Mohon tunggu...
Nadiviansyah Putra
Nadiviansyah Putra Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa

Mahasiswa yang saat ini sedang belajar untuk berpolitik agar Indonesia bisa menjadi negara maju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mampukah Perang Dingin "Cicak vs Buaya" Dapat Diakhiri?

10 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:21 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap 9 Desember merupakan hari yang diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia. Peringatan ini ditandatangani oleh Sekjen PBB pada saat itu, Kofi Annan pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko. "Praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama rusaknya perekonomian suatu bangsa dan menjadi penghambat utama pengentasan kemiskinan dan pembangunan," ujar Sekjen PBB Kofi Annan dalam pidatonya pada 30 Oktober 2003.

Di Indonesia, pemberantasan korupsi tentu menjadi masalah yang belum selesai. Seperti halnya HIV/AIDS yang sudah menjadi pandemic selama kurang lebih 4 dekade ataupun Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 2 tahun, korupsi ibaratnya sudah menjadi pandemic yang berlangsung selama kurang lebih hampir 7 dekade atau hampir sama dengan berdirinya republic ini atau bahkan dari zaman kolonialisme.

Korupsi sudah menjalar ke berbagai bidang tanpa merujuk kepada suku, agama, golongan, etnis, latar belakang. Pejabat-pejabat ternama pun yang kita ingat pasti ada beberapa yang pernah berurusan dengan hukum karena tindak rasuah ini mulai dari Menteri, kepala daerah, anggota legislative bahkan hingga penegak hukum pun juga pernah melakukan hal yang sama.

Berdirinya KPK pasca-reformasi pada awalnya untuk memperkuat penanganan korupsi yang sebelumnya hanya pada instansi kepolisian dan kejaksaan, kini menjadi independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, konflik antar lembaga penegak hukum mulai terjadi. Hal inilah yang kemudian dianalogikan sebagai Cicak vs Buaya ketika independensi KPK berubah karena ada kepentingan tertentu.

Beberapa kasus Cicak vs Buaya yang pernah kita ketahui adalah ketika dua pimpinan KPK pada saat itu, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto dituduh memeras salah satu tersangka korupsi, Anggodo oleh Kabareskrim Polri pada saat itu, Susno Duadji. Akan tetapi, kasus ini menjadi tidak terbukti yang pada akhirnya, Susno dijerat kasus TPPU dan penggelapan.

Meskipun kasus ini sudah selesai, namun perang dingin Cicak vs Buaya terus berlanjut hingga saat ini. Salah satunya adalah PHK massal kepada 57 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan atau TWK. Meskipun TWK itu konstitusional menurut uji materi di MK, akan tetapi TWK sendiri dianggap cacat hukum karena bukan menjadi dasar untuk mem-PHK 57 pegawai itu.

Sebanyak 57 eks pegawai KPK yang di-PHK secara paksa pada bulan September lalu akhirnya mendapat titik terang. Keinginan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk merekrut eks pegawai itu bukan hanya sekedar wacana. Perpol atau peraturan Kapolri untuk merekrut eks pegawai itu sudah turun dan sebanyak 44 eks pegawai KPK bersedia untuk menerima tawaran Kapolri untuk menjadi ASN di lingkungan Korps Bhayangkara dari semula 57 sesuai dengan jumlah korban PHK tersebut.

Salah satu yang menerima tawaran ini adalah penyidik senior ternama, Novel Baswedan. Mantan perwira polisi ini bukan tanpa dasar untuk bisa menerima tawaran Kapolri LSP ini. Beliau mengatakan bahwa pemberantasan korupsi masih belum selesai bahkan semakin parah di era saat ini. "Saya bersedia menerima tawaran Kapolri ini karena masalah pemberantasan korupsi kian hari kian serius dan kami melihat kinerja KPK saat ini cenderung menurun" ucap Novel setelah menghadiri sosialisasi pra-ASN di Mabes Polri, Senin (6/12).

Mengapa hanya 44 eks pegawai saja yg mau menerima? Ternyata 13 sisanya tidak mau menerima bukan tanpa alasan. Salah satu pegawai yang ikut di-PHK oleh Firli, Rieswin Rachwell mengaku menolak tawaran LSP ini karena ingin berkontribusi di luar untuk pemberantasan korupsi. "Saya menolak karena ada banyak jalan dalam mengadvokasi isu-isu pemberantasan korupsi di luar sana," tutur dia.

Selain itu, ada juga Tata Khoiriyah yang menolak untuk bergabung bersama 44 rekannya itu. Tata menyebut bahwa beliau sedang ingin melanjutkan studinya dan focus berjualan. "Sudah punya rencana sendiri. Pengin sekolah lagi dan menyeriusi bisnis kue. Keduanya butuh energi, waktu dan fokus sendiri. Enggak bisa optimal kalau menerima ASN Polri," ujar Tata melalui keterangan tertulis, Selasa (7/12).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun