Jadi sistem bank ini cenderung melakukan dikotomi atas segala sesuatu, dengan selalu mengendalikan dua tahap dalam tindakan sang pendidik. Tahap pertama, ketika ia mempersiapkan bahan mengajaranya diruang belajarnya, pendidik menyampaikan objek yang dapat dikenal. Memasuki tahap kedua, pendidik menyampaikan pokok-pokok materi pelajarannya kepada peserta didik. Peserta didik tidak harus mengetahui, namun mereka mesti menghafal isi pelajaran yang disampaikan gurunya.Â
Pendidikan karenannya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya, yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pertanyaan-pertanyaan "mengisi tabungan" yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan "Gaya Bank" dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan (Zumrotul, 2018 : 67).
Terlebih murid sebagai objek yang diharuskan untuk menghafal, juga membuat mereka tidak memiliki kreativitas, pemikiran yang kritis dan rasa keingintahuan yang besar terhadap materi pembelajaran yang diberi oleh guru. Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan "Gaya Bank" karena pada akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat dan menghafal. Dalam pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang domonatif dan angkuh. Tidak ada proses komunikasi timbal balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi, guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang.
Peristiwa ini dapat dianalisis menggunakan Pedagogi Kritis yang dikemukakan oleh Henry Giroux. Ia pun banyak terpengaruh oleh pemikiran pedagogik Pauolo Freire yang mengenalkan sistem pendidikan gaya bank tersebut. Menurut (Rakhmat, 2011 : 183) pemikiran Giroux lahir sebagai kritik terhadap pendapat yang berpandangan bahwa sekolah tidak memiliki harapan dan hanya menjadi bagian dari fungsi ekonomi, sosial, dan politik.Â
Pedagogi kritis bagi Giroux tidak hanya sebatas menghimbau agar siswa berpikir kritis dan berperan sebagai agen di dalam kelas, tetapi juga menyediakan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan mereka untuk memperluas kapasitas mereka. Itu artinya pedagogik kritis tidak hanya melatih siswa berpikir kritis di dalam kelas.Â
Tetapi sebuah visi membentuk sistem masyarakat yang lebih demokratis dan humanis dengan mempersiapkan individu yang memiliki kesadaran kritis, menyadari masalah, mengidentifikasi penyebab, melakukan tindakan sosial berdaya transformatif, dan menjunjung tinggi etika dan moral. (Robandi, et all, 2016).
pedagogi kritis hendak melakukan kritik terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi di dalam masyarakat, baik dalam bentuk penindasan ekonomi, politik, pendidikan maupun budaya. Contoh nyata adalah soal kritik terhadap pendidikan. Seringkali, pendidikan dilihat sebagai tempat membentuk manusia sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Oleh sebab itu, budaya yang dikembangkan adalah budaya kepatuhan dan ketakutan.Â
Budaya kepatuhan ini salah satu contohnya seperti sistem pendidikan gaya bank yang tidak terasa sedang berlangsung selama pjj ini, yaitu The teacher teaches and the student are tought (Guru mengajar, peserta didik diajar). The teacher talks and the student listen (Guru bicara, peserta didik mendengarkan).Â
The teacher disciplines and the students are disciplined (Guru menentukan peraturan, peserta didik diatur). The teacher chooses and enfores his choose, and the students comply (Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, dan peserta didik menyetujui). Dalam ciri sistem pendidikan gaya bank menurut Freire ini sangat terlihat bahwa pembelajaran jarak jauh membuat komunikasi dalam kegiatan belajar hanya berjalan satu arah dan tidak memiliki timbal balik.Â
Guru seakan menjadi centred learning, bukan lagi siswa. Terlebih guru yang menentukan bagaimana kontrak belajar dan metode pembelajaran, dan siswa hanya patuh terhadap aturan tersebut. ini dapat membunuh critical thinking yang dimiliki siswa nantinya. Bahkan terdapat juga guru yang merasa sudah memenuhi tanggung jawab mengajar hanya dengan mengirim bahan ajar dan tugas dalam platform, lalu selesai begitu saja, jarang adanya pembelajaran tatap muka secara online, serta komunikasi dua arah antara guru dan siswa.
menurut (Reza, 2018 : 188) tujuan tertinggi dari pedagogik kritis adalah membantu peserta didik untuk menjalani hidup yang bermakna. Di dalam hidup ini, mereka mampu mempertanyakan segala bentuk hubungan kekuasaan yang ada, dan membuatnya berfungsi untuk menciptakan kebaikan bersama (common good).Â