Politik hukum memiliki peran yang penting dalam Peraturan Perundang - Undangan khususnya didalam negara Indonesia. Penduduk di Indonesia mayoritas beragama islam, maka dari itu hukum islam sering digunakan oleh masyarakat karena berdasarkan keyakinan dan dapat membuat kedamaian.Â
Tetapi hukum islam mengalami konflik dengan aturan aturan lain seperti apabila dikaitkan dengan Undang - Undang Perkawinan. Penerapan hukum islam di negara indonesia terikat dengan politik hukum penguasa yang tidak mendukung adanya hukum islam yang sesuai dengan adat dalam masyakarat islam, seperti pada bidang hukum keluarga.Â
Pada dunia yang modern umumnya konsep hukum menghendaki adanya Perundang – Undangan, sehingga terjadi perbedaan konsep dengan hukum islam yang berasal dari ulama mengenai ketentuan fiqh. Hal itulah yang menyebabkan kerugian bahkan keuntungan bagi kepentingan politik, baik bagi penguasa maupun masyarakat beragama islam.Â
Pihak penguasa mengedepankan nilai-nilai sekularisme yang menyatakan bahwa hukum islam sudah tidak ada ikatannya dengan kondisi sosial dalam masyarakat. Tetapi bagi masyarakat yang beragama islam menjelaskan bahwa hukum islam merupakan salah satu kewajiban dalam agama yang harus dilakukan dan dipertahankan.Â
Adanya perbedaan kepentingan itulah dibahas didalam Undang - Undang Perkawinan sehingga menimbulkan konflik antara norma hukum dengan sebagai berikut:Â
Sebagaimana didalam pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu".Â
Dan didalam pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan "tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.Â
Adanya perbedaan kepentingan yang menjadi konflik atau permasalahan contohnya apabila terjadi perkawinan beda agama. Akibat yang sering terjadi yaitu seperti penolakan mengenai pencatatan perkawinan beda agama. Apabila dikaitkan dengan ayat 1 maka perkawinan dianggap tidak sah karena harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing masing.Â
Jika dikaitkan dengan ayat 2 perkawinan beda agama dapat dianggap sah karena pencatatan perkawinan tidak memiliki keabsahan. Namun meskipun pencatatan perkawinan hanya administrasi saja jika tidak dicatat maka di dalam perkawinannya tidak memiliki perlindungan hukum.Â
Maka dapat disimpulkan didalam undang – undang dari pasal 2 ayat 1 dan 2 memiliki keterikatan yaitu perkawinan yang dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya sehingga dapat dicatatkan. Karena pencatatan perkawinan bukan sebatas hal administras saja melainkan juga harus memenuhi syarat sah dalam perkawinan itu sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H