bekantan. Jenis primata yang ukurannya mampu mencapai panjang 53-76 centimeter dan berat mencapai 7-22,5 kilogram ini kerap disebut sebagai monyet Belanda lantaran memiliki ukuran hidung yang besar, panjang, dan menggantung. Sering pula disebut pika, bahara bentangan, raseng, dan kahau, bekantan adalah hewan yang gemar memakan pucuk-pucuk daun muda pohon bakau, selain memakan pula jenis buah, bunga, kulit pohon, serangga, dan kepiting.
Ditetapkan pada tahun 2001 dengan luas 9 hektar, sebuah kawasan konservasi yang terletak tepat di jantung kota Tarakan, Kalimantan Utara, menjadi rumah yang nyaman bagi pertumbuhan ribuan pohon mangrove sekaligus fauna endemik khas tanah Borneo, yakniDi lokasi bernama Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan yang sejak tahun 2006 wilayahnya diperluas menjadi 22 hektar, jumlah populasi bekantan tak lebih dari 30 ekor. Jumlah ini terbagi menjadi dua kelompok besar, di mana setiap kelompok mempunyai tetua atau pemimpin bekantan. Menurut petugas KKMB, terdapat dua pemimpin kelompok bekantan di kawasan konservasi ini, yaitu bernama John dan Michael.
Tugas pemimpin kelompok tampak ketika jam makan pagi mereka tiba, di mana petugas KKMB akan mengirim menu sarapan berupa buah pisang muda ke meja makan mereka di tengah hutan bakau yang terbuat dari kayu. Pemimpin kelompok akan makan belakangan, mempersilakan para anggota kelompoknya makan lebih dulu. Sedangkan ia akan menjaga situasi sekitar kalau-kalau terjadi gangguan atau serangan.
Namun, miris nasib bekantan. Rahman Jiebeda, 48, yang menjadi guide kami saat mengunjungi KKMB, bercerita bahwa bekantan masih menjadi sasaran empuk para pemburu. Meski berstatus endangered dan tak boleh diperdagangkan, pemburu masih saja mengincar daging bekantan yang konon menjadi umpan yang efektif untuk berburu labi-labi, sejenis kura-kura berpunggung lunak. Rahman mengatakan, bekantan yang hidup di hutan rawa, rawa gambut, muara pinggir sungai, dan hutan mangrove di wilayah pulau Kalimantan, setidaknya harus menyerah pada tangan-tangan pemburu setiap pekannya dengan jumlah antara 5-10 ekor. Bahkan, hewan-hewan lain seperti makaka dan babi pun turut menjadi incaran.
Tidak hanya di tangan pemburu, bekantan juga harus berjuang hidup melawan aktivitas alih fungsi lahan hutan yang makin marak terjadi. Di tengah penebangan pohon demi memenuhi kebutuhan ekonomi daerah dan nasional, bekantan rela terusir dari habitat aslinya dan memaksanya menjamah pemukiman warga.
Kisah Rahman tersebut terlihat dari data populasi bekantan yang kian tahun kian menurun. Dalam diskusi bertajuk “Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan” tanggal 5 Desember 2017 di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Sofian Iskandar, seorang peneliti bekantan, mengatakan bahwa populasi bekantan menurun drastis sebanyak 90 persen dalam 20 tahun terakhir. Habitatnya di kawasan hutan mangrove juga turut mengalami penurunan sebanyak 3,1 persen setiap tahun.
Menyadari ancaman kepunahan terhadap satwa apendiks dengan rambut berwarna coklat kemerahan ini, konservasi bekantan dilakukan melalui model konservasi insitu dan exsitu. Konservasi insitu merupakan upaya konservasi pada habitat asli dan masih terdapat populasi bekantan, seperti pada wilayah taman nasional, cagar alam, hutan lindung, sanctuary, dan suaka margasatwa. Sedangkan konservasi exsitu menitikberatkan perlindungan bekantan di luar habitat aslinya dan tidak ada populasi bekantan di dalamnya, seperti di lokasi penangkaran, kebun binatang, dan taman safari. Yang perlu diperhatikan, konservasi exsitu harus sangat memperhatikan informasi tentang kehidupan alami bekantan, pengetahuan ekologi dan perilakunya, serta pengetahuan tentang komposisi dan kandungan gizi makanannya, agar bekantan tidak stres dan aman dari serangan penyakit pneumonia dan enteritis (Bismark, 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H