penonton untuk konsultasi terlebih dahulu. Jangan hanya mementingkan views dan likes, karena penyakit mental bukan sesuatu yang sepele.

Dari Sisi Penonton Konten

Tidak Menyaring Informasi dengan Bijak

Salah satu keunggulan dari media sosial adalah aksesibilitas. Anda dapat membuka media sosial kapanpun dan dimanapun asalkan ada jaringan internet. Akan lebih mudah untuk Anda mencari informasi mengenai penyakit mental melalui media sosial dibandingkan pergi ke psikolog yang tentunya memungut biaya. Kemudian, konten media sosial banyak. Misalkan Anda ingin mengecek kesesuaian kondisi Anda dengan gejala suatu penyakit mental. Anda pasti tidak melihat satu konten saja. 

Jari Anda akan terus menggeser layar hingga melihat cukup konten yang bersesuaian dengan konten pertama. Pada saat inilah Anda membuat keputusan: langsung menyatakan diri bahwa Anda mengidap penyakit mental tersebut atau mencari layanan konsultasi psikolog terdekat.

Mencari Validitas di Tempat yang Salah

Saat sakit, Anda pasti akan pergi ke klinik atau rumah sakit untuk mencari dokter. Tidak mungkin Anda pergi ke kantor polisi dan meminta mereka untuk mengecek kondisi kesehatan Anda. Terkecuali, posisi Anda sudah sangat kritis dan tempat terdekat yang dapat dijangkau adalah kantor polisi. Ujungnya, polisi tersebut juga tetap akan mencari cara untuk menghubungi dokter. Saat Anda merasa bahwa Anda memiliki probabilitas yang tinggi mengidap suatu penyakit mental, datang ke psikolog, bukan ke media sosial. 

Terkecuali, jika Anda hanya penasaran mengenai gejala-gejala penyakit mental tertentu. Media sosial adalah jalan pintasnya. Poin pentingnya adalah jangan mencari validitas di tempat yang salah. Media sosial bukan tempat untuk Anda melakukan diagnosis. Media sosial adalah tempat untuk mencari informasi, hiburan, dan lainnya. Bukan ruangan konsultasi dengan psikolog. Kecuali memang Anda melakukan konsultasi dengan psikolog secara daring dan melakukan komunikasi dua arah.

Mengapa Tidak Boleh Self-Diagnose?

Self-diagnose tidak hanya memberikan dampak negatif bagi diri sendiri, tetapi juga mereka di luar sana yang telah dibuktikan secara psikis sebagai pengidap suatu penyakit mental.

Misalnya, Anda mengeklaim sebagai pengidap depresi. Anda pasti akan membuat batas-batas untuk diri sendiri agar tidak memperburuk kondisi mental. Anda memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga karena merasa bahwa mereka sumber utama kondisi Anda. 

Padahal, keluarga tidak pernah melakukan hal lain selain menyayangi dan mengurus Anda. Ternyata, Anda tidak mengidap depresi. Anda hanya iri dengan keluarga lain yang lebih beruntung secara material. Oleh sebab itu, Anda kehilangan keluarga satu-satunya yang secara tulus menyayangi Anda. Di sisi lain, bisa saja Anda betul mengalami depresi karena keluarga. Namun ingat, kalimat tersebut hanya valid setelah melakukan konsultasi kepada orang yang profesional di bidang tersebut. Melakukan self-diagnose akan merusak kesehatan mental mereka yang sebenarnya baik-baik saja, hanya hanyut dengan omongan media sosial.

Secara tidak langsung, self-diagnose juga merugikan para pengidap penyakit mental yang sesungguhnya. Mereka yang telah konsultasi berulang kali, rutin melakukan pengobatan, bahkan ada beberapa yang kerap mengalami episode manik, mendapatkan perhatian yang sama dengan Anda hanya karena Anda merasa sulit tidur, sulit membuat keputusan, sensitif, dan lainnya. 

Apalagi, jika Anda secara terbuka mengumbarkan klaim penyakit mental Anda di media sosial untuk meminta empati orang lain. Orang-orang yang betul mengidap ini akan merasa diremehkan karena Anda tidak mengalami setengah hal yang mereka lalui, tetapi sudah meminta perasaan iba dari orang lain saja. 

Kesimpulan

Tidak ada salahnya jika Anda mencari informasi akan penyakit mental beserta gejalanya lewat media sosial. Hal yang salah adalah ketika melakukan self-diagnose. Pembuat konten harus lebih peka terhadap konten yang dibuat sehingga tidak merugikan orang lain. Penonton harus lebih bijak dalam menyerap informasi sehingga tidak jatuh ke jalan yang salah. 

Jika Anda merasa bahwa Anda memiliki gejala-gejala suatu penyakit mental, segera lakukan konsultasi ke psikolog. Kesehatan mental Anda sangat penting dan bukan sesuatu yang dapat dimain-mainkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun