1 tahun sudah, serangan Hamas di jalur Gaza sudah berlangsung, dan Israel sebagai lawan dari perang ini menyatakan melakukan perlawanan terhadap kelompok Hamas ini yang pada akhirnya Israel meluncurkan serangan ke beberapa wilayah di pendudukan Palestina dan menewaskan setidaknya 45 ribu jiwa Palestina yang dimana hampir keseluruhannya adalah wanita dan anak-anak.
Alasan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober tahun lalu adalah untuk memberikan shock-therapy bagi Israel karena Israel sudah sering melakukan serangan terhadap rakyat Palestina dengan menyerang Masjid Al-Aqsha dan membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Hamas juga menuntut pembebasan ribuan tahanan Palestina di Israel dan diakhirinya blokade Israel-Mesir di Jalur Gaza. Namun Israel dan Mesir menyatakan blokade terhadap Gaza diperlukan demi alasan keamanan. Pasca terbunuhnya Ismail Haniyeh, Hamas kini dipimpin oleh Yahya Sinwar. Kelompok ini telah beberapa kali berperang melawan Israel, menembakkan ribuan roket dan melakukan banyak serangan lainnya. Israel telah berulang kali menyerang Hamas dari udara dan mengirim pasukan ke Gaza pada tahun 2008 dan 2014.
Pada awalnya, Israel menanggap serangan Hamas ini adalah seperti serangan WTC. “Ini mungkin bisa dikatakan adalah serangan yang sama dengan WTC, bahkan mungkin bisa dikatakan 15 kali lipatnya” ujar Presiden Amerika Serikat, Joe Biden ketika bertemu PM Netanyahu tahun lalu. Lantas, pernyataan Netanyahu yang membandingkan serangan WTC dan Hamas ini justru menuai kritik keras dari publik karena Netanyahu dianggap playing victim atau bermain korban yang dimana sebenarnya ada peran Israel dan bertanggung jawab dalam merencanakan serangan WTC pada 11 September 2001 silam.
Hal ini kerap dilontarkan oleh sebagian kaum konspirasi yang menyatakan bahwasanya Israel adalah dalang dari peristiwa serangan WTC itu. Meskipun begitu, dugaan ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini yang menyatakan bahwasanya Israel bukanlah satu-satunya dalang dari serangan ini. Banyak juga yang mengatakan bahwasanya Israel bukan menjadi bagian dari serangan ini.
Kaum konspirator juga menyatakan bahwasanya Israel mendapati keuntungan dari serangan ini yang dimana tidak ada orang Yahudi yang terbunuh atau tewas pada serangan World Trade Center ini. Namun, mantan badan intelijen CIA, Philllip Giraldi dalam the Unz Review tahun 2015 silam, menyatakan bahwasanya ada orang yang merayakan ketika Twin Tower itu diserang oleh sekelompok teroris. “Ada yang merayakan ketika WTC itu diserang, tapi bukan muslim, yahudi yang merayakan tersebut.”
Menurut Giraldi, Israel pada tahun 2001 melakukan operasi mata-mata besar-besaran terhadap Muslim yang tinggal atau mengunjungi Amerika Serikat. Operasi melibatkan beberapa perusahaan sebagai tameng di New Jersey, Florida, dan wilayah pantai barat. "Upaya itu didukung Mossad Station di Washington DC dan melibatkan sejumlah besar sukarelawan yang disebut mahasiswa seni yang bepergian di seluruh Amerika Serikat, menjual berbagai produk di mal atau pasar kaget," tulis Giraldi, mengacu pada Mossad.
Operasi intelijen itu tidak disadari Pemerintah AS. Meskipun demikian, banyak operasi tersebut difokuskan pada kemampuan dan rencana militer Amerika Serikat. Beberapa unit intelijen khusus fokus pada keuntungan teknologi dan militer ganda. "Mata-mata Israel berhasil meretas sistem telepon Pemerintah AS, termasuk Gedung Putih," ujar Giraldi. Seorang ibu rumah tangga di New Jersey melihat sesuatu mencurigakan dari jendela apartemennya yang mengarah ke World Trade Center pada 11 September. Dia melihat gedung terbakar dan hancur serta kejadian aneh.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi, jika Serangan WTC atau yang lebih dikenal sebagai 9/11 ini membuat negara-negara adidaya seperti Amerika diuntungkan dalam serangan ini. Mengapa demikian? Bisa kita lihat, setelah WTC diserang, Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh rezim Bush Jr. melakukan invasi ke Afghanistan. Pada awalnya, invasi ini ditujukan untuk menghabisi kelompok Al-Qaeda yang disinyalir sebagai inisiator dari serangan WTC ini. Akan tetapi, perang terus berlanjut hingga akhirnya Osama bin Laden, sebagai pemimpin dari Al-Qaeda, tewas terbunuh pada serangan tersebut.
Tak lama setelah Afghanistan diinvasi, Irak juga menjadi target berikutnya oleh imperialis Barat. Pada mulanya, Amerika menuding di Irak ada “senjata pemusnah massal”, akan tetapi, pernyataan tersebut adalah palsu alias tidak benar. Sehingga, perang yang terjadi di Irak ini akhirnya menyasar ke diktatornya, Saddam Hussein yang akhirnya dihukum gantung.
Selama kurang lebih 20 tahun, Amerika dan sekutunya, melakukan peperangan di Irak dan Afghanistan, yang pada akhirnya ketika Presiden Joe Biden kembali ke Gedung Putih pada tahun 2021 silam, Biden memutuskan untuk menarik pasukan dari Afghanistan yang dimana, tandanya Taliban sebagai pemberontak kembali berkuasa sebagai pemerintahan di Afghanistan.