Masih ingatkah kita kepada kasus Cicak vs Buaya yang melibatkan dua orang yaitu Antasari Azhar dan Susno Duadji 10 tahun silam? Ya, ingatan ini akan terus membekas dalam sejarah politik dan hukum Indonesia karena kita tahu dua orang ini dikenal sebagai orang yang tegas dan berani dalam memberantas korupsi. Sayangnya, karier beliau dalam memberantas korupsi tidaklah lama, karena beliau secara tiba-tiba dikriminalisasi atas beberapa kasus seperti korupsi dan pembunuhan seperti yang kita bahas pada topik sebelumnya.
Jika kita lihat kebelakang, apa yang sebenarnya terjadi terhadap dua orang ini sebenarnya sama, yakni membantu untuk mengungkap kasus yang melibatkan lingkaran istana pada saat itu, yakni Aulia Pohan yang merupakan besan dari Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, Bank Century yang diduga aliran dananya mengalir ke kampanye SBY-Boediono dalam pemilihan presiden 2009 serta audit IT KPU yang menjerat putra bungsu SBY, yakni Edhie Baskoro Yudhoyono atau yang lebih kita kenal sebagai Ibas.
Lalu apa benang merah kasus ini dengan kasus yang dialami Djoko Tjandra pada masa itu? Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri (1999-2004), Djoko Tjandra memang sudah mau divonis selama 2 tahun bui dan pada saat itu, JPU dari kasus ini ialah Antasari Azhar. Ini dibuktikan setelah beliau diperiksa atas saksi dari kasus Djoktjan ini sebelum peristiwa kebakaran Kejagung pada pertengahan Agustus silam.
Djoko Tjandra akhirnya dibebaskan pada tahun 2000 setelah perbuatan atas kasusnya tidak masuk ke hukum pidana melainkan perdata. Pada 12 Juni 2003, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.
Pada tahun 2008, Kejagung mengajukan kasasi PK ke Mahkamah Agung. Majelis yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar itu pada Juni 2009 memutus Djoko Tjandra selama 2 tahun dan membayar denda sebesar Rp. 15 juta. Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron. Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 Juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Nah dari sini, yang mengumumkan Djoko Tjandra sebagai buron pada saat itu adalah Komjen Pol. Susno Duadji yang pada saat itu menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Djoko Tjandra dinyatakan buron tepat 3 bulan setelah mantan JPUnya, Antasari Azhar dicopot dari Ketua KPK setelah kasus pembunuhan yang dialaminya.
"Sudah ada permintaan dari Kejaksaan. Polri juga sudah menyebarkan red notice," terang Kabareskrim Komjen Susno Duadji di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (29/6/2009). Penyebaran red notice ke sejumlah negara ini, menurut Susno, telah sesuai dengan standar daftar pencarian orang (DPO) yang biasa dilakukan Polri.
Sementara itu, Bibit SR dan Chandra Hamzah yang saat itu menjadi penyidik KPK mencabut pencekalan Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo. Hal inilah yang akhirnya membuat dua orang ini harus menghadapi meja hijau akibat penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan dua buronan itu. Akan tetapi, kuasa hukum KPK yang saat ini menjadi anggota TGUPP DKI, Bambang Widjojanto mencurigai adanya rekayasa dalam kasus ini karena tidak menerima salinan BAP.
Tidak hanya sampai di situ, pengacara Bibit melaporkan Susno Duadji atas penyalagunaan wewenang ke Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Presiden SBY. Beberapa waktu kemudian, Polri membantahnya karena pertemuan Susno dan Anggoro tidak melanggar hukum.
Kemudian, Susno Duadji dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim Mabes Polri dan darisitu, Susno justru mengungkap dugaan makelar kasus di tubuh Polri yang melibatkan pegawai Dirjen Pajak, Gayus Tambunan. Darisini, kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan akhirnya terbongkar.
Korps Bhayangkara berang dan akhirnya menetapkan tersangka SD sebagai tersangka. SD akhirnya ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta saat akan pergi ke Singapura saat akan berobat. Penangkapan SD ini menimbulkan kericuhan di Terminal II Pintu D1 Bandara Soekarno-Hatta.