Kelompok Artikel : Nadillah Maulidini (2310411014), Arhaburrizqy Azzaky Aruni (2310411012), Tasya Rosmalina (2310411021), Amanda Putri Wunu (2310411032), Fabiana Amhnun (23104110130)
Di era digital yang serba terhubung, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Berdasarkan laporan DataReportal (2023), lebih dari 4,8 miliar orang di seluruh dunia menggunakan media sosial dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 2,5 jam per hari. Dari berbagi momen bahagia hingga mencari informasi terbaru, media sosial menawarkan manfaat luar biasa. Namun, di balik manfaat ini, muncul dua fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu FoMO (Fear of Missing Out) dan doomscrolling, yang berdampak negatif pada kesehatan mental banyak pengguna.
Apa Itu FoMO dan Doomscrolling?
FoMO adalah perasaan cemas atau takut ketinggalan sesuatu yang menarik atau penting yang dialami orang lain. Ini sering dipicu oleh unggahan media sosial yang menampilkan kehidupan "sempurna", seperti liburan mewah, pencapaian besar, atau acara sosial yang meriah. Dampaknya, seseorang merasa perlu terus memantau media sosial agar tidak merasa tertinggal, yang pada akhirnya memicu stres, kecemasan, dan rasa tidak puas dengan kehidupannya sendiri.
Sementara itu, Doomscrolling adalah kebiasaan terus-menerus menggulir media sosial atau membaca berita negatif. Fenomena ini semakin meningkat selama krisis seperti pandemi COVID-19. Gao et al. (2020) mencatat bahwa paparan media sosial selama pandemi meningkatkan risiko kecemasan dan depresi karena konten negatif yang terus menerus dikonsumsi pengguna.
Dampak Psikologis yang Mengintai dari kedua fenomena ini memiliki dampak serius pada psikologis pengguna. FoMO dapat menyebabkan :
1. Kecemasan berlebih karena takut ketinggalan tren atau informasi.
2. Rasa tidak puas akibat membandingkan kehidupan sendiri dengan orang lain.
3. Gangguan tidur akibat kebiasaan memantau media sosial hingga larut malam.
Doomscrolling, di sisi lain, memicu:
1. Stres dan depresi, karena paparan berita negatif yang konstan (Meier et al., 2021).
2. Ketergantungan pada media sosial, sehingga sulit melepaskan diri.